Setelah beberapa saat dalam pelukan Nara, Aksara menghela napas panjang dan berusaha mengumpulkan kekuatan. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya, sesuatu yang belum sepenuhnya terjawab. Dia butuh kepastian, bukan dari gosip, bukan dari rumor, tapi dari seseorang yang dekat dengan Rafif, seseorang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan dalam benaknya, hanya satu nama yang muncul: Andra.
Andra adalah sahabat terdekat Rafif. Mereka sudah berteman sejak sekolah, dan Aksara yakin jika ada seseorang yang tahu tentang situasi ini, maka itu adalah Andra. Namun, pertanyaan yang tersisa adalah: Apakah Andra mau jujur?
Aksara mengusap air mata yang masih tersisa di pipinya dan bangkit dari kursi. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu mulai mengetik pesan singkat kepada Andra.
Ra: Kak Andra, kamu ada waktu? Aku butuh bicara.
Pesan itu terasa berat. Aksara tahu, bertanya kepada Andra sama saja dengan membuka luka yang belum sembuh. Tapi dia harus tahu. Dia harus mendengar penjelasan, apapun itu, langsung dari orang yang bisa dipercayainya.
Tak lama setelah pesan terkirim, ponsel Aksara bergetar. Sebuah balasan dari Andra masuk.
Andra: Ada apa, Ra? Kamu oke?
Ra: Aku nggak tahu lagi harus nanya ke siapa. Kamu tahu sesuatu tentang Rafif? Kenapa dia hilang gitu aja?
Balasan dari Andra tidak langsung datang. Ada jeda panjang yang membuat Aksara semakin resah. Dia berjalan mondar-mandir di kamar, menunggu dengan hati yang penuh ketidakpastian. Dalam pikirannya, berbagai skenario buruk mulai bermunculan, tapi dia mencoba menepis semuanya.
Akhirnya, Andra menjawab.
Andra: Ra, ini rumit. Bukan aku nggak mau kasih tahu, tapi ini masalahnya lebih besar dari yang kamu kira.
Jantung Aksara semakin berdetak kencang. Dia merasakan sesuatu yang buruk sedang terjadi, dan kenyataan itu membuatnya semakin gelisah.
Ra: Tolong, Kak. Aku harus tahu. Apa hubungannya sama Clarissa? Gosip itu benar nggak?
Sekali lagi, Andra tidak langsung membalas. Detik-detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Aksara. Dia ingin tahu secepat mungkin, meskipun dia takut dengan apa yang mungkin akan dia dengar.
Setelah beberapa saat, akhirnya Andra membalas.
Andra: Ra, aku nggak tahu harus gimana ngomongnya... Tapi ya, mereka lagi ada masalah besar. Aku nggak bisa bilang gosip itu benar atau nggak, tapi yang jelas, mereka lagi dalam situasi yang nggak mudah.
Aksara terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Andra. Masalah besar? Situasi yang tidak mudah? Apa maksud semua itu? Dia semakin bingung, dan bukannya mendapatkan jawaban, justru pertanyaan baru terus bermunculan di kepalanya.
Ra: Kenapa Rafif nggak bilang apa-apa sama aku? Kenapa dia ninggalin aku gitu aja, Kak?
Andra: Aku juga nggak ngerti kenapa dia milih untuk diam, Ra. Mungkin dia nggak mau kamu ikut terjebak dalam masalah ini. Aku tahu kamu terluka, tapi aku rasa dia juga nggak mau ini semua terjadi.
Aksara menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ada amarah yang bergemuruh dalam dadanya, tapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang masih ingin percaya bahwa Rafif memiliki alasan untuk semuanya. Namun, rasa sakit akibat ketidakpastian ini terlalu besar untuk diabaikan.
Ra: Tapi kenapa harus gini, Kak? Kenapa dia harus ninggalin aku tanpa sepatah kata pun? Aku pantas tahu, kan?
Andra membalas dengan cepat kali ini.
Andra: Kamu benar, Ra. Kamu pantas tahu. Tapi mungkin Rafif pikir dengan dia menjauh, dia bisa melindungi kamu dari masalah yang dia hadapi. Aku nggak membela dia, tapi aku rasa dia juga nggak pengin kamu terluka lebih dalam.
Air mata kembali menggenang di mata Aksara. Rasanya seperti sebuah teka-teki yang tak pernah selesai. Apapun alasannya, tetap saja, dia merasa dikhianati. Apapun masalah yang dihadapi Rafif, Aksara merasa seharusnya dia diberi kesempatan untuk mengerti, untuk bersama-sama menghadapi semua itu, bukannya ditinggalkan begitu saja.
Ra: Terima kasih, Kak. Aku nggak tahu lagi harus gimana...
Andra: Aku paham, Ra. Aku beneran nggak tahu harus ngomong apa lagi. Tapi kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa hubungi aku, ya?
Ra: Ya, makasih.
Aksara menutup percakapan itu dengan perasaan hampa. Tidak ada jawaban pasti yang dia dapatkan, hanya semakin banyak ketidakpastian yang menghantui. Namun, satu hal yang jelas, Rafif dan Clarissa memang sedang dalam masalah. Itu mungkin sebabnya Rafif memilih untuk menjauh. Tapi itu tidak membuat rasa sakit di hati Aksara hilang. Sebaliknya, dia merasa semakin terpuruk, semakin jauh dari kejelasan yang dia harapkan.
Dengan tangan gemetar, dia meletakkan ponsel di sampingnya dan menghela napas panjang. Hatinya masih penuh dengan tanda tanya, tapi setidaknya dia sudah berusaha untuk mencari jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...