Setelah membaca puisi yang ditulis oleh Rafif, aku berpikir bahwa hatiku sudah tak sanggup menampung lebih banyak keindahan dalam satu sore ini. Namun ternyata, perasaanku salah. Sejak tadi ada sebuah kanvas terbalik yang belum kutanyakan, dan saat aku mulai mengalihkan perhatian ke arah sana, Rafif tersenyum lembut seolah membaca pikiranku.
"Masih ada satu lagi," suaranya lirih namun penuh arti, seperti angin yang menyapu lembut dedaunan di sekitar danau. Dia bangkit perlahan dan mengambil lukisan itu, lalu dengan gerakan hati-hati, dia membalikkan kanvas yang tadi diletakkan menghadap ke bawah.
Saat kanvas itu terbuka, dadaku langsung bergemuruh.
Di sana, terpampang sosokku. Aku yang selama ini tak pernah kubayangkan bisa terlihat seindah itu. Rafif melukisku dengan nuansa pastel yang halus, menggambarkan setiap detail wajahku, mulai dari tatapan mataku yang sayu hingga senyum kecil yang selalu tersembunyi. Warna-warna lembut menghiasi latar belakang, seperti senja yang berbisik di ufuk langit, menciptakan perasaan yang mendalam dan tenang. Setiap goresan kuasnya terlihat seolah disentuh dengan hati-hati, seperti sebuah karya yang lahir dari perasaan terdalam.
Aku terdiam, seolah dunia di sekitarku berhenti berputar. Air mata yang tadi ku tahan kini tak bisa lagi kubendung. Mataku berkaca-kaca, dan sebelum aku sadar, butiran air mata mulai jatuh satu per satu. Ada sesuatu tentang lukisan itu. Sesuatu yang tak terkatakan, seakan-akan Rafif melihat versi diriku yang bahkan tak pernah kusadari ada.
Rafif mendekat, duduk di sampingku. "Aku... aku nggak jago berkata-kata, tapi aku ingin kamu tahu... bahwa kamu, bagi aku, lebih dari sekadar istimewa. Kamu adalah inspirasiku," katanya pelan, suaranya bergetar penuh perasaan.
Tanganku yang gemetar terulur, menyentuh lembut permukaan kanvas itu. Lukisan ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar gambar diriku; ini adalah caranya menunjukkan bagaimana ia memandangku-dengan mata yang penuh cinta, dengan hati yang menghargai setiap detail yang mungkin terlewat oleh orang lain, bahkan oleh diriku sendiri.
"Aku... Kak...," kata-kataku terhenti oleh emosi yang meluap. Rafif mengusap pipiku dengan lembut, ibu jarinya menghapus air mata yang terus mengalir. "Ini terlalu indah. Aku bahkan nggak tau kalau aku bisa dilihat seindah ini..."
"Kamu lebih dari itu," bisiknya lembut. "Aku hanya mencoba menangkap apa yang selama ini aku lihat."
Aku tertawa kecil di antara tangisanku, hatiku bergetar hebat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa sebuah makna yang mendalam, seakan setiap momen bersama Rafif adalah puisi yang tercipta tanpa rencana. Lukisan ini, puisi tadi, senja di tepi danau, semuanya terasa begitu sempurna.
Kemudian, dengan suara yang lebih pelan namun sarat makna, Rafif menatapku dalam-dalam, lalu mengucapkan kalimat yang membuat jantungku hampir berhenti.
"Aksara, maukah kamu menjadi bagian dari hidupku? Bukan hanya hari ini, tapi setiap hari... selamanya?"
Jantungku berdebar kencang, waktu seolah melambat. Dalam keheningan senja yang hening dan damai, angin lembut menyapu permukaan danau, menciptakan riak-riak kecil yang tampak seperti tarian alam. Tatapan mata kami bertemu, begitu dalam dan penuh arti. Tanpa perlu berpikir lebih lama, aku menganggukkan kepala, air mata haru masih menetes di pipiku, namun kali ini diiringi senyum yang begitu tulus.
"Iya, Kak... aku mau."
Senyum Rafif merekah, tatapannya hangat, dan tanpa ragu lagi, dia memelukku erat. Pelukan itu terasa seperti pelukan yang telah lama aku nantikan, penuh cinta dan kehangatan. Di bawah langit senja yang mulai berubah warna, kami berdiri di tepi danau, di antara hamparan bunga liar dan angin yang seakan menyanyikan melodi cinta.
Dan di momen itu, semuanya terasa seolah diatur oleh semesta. Lukisan yang menangkap jiwaku, puisi yang menyentuh hatiku, serta perasaan yang kini terjalin erat di antara kami. Aku merasa tak ada yang lebih indah dari ini. Momen ketika aku dan Rafif akhirnya saling menemukan dalam cinta yang murni dan tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...