Keesokan paginya, aku masih teringat kejadian semalam. Bagaimana Rafif mengutarakan perasaannya dan bagaimana aku merespons dengan kebingungan. Pikiranku masih belum tenang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, menunggu untuk dijawab.Aku berjalan menuju kampus dengan langkah pelan. Biasanya aku berjalan cepat, terutama ketika ada banyak hal yang ingin kupikirkan. Tapi kali ini, ada semacam beban yang membuatku lebih lambat. Pikiran tentang Rafif terus menghantuiku, berputar tanpa henti. Sementara itu, Nara, yang selalu tahu ada sesuatu yang berbeda dari diriku, menyambutku dengan senyum jahil begitu aku tiba di kelas.
"Jadi, gimana?" tanyanya sambil tersenyum lebar. "Kamu udah ngobrol sama Kak Rafif semalem, kan?"
Aku mengangguk pelan, tidak bisa menghindari tatapan tajamnya. "Iya, aku udah ngobrol sama dia."
Nara langsung duduk lebih dekat dan menatapku penuh semangat. "Terus? Apa yang dia bilang?"
Aku menarik napas panjang sebelum menjawab, "Dia... ngaku kalau dia suka sama aku."
Reaksi Nara tentu saja sesuai dugaanku. Matanya melebar dan ia hampir melompat dari tempat duduknya. "Ya ampun! Seriusan? Terus kamu jawab apa?"
Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati masih terasa galau. "Aku bilang aku nggak tahu harus jawab apa. Dia juga nggak maksa aku buat kasih jawaban sekarang."
Nara mengangguk, tapi aku bisa melihat raut kebingungannya. "Terus gimana perasaanmu sekarang, Sar? Kamu suka nggak sama dia?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama yang sudah berkecamuk dalam pikiranku sejak semalam. Aku sendiri belum yakin bagaimana perasaanku. Selama ini aku selalu melihat Rafif sebagai sosok yang baik, teman yang bisa diajak bicara tentang banyak hal, tapi apakah itu berarti aku memiliki perasaan lebih?
"Aku nggak tahu, Na," jawabku jujur. "Aku bingung. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Maksudku, dia memang baik, tapi... aku nggak pernah ngerasa gimana-gimana sebelumnya. Dan sekarang, aku jadi mikir."
Nara mengerutkan dahi, kemudian menepuk pundakku dengan lembut. "Mungkin kamu butuh waktu buat bener-bener memahami perasaanmu sendiri," kata Nara sambil tersenyum lembut. "Kadang-kadang, perasaan itu nggak langsung muncul. Kamu cuma perlu waktu buat merenung dan jujur sama diri sendiri."
Aku mengangguk pelan. Kata-kata Nara ada benarnya. Mungkin aku memang harus memberi diriku waktu untuk benar-benar memikirkan perasaanku. Tidak ada gunanya memaksakan diri atau terburu-buru dalam hal seperti ini.
Sejak hari itu, aku lebih sering memikirkan Rafif. Setiap kali kami berpapasan atau mengobrol, aku mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya mungkin tidak begitu aku perhatikan. Senyumnya yang lembut, caranya mendengarkan dengan penuh perhatian, atau tatapannya yang seolah bisa menembus hatiku. Semua itu kini terasa berbeda.
Di sisi lain, aku merasa takut. Takut bahwa perasaanku yang mulai tumbuh ini mungkin hanyalah hasil dari sugesti setelah Rafif mengutarakan perasaannya. Takut jika aku salah menafsirkan semuanya. Tapi aku mencoba menenangkan diri dan mengikuti alur, seperti yang dikatakan Nara.
Beberapa hari berlalu, dan aku masih belum memberinya jawaban. Namun, hubungan kami tetap baik. Rafif tidak pernah mendesakku untuk memberikan jawaban, dan itu memberiku ruang untuk berpikir dengan tenang. Setiap kali kami bertemu, suasana tetap nyaman, tanpa tekanan.
Suatu sore, kami duduk bersama di kafe kampus, menikmati kopi sambil berbincang ringan tentang kuliah dan rencana masa depan. Saat itu, aku merasa lebih dekat dengannya daripada sebelumnya. Rasanya seperti kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun, meskipun sebenarnya kami baru mulai dekat beberapa bulan terakhir.
"Tentang yang waktu itu, Kak," akhirnya aku memberanikan diri membuka topik yang sudah lama ada di benakku. Rafif menatapku dengan penuh perhatian, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menunggu aku melanjutkan.
"Aku masih nggak yakin sepenuhnya dengan perasaanku," kataku jujur. "Tapi aku merasa... ada sesuatu yang berbeda sekarang. Dan aku nggak tahu apakah ini perasaan yang sama seperti yang kamu rasain."
Rafif tersenyum tipis, seolah memahami kebingunganku. "Aku nggak pengen kamu ngerasa terburu-buru buat kasih jawaban. Aku tahu perasaan itu butuh waktu buat tumbuh. Aku juga nggak mau kita buru-buru masuk ke dalam hubungan yang nggak jelas cuma karena perasaan sesaat."
Aku tersentuh oleh kata-katanya. Rafif tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga memikirkan bagaimana perasaanku dan menjaga agar kami tetap bisa menjadi diri sendiri dalam proses ini. Hal itu membuatku semakin yakin bahwa apa yang dia rasakan bukanlah perasaan yang dangkal.
Kami kembali hening sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Tapi kali ini, keheningan itu terasa nyaman. Ada pengertian di antara kami, sesuatu yang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata.
"Aku pengen kita tetap kayak gini, Kak. Santai aja, tanpa tekanan," kataku akhirnya. "Aku masih pengen kenal kamu lebih jauh, dan aku juga butuh waktu buat ngertiin perasaanku."
Rafif mengangguk, senyumnya tetap lembut. "Aku setuju. Kita jalanin aja pelan-pelan, tanpa ekspektasi berlebihan."
Dan begitulah, kami memutuskan untuk tetap dekat tanpa memberikan label apapun pada hubungan kami. Aku merasa lega, seolah beban yang selama ini menghimpit dadaku sedikit berkurang. Mungkin memang tidak semua hal harus diputuskan secara instan. Ada kalanya kita butuh waktu untuk membiarkan perasaan tumbuh dengan sendirinya, tanpa paksaan.
Sejak saat itu, hubungan kami terus berkembang. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah itu belajar bareng, ngobrol di kafe, atau sekadar berbagi cerita tentang hidup masing-masing. Aku mulai merasa nyaman dengan kehadirannya, dan perlahan-lahan, aku bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam muncul di antara kami.
Namun, aku masih belum siap memberi jawaban pasti. Bukan karena aku ragu pada Rafif, tapi lebih kepada diriku sendiri. Aku ingin memastikan bahwa perasaan ini bukan sekadar euforia sesaat. Aku ingin benar-benar yakin sebelum melangkah lebih jauh.
Dan Rafif, dengan segala pengertian dan kesabarannya, memberiku ruang untuk menemukan jawabanku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...