Setelah keluar dari ruangan Pak Hasan, aku berjalan menuju taman kampus dengan langkah berat. Pikiran-pikiranku terus berkecamuk, merasa bingung dan frustrasi. Bagaimana bisa ada orang yang melaporkanku ke Hima tanpa alasan yang jelas?Setibanya di taman, aku melihat Nara duduk sendirian di bangku, mengerjakan sesuatu di laptopnya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghampirinya.
"Aksara, kok kayaknya kusut banget?" tanya Nara saat melihat wajahku yang tampak stres.
Sebelum aku sempat menjawab, suara berat menyela dari arah belakang. "Nggak heran sih, kadang senior-senior di Hima itu suka cari kambing hitam."
Aku menoleh dan melihat Rafif berjalan mendekat, tangannya menyelip di saku jaket kampusnya. Meskipun kami beda jurusan-dia di Sastra Inggris dan aku di Pendidikan Bahasa Indonesia-kami sudah beberapa kali berbincang dan mulai sering bertukar pikiran.
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan dahi berkerut.
Rafif duduk di sebelah Nara, lalu menjawab dengan nada santai, "Yah, aku nggak tahu detailnya, tapi biasanya di Hima itu ada yang nggak suka sama orang lain karena alasan sepele. Bisa jadi ada senior yang iri karena kamu terlalu aktif, dan mereka merasa terancam."
Aku memutar bola mata, merasa agak frustasi. "Aku cuma mau kerja dengan baik, bukan cari masalah."
Rafif tertawa kecil, "Justru itu. Kadang orang yang kerja keras malah dilihat sebagai ancaman. Apalagi di Hima. Serius, Hima itu bisa lebih dramatis dari sinetron."
Aku menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku harus hadapin ini, tapi nggak tahu gimana caranya."
Nara yang dari tadi diam ikut angkat bicara. "Mungkin kamu bisa bicarain langsung sama orang yang melaporin kamu. Cari tahu apa masalahnya."
Rafif mengangguk, setuju dengan saran itu. "Yup, kadang yang kamu butuhkan cuma klarifikasi. Hadapin orangnya dan tanya langsung apa yang sebenarnya jadi masalah."
Namun, sebelum aku bisa merespons lebih jauh, tiba-tiba muncul sosok yang membuatku merasa seluruh dunia runtuh seketika. Itu Kak Dina, ketua Hima, yang dikenal sebagai senior galak dan tegas. Tanpa ragu, dia langsung menghampiri kami bertiga dengan tatapan tajam yang tidak mengenal kompromi.
"Aksara, aku dengar kamu lagi nyari penjelasan soal laporan itu?" Kak Dina membuka percakapan dengan nada datar tapi tegas.
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Iya, Kak. Aku merasa ada kesalahpahaman, dan aku ingin tahu apa alasannya."
Tatapan Kak Dina tak berubah, dia menatapku dari atas sampai bawah seolah sedang menilai setiap kata yang keluar dari mulutku. "Kamu memang sering hadir di kegiatan, tapi laporan yang masuk itu tentang caramu bekerja. Beberapa orang merasa kamu terlalu dominan dan kurang bekerja sama."
Kata-kata itu menusukku. Dominan? Kurang bekerja sama? Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Selama ini aku selalu berusaha membantu dan mengerjakan tugas dengan baik.
Rafif yang melihat ketegangan itu mencoba mencairkan suasana, "Eh, mungkin mereka cuma nggak terbiasa sama cara kerjanya Aksara yang serba cepat, ya, Kak Dina?"
Namun, Kak Dina hanya menatapnya dingin. "Rafif, kamu beda jurusan, jangan ikut campur."
Rafif angkat tangan dengan senyum simpul, "Siap, Kak. Saya cuma kasih saran aja."
Kak Dina kembali menatapku, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut tapi tetap tegas, "Aku sarankan kamu introspeksi dulu, Aksara. Kalau memang kamu merasa tidak salah, bicaralah dengan teman-teman yang melapor. Tapi jangan buru-buru menyalahkan siapa pun."
Dengan itu, Kak Dina berjalan pergi meninggalkan kami bertiga. Aku berdiri di sana, merasa campur aduk antara marah, bingung, dan sedih. Rasanya tidak adil, tapi aku tahu aku harus menghadapi ini dengan kepala dingin.
"Gimana rasanya dimarahi Kak Dina?" canda Rafif setelah keheningan yang cukup lama.
Aku meliriknya, sedikit tersenyum meski hati masih bergejolak. "Serasa habis dimaki dosen killer."
Nara ikut tertawa kecil, meskipun situasinya sebenarnya cukup berat. Namun, dengan sedikit tawa dan dukungan dari mereka berdua, aku merasa lebih kuat untuk menghadapi konflik ini.
---
Hari berikutnya, aku akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi beberapa anggota Hima yang terlibat dalam laporan tersebut. Pertemuannya tidak berjalan mudah. Beberapa dari mereka, terutama Kak Bimo, tampak enggan memberikan penjelasan yang jelas. Namun, aku tahu bahwa menghadapi mereka secara langsung adalah langkah pertama untuk menyelesaikan masalah ini.
Ternyata, masalah utamanya lebih kompleks dari yang aku kira. Tidak hanya soal "dominasi", tetapi juga karena ada beberapa senior yang merasa aku terlalu cepat berkembang dan takut aku akan mengambil posisi penting di Hima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...