Setelah berhasil menemukan nasi goreng, kami bertiga duduk di salah satu meja di kantin. Nara, dengan gaya khasnya yang selalu energik, mulai bercerita tentang pengalaman pertamanya di kampus. Kali ini, dia bercerita dengan ekspresi dramatis yang membuatku dan Geisha nyaris tersedak karena tertawa.
"Kamu tahu nggak," Nara memulai dengan nada serius, "hari pertama aku ke perpustakaan, aku niatnya mau baca buku sastra. Tapi, entah gimana, aku malah nyasar ke bagian buku kuliner."
Geisha tertawa kecil. "Dan kamu baca apa di sana?"
Nara menjawab dengan penuh semangat. "Aku malah baca buku resep donat! Bayangin, dari sastra jadi donat!" katanya sambil memutar matanya, membuat kami meledak dalam tawa.
"Jadi, apa kamu sekarang ahli bikin donat?" tanyaku sambil menahan tawa.
"Ahli? Ahli nyasar, iya!" Nara menjawab dengan penuh keyakinan. "Dan yang lebih parah, aku ketemu dosen di sana. Aku kira dosen itu bakal bantu aku balik ke bagian sastra, tapi malah nanya, 'Kamu mau buka usaha kue ya?' Sejak saat itu, aku selalu dihindari dosen setiap kali mereka melihatku di perpustakaan."
Aku dan Geisha tertawa sampai perut kami sakit. Nara memang punya bakat membuat hal-hal sederhana menjadi konyol. Tapi di balik tawa itu, aku bisa merasakan bagaimana ketidakpastian dan kegugupannya, sama seperti aku.
Tiba-tiba, suasana berubah ketika seorang mahasiswa dari meja lain tanpa sengaja menjatuhkan nampan makanan di dekat kami. Suara piring yang pecah dan nasi yang berserakan di lantai menarik perhatian seluruh kantin.
Wajah mahasiswa itu merah padam. "Maaf, maaf! Aku nggak sengaja!" katanya sambil panik, berusaha membersihkan semuanya.
Nara, yang tadinya sedang asyik tertawa, langsung bangkit dan menawarkan bantuan. Tapi, bukannya membantu membersihkan, dia malah tergelincir di genangan kuah yang tercecer.
"WOAAH!!" Nara terjatuh dengan gaya yang benar-benar dramatis, membuat kami dan beberapa mahasiswa lain tertawa terbahak-bahak. Bukannya marah, Nara malah tertawa lebih keras.
"Yah, nasibku kayak donat. Selalu jatuh ke tempat yang salah!" katanya sambil berusaha bangkit, namun licinnya lantai membuatnya jatuh lagi. Kali ini, Geisha buru-buru bangun untuk membantu.
"Ayo, Nara, kamu nggak mau jadi korban kedua kan?" kata Geisha dengan wajah serius, tapi tetap ada nada geli di suaranya.
Nara akhirnya berhasil berdiri, dan kami semua kembali duduk sambil menahan tawa. Tapi sebelum benar-benar tenang, Nara menggumam, "Harusnya aku ambil kuliah di jurusan akrobat aja."
Aku tertawa sambil menepuk bahunya. "Kamu itu unik banget, Na. Mungkin aja, suatu hari nanti, kita bakal lihat kamu tampil di sirkus."
Namun, suasana yang tadinya penuh tawa berubah seketika saat kami kembali ke kelas. Salah satu dosen yang dikenal tegas memasuki ruangan dengan ekspresi serius. Semua mahasiswa langsung duduk tegap, dan keheningan menyelimuti ruangan. Aku, Nara, dan Geisha saling menatap dengan gugup.
"Selamat siang, mahasiswa baru. Saya Pak Bima, dan saya tidak akan mentoleransi kebodohan di kelas ini," kata dosen itu dengan nada dingin.
Nara yang duduk di sebelahku mulai gelisah. "Aduh, Aksara, aku nggak siap. Kalo dia nanya tiba-tiba, gimana dong?"
Aku menoleh ke arahnya dan berbisik. "Jangan panik. Fokus aja, pasti bisa."
Tiba-tiba, Pak Bima memandang ke arah kami. "Kamu, yang di barisan tengah, yang lagi bisik-bisik. Berdiri."
Aku dan Nara langsung tegang. Dengan gemetar, Nara berdiri dan menatap Pak Bima dengan wajah pucat.
"Coba kamu jawab pertanyaan saya," kata Pak Bima dengan nada yang membuat seluruh kelas menahan napas. "Apa perbedaan antara sintaksis dan morfologi?"
Aku bisa melihat wajah Nara berubah semakin panik. "E-eh, sintaksis... itu... urusan kalimat? Morfologi... mungkin kayak... bentuk kata?" jawabnya ragu-ragu.
Pak Bima mengerutkan kening. "Jawaban kamu setengah benar, tapi itu tidak cukup detail. Duduk."
Saat Nara duduk kembali, dia berbisik pelan, "Aku lega nggak disuruh keluar kelas, sumpah."
Aku hanya bisa tersenyum tipis, sementara Geisha berusaha menahan tawa. Hari ini benar-benar penuh dengan kejadian yang tak terduga.
Dan aku mulai menyadari, bahwa hidup di kota besar, di kampus yang baru, mungkin akan terus seperti ini: penuh kejutan, tawa, dan momen-momen yang membuatku merasa hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...