Saat Aksara berbalik hendak pergi, Rafif tiba-tiba berdiri dan dengan cepat menariknya dalam pelukan. Dia memeluk Aksara erat, seolah-olah takut melepaskannya untuk terakhir kali. Tubuh Rafif bergetar, dan Aksara merasakan betapa berat beban yang selama ini dia tanggung.
“Maafkan aku, Ra,” bisik Rafif, suaranya pecah karena tangis yang dia tahan. “Aku nggak tahu harus bagaimana tanpa kamu. Semua ini terlalu sulit, tapi aku nggak pernah berhenti menyayangi kamu.”
Aksara terdiam dalam pelukan Rafif. Air mata jatuh membasahi pipinya, namun kali ini dia tidak menahan isakannya. Perasaan marah, kecewa, dan cinta bercampur menjadi satu. Meskipun hati Aksara terluka dalam, ada sesuatu yang hangat di balik pelukan itu sebuah kejujuran yang Rafif berikan untuk pertama kalinya.
Mereka berdiri dalam diam cukup lama, hanya suara napas yang terdengar di antara isak tangis Rafif. Aksara akhirnya membiarkan dirinya melepaskan beban yang dia bawa, meskipun di dalam hatinya masih banyak hal yang belum bisa dia terima.
Setelah beberapa saat, Rafif perlahan melepaskan pelukannya. Dia menghapus air matanya dengan lengan bajunya, mencoba menenangkan diri.
“Ada sesuatu yang ingin aku berikan sebelum kamu pergi,” kata Rafif pelan. Dia lalu mengambil tas kecil yang dia bawa dan mengeluarkan sebuah bungkusan. “Ini mungkin nggak bisa memperbaiki semuanya, tapi aku ingin kamu tahu, setiap hal ini punya arti bagi aku, dan juga bagi kita.”
Aksara memandang Rafif dengan penuh rasa ingin tahu. Rafif kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dan memberikannya pada Aksara.
“Bukalah,” kata Rafif lembut.
Aksara mengambil kotak itu, membuka penutupnya, dan menemukan makanan kesukaannya di dalamnya nasi kuning dengan ayam goreng, yang biasa mereka makan bersama ketika mereka masih berpacaran. Ada juga sambal yang dibuat oleh ibunya Rafif, yang selalu menjadi favorit Aksara.
“Ini makanan kesukaanmu. Aku tahu mungkin ini nggak berarti banyak, tapi aku ingin mengingatkanmu tentang momen-momen sederhana yang kita habiskan bersama,” kata Rafif.
Aksara terdiam, memandang makanan itu sambil mengenang masa lalu mereka yang penuh kebahagiaan. Rafif kemudian mengeluarkan sebuah gulungan kain yang ternyata adalah lukisan. Dengan hati-hati, dia membuka gulungan itu dan memperlihatkan sebuah lukisan tangan yang menggambarkan mereka berdua duduk di tepi danau, tempat yang sama di mana mereka berada sekarang.
“Aku melukis ini sendiri,” kata Rafif. “Aku ingin mengabadikan momen terakhir kita di sini. Di tempat ini, semuanya terasa sempurna, sebelum semuanya berubah.”
Aksara menghela napas panjang, mengingat kenangan indah yang pernah mereka miliki. Lukisan itu sederhana, namun penuh makna. Matanya kembali memerah, tapi dia mencoba menahan tangis.
Dan terakhir, Rafif mengeluarkan selembar kertas yang dilipat dengan hati-hati. “Ini puisi untukmu. Yang terakhir dariku.”
Rafif menyerahkan kertas itu pada Aksara, dan dengan tangan gemetar, Aksara membukanya dan mulai membacanya. Setiap kata terasa seperti luka yang kembali dibuka, namun di saat yang sama, kata-kata itu juga penuh dengan perasaan yang tulus.
---
Seutas Kenangan
Dalam sunyi, aku sampaikan rasa
Cinta yang tersisa, yang tak pernah padam
Meski kini kita berjarak jauh,
Hatiku tetap merindu, tak tahu kemana arah.Kamu adalah lagu yang tak pernah usai
Dalam detak jantungku, dalam setiap napas
Dan meski waktu memisahkan kita,
Aku akan selalu ingat senyum dan tawa kita.Ra, kamu adalah kenangan yang takkan kuhilangkan,
Seutas cerita yang takkan pernah pudar.
Dan meski jalan kita berbeda,
Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, di mana pun kamu berada.
---Aksara menyelesaikan membaca puisi itu dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata terakhir Rafif terasa begitu tulus dan menyentuh hatinya. Meskipun luka masih ada, puisi itu memberikan sedikit ketenangan di dalam dirinya.
“Aku tahu ini nggak akan mengubah apa pun, Ra,” kata Rafif, suaranya lembut. “Tapi aku berharap, meskipun kita nggak bisa bersama, kamu bisa bahagia. Aku akan selalu mendukungmu, walau dari jauh.”
Aksara menutup matanya sejenak, berusaha mengendalikan emosi yang membuncah. Kemudian dia membuka matanya kembali, menatap Rafif dengan penuh perasaan.
“Terima kasih, Rafif,” kata Aksara akhirnya, suaranya bergetar. “Terima kasih untuk semuanya. Tapi sekarang, kita harus melanjutkan hidup kita masing-masing.”
Rafif mengangguk pelan, meski terlihat jelas bahwa hatinya hancur. Dia tahu ini mungkin adalah pertemuan terakhir mereka dalam kondisi seperti ini. Meski begitu, dia mencoba untuk tetap kuat.
Aksara memeluk Rafif sekali lagi, kali ini lebih lembut, lebih penuh rasa. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah perpisahan, dan meskipun cinta itu masih ada, takdir telah memilih jalan yang berbeda bagi mereka.
Setelah beberapa saat, Aksara perlahan melepaskan pelukannya dan berbalik, meninggalkan Rafif di tepi danau. Dengan langkah berat, dia berjalan menjauh, namun kali ini dengan perasaan yang lebih tenang. Mereka berdua tahu bahwa meski hubungan mereka telah berakhir, kenangan yang mereka bagikan akan selalu hidup dalam hati masing-masing.
INI BELUM TAMAT GUYS!
NANTIKAN BAB-BAB SELANJUTNYA!🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
أدب المراهقينAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...