22.

13 10 2
                                    

Rafif kemudian duduk di sampingku, masih dengan senyum lembut yang membuat hatiku berdebar. Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya-selembar kertas yang tampak sedikit lusuh, seperti telah dibolak-balik berkali-kali. Dia memandangku sejenak, lalu menyerahkannya dengan kedua tangannya, dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah sesuatu yang sangat berharga.

"Aksara," katanya pelan, "Aku nggak terlalu pandai mengungkapkan perasaan dengan kata-kata secara langsung, tapi aku mencoba menuangkannya ke dalam puisi ini. Aku harap kamu suka."

Tanganku gemetar sedikit saat aku menerima kertas itu. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Di sekeliling kami, alam seakan ikut berkonspirasi menciptakan suasana yang begitu sempurna. Cahaya senja memancarkan warna keemasan, menembus celah-celah pepohonan, menciptakan siluet indah di permukaan danau. Udara sore yang lembut membelai rambutku, membawa keharuman bunga tulip yang tertata di tanganku.

Aku mulai membaca baris-baris yang tertulis dengan tangan Rafif, dengan hati yang dipenuhi rasa haru.

---

"Di antara heningnya semesta,
Ada dirimu yang bersinar seperti bintang,
Mengisi kekosongan hati dengan cahaya lembut,
Membuat setiap hari terasa lebih bermakna."

"Kamu adalah puisi yang tak pernah kuselesaikan,
Setiap kata, setiap baris, selalu membuatku ingin menulis lebih banyak,
Mawar mungkin melambangkan cinta,
Tapi bagiku, kamu adalah tulip yang melambangkan keanggunan dan ketenangan."

"Di tiap senyummu, ada keindahan yang sederhana,
Di tiap tatapan matamu, ada cerita yang belum terungkap.
Kamu adalah awal dari semua yang kuinginkan,
Dan aku berharap, aku bisa menjadi akhir dari pencarianmu."

---

Aku merasakan dadaku berdebar semakin kencang. Setiap kata yang tertulis seolah merasuk ke dalam hatiku, menyusup ke relung terdalam perasaanku. Aku memandang Rafif yang duduk di sampingku, tatapannya penuh dengan harap namun juga kelembutan. Cahaya senja memantulkan kilauan lembut di matanya, membuat tatapan itu terasa semakin dalam, seolah mampu menembus seluruh pertahananku.

Seketika aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kagum. Ada cinta di sana. Sesuatu yang hangat, yang tumbuh perlahan, tapi kini mulai terasa begitu nyata.

"Aku tidak pernah tahu kamu bisa menulis seindah ini," bisikku, suaraku nyaris tak terdengar karena perasaan yang membuncah di dada.

Rafif tersenyum, sedikit malu. "Aku hanya menulis apa yang aku rasakan."

Hening sejenak, hanya suara alam yang menemani kami. Angin berbisik lembut, danau berkilauan dalam cahaya senja, dan keharuman bunga tulip di tanganku semakin menyelimuti suasana. Segalanya terasa begitu sempurna, seperti adegan dari sebuah mimpi yang tak ingin aku akhiri.

Lalu, tanpa aku sadari, aku menggenggam tangan Rafif yang ada di sampingku. Rasanya begitu alami, seolah-olah itu adalah tempat yang selalu seharusnya aku tuju-tangannya yang hangat dan penuh perhatian. Dia menatapku dengan tatapan yang lembut, menunggu tanpa mendesak.

"Terima kasih, Kak," aku berbisik, "Terima kasih sudah sabar dan selalu ada di sini... untukku."

Rafif meremas tanganku pelan, mengisyaratkan bahwa dia mengerti perasaan yang belum mampu aku ucapkan dengan kata-kata. Di bawah langit yang mulai berubah warna, kami duduk di sana, berbagi keheningan yang lebih bermakna daripada ribuan kata-kata.

Aku tahu, saat itu, bahwa aku telah menemukan seseorang yang tak hanya mengagumi, tapi juga menerima dan mencintai diriku apa adanya. Sesuatu yang sederhana, namun penuh keindahan. Seperti tulip di tanganku yang kini mekar sempurna.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang