24. BAB 3 Dalam Kabut Kebenaran

22 9 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan cepat sejak sore yang indah di danau itu, ketika Rafif mengungkapkan perasaannya dan kami akhirnya resmi bersama. Namun, akhir-akhir ini, sesuatu terasa berbeda. Sudah hampir seminggu Rafif menghilang tanpa kabar. Pesan-pesan yang kukirim hanya dibaca tanpa balasan, dan panggilan teleponku tak pernah dijawab. Awalnya, aku berusaha menenangkan diri, berpikir bahwa dia sibuk dengan kegiatan di kampus. Tapi semakin hari, kekhawatiranku semakin sulit ditepis.

Pagi itu di kampus, aku berjalan bersama Nara dan Geisha menuju kantin. Keduanya terlihat saling melirik, seperti menyimpan sesuatu yang tidak ingin mereka sampaikan di depanku. Aku merasa ada yang aneh, tapi memilih diam, menunggu mereka memulai percakapan.

"Aksara..." Nara akhirnya memulai, nada suaranya pelan tapi jelas. "Kamu udah lama nggak ketemu Rafif ya?"

Aku mengangguk sambil menarik napas panjang. "Iya. Nggak ada kabar dari dia. Chat aku nggak dibalas, telepon nggak diangkat." Aku mencoba terdengar biasa saja, tapi ada rasa perih yang menyusup setiap kali mengingat keheningan Rafif.

Geisha menggigit bibirnya, terlihat ragu-ragu sebelum akhirnya ikut bicara. "Kamu nggak tau apa yang lagi dibicarain sama anak-anak kampus?"

Aku mengerutkan kening, tak mengerti maksudnya. "Maksudnya?"

Nara dan Geisha saling bertukar pandang lagi, seolah-olah menimbang apakah mereka harus melanjutkan pembicaraan ini atau tidak. Akhirnya, Nara menghela napas dan berkata dengan hati-hati, "Sar, akhir-akhir ini banyak yang ngomongin Rafif sama Clarissa."

"Clarissa?" Aku mengulangi nama itu dengan nada bingung. Aku tahu Clarissa, dia vokalis band di UKM Kesenian kampus, dan sering tampil bersama Rafif yang bermain gitar. Mereka memang sering terlihat bersama, tapi aku tak pernah berpikir lebih dari sekadar teman satu UKM.

Geisha menatapku, seolah mengukur reaksiku sebelum melanjutkan. "Banyak yang bilang mereka kelihatan serasi... Dan ada yang bilang mereka sering dijodoh-jodohin sama anak-anak UKM."

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan. "Jadi... maksud kalian, orang-orang mengira Rafif dan Clarissa pacaran?" tanyaku, berusaha memahami situasinya.

Nara mengangguk pelan. "Ya, dan gosip itu semakin santer akhir-akhir ini."

Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantamku dengan keras. Aku berusaha menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada. "Tapi Rafif sama aku..." suaraku mulai melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimat itu.

Geisha segera menggenggam tanganku dengan lembut, mencoba memberikan dukungan. "Sar, kita juga nggak percaya gosip itu. Tapi kayaknya kamu perlu tanya langsung ke Rafif. Mungkin ada sesuatu yang dia sembunyiin, tapi nggak semestinya begitu."

Aku menunduk, merasakan dadaku semakin sesak. Benar, aku harus mencari Rafif. Tapi, bagaimana kalau ternyata gosip itu ada benarnya? Aku menggigit bibir, menahan air mata yang mulai membasahi sudut mata. Aku tak bisa membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai diriku, tapi ketidakpastian ini membuat segalanya semakin sulit.

"Kamu harus dengar langsung dari Rafif, Sar," Nara menambahkan. "Kita di sini cuma kasih tau apa yang kita denger. Kamu yang lebih tau soal hubungan kalian."

Aku hanya bisa mengangguk pelan, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Di tengah hiruk-pikuk kampus dan keramaian kantin, rasanya aku seperti berada dalam kabut tebal yang menyelimuti kebenaran yang belum terungkap.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang