Setelah satu minggu berlalu sejak Aksara berbicara dengan Andra, dia mencoba melanjutkan hidup, namun bayangan Rafif dan ketidakjelasan yang menyertainya tetap menghantuinya. Segala rutinitas yang ia jalani terasa hambar. Pertanyaan yang belum terjawab terus menggelayut di pikirannya, menghancurkan sisa-sisa kepercayaannya pada Rafif. Di tengah usahanya untuk menata ulang perasaan, sebuah pesan dari Rafif tiba-tiba muncul di ponselnya.
Rafif: Ra, kita perlu bicara. Temui aku di danau, tempat kita dulu.
Aksara menatap pesan itu lama. Tangannya gemetar, dan rasa penasaran bercampur kemarahan membanjiri pikirannya. Bagaimana mungkin Rafif muncul lagi setelah semua ini? Kenapa baru sekarang dia ingin bicara? Apakah ini hanya untuk menutup masalah yang telah menyakitinya begitu dalam? Namun, meskipun begitu banyak pertanyaan memenuhi benaknya, ada satu hal yang jelas: dia butuh kejelasan. Dia butuh jawaban.
Aksara membalas pesan itu singkat.
Ra: Oke. Jam berapa?
Rafif: Jam 4 sore ini. Aku tunggu kamu.
Ketika sore tiba, Aksara melangkah pelan menuju danau. Tempat itu masih sama seperti terakhir kali dia dan Rafif datang bersama, tenang dan penuh kenangan. Di ujung jalan setapak, dia melihat Rafif duduk sendirian di bangku yang dulu menjadi saksi awal hubungan mereka. Melihat Rafif di sana, Aksara teringat saat Rafif menyatakan cinta padanya. Namun sekarang, momen itu terasa seperti mimpi yang jauh. Segalanya sudah berubah.
Aksara berjalan mendekat dengan langkah berat. Ketika dia tiba di hadapan Rafif, mereka hanya saling menatap sejenak. Keheningan menyelimuti mereka, seolah-olah tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan segalanya.
Aksara memulai, suaranya rendah namun penuh emosi yang tertahan. "Kenapa, Rafif? Kenapa kamu pergi tanpa bilang apa-apa? Kenapa kamu biarkan aku mendengar semuanya dari orang lain?"
Rafif menghela napas panjang. Matanya tampak berat, seperti memikul beban yang sangat besar. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Ra. Tapi kamu berhak tahu semuanya sekarang."
Aksara tetap diam, menunggu Rafif melanjutkan. Dia ingin jawaban yang jelas, bukan setengah-setengah seperti sebelumnya.
"Aku dipaksa oleh keluargaku untuk menikahi Clarissa," Rafif akhirnya mengaku, suaranya terdengar serak. "Tapi bukan karena aku mencintainya, Ra. Ini bukan seperti yang kamu kira. Ada hal besar yang terjadi, hal yang aku nggak pernah sangka."
Aksara mengerutkan kening, merasakan kekacauan di dalam dirinya semakin memburuk. "Apa maksudmu, Rafif? Kenapa harus menikah dengan Clarissa? Apa karena gosip itu benar? Apa dia hamil?"
Rafif mengangguk pelan, membuat hati Aksara serasa hancur lebih dalam. "Iya, Ra. Clarissa memang hamil. Tapi anak itu bukan anakku."
Jantung Aksara seolah berhenti. "Kalau bukan anakmu, lalu anak siapa?"
Rafif menunduk, mengambil napas dalam sebelum menjawab. "Anak itu... anak Andra."
Aksara tersentak, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Andra? Kamu bercanda, kan? Bagaimana mungkin?"
Rafif menggeleng, matanya mulai berair. "Aku juga kaget saat pertama kali tahu. Clarissa dan Andra sudah lama punya hubungan, tapi mereka merahasiakannya. Keluarga kami semua tahu, Ra. Dan mereka semua terlibat dalam masalah ini. Bisnis keluarga kami, keamanan ibuku semua bergantung pada menjaga skandal ini tetap tertutup."
Aksara merasakan darahnya berdesir. "Apa maksudmu? Kenapa keselamatan ibumu terancam?"
Rafif menggigit bibirnya, tampak ragu untuk melanjutkan. "Keluarga Clarissa punya pengaruh besar dalam bisnis yang berhubungan langsung dengan usaha keluargaku. Ketika Clarissa hamil dan Andra nggak bisa bertanggung jawab, keluarganya menekan ayahku untuk menikahkan aku dengan Clarissa. Kalau aku menolak, mereka mengancam akan membuat masalah besar, termasuk menyingkirkan ibuku dari bisnis keluarga. Ibuku selama ini sakit-sakitan, dan ayahku khawatir dengan keselamatannya kalau masalah ini meledak."
Aksara terdiam. Semua mulai masuk akal sekarang. Segala keheningan, segala perubahan sikap Rafif, semua karena tekanan yang datang dari keluarganya. Tapi itu tidak membuatnya lebih mudah untuk diterima.
"Jadi, kamu memilih meninggalkanku karena alasan ini?" tanya Aksara, suaranya bergetar. "Karena keluargamu memaksa? Karena keselamatan ibumu?"
Rafif mengangguk pelan. "Aku nggak punya pilihan lain, Ra. Aku nggak bisa membiarkan mereka menyakiti ibuku. Aku tahu ini egois, aku tahu aku menyakiti kamu, tapi aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku pikir, dengan menjauh dari kamu, aku bisa menjaga kamu dari semua masalah ini."
Air mata mulai mengalir di pipi Aksara. Dia merasa hancur, terluka, dan sekaligus marah. "Kenapa kamu nggak cerita dari awal, Rafif? Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
"Aku nggak ingin melibatkan kamu, Ra. Ini terlalu berbahaya, terlalu rumit. Aku nggak mau kamu ikut terjebak dalam kekacauan ini."
Aksara menunduk, menahan isakan yang hampir meledak. "Tapi dengan kamu diam, kamu membuat semuanya lebih buruk. Kamu membuat aku merasa tidak berarti."
Rafif berusaha meraih tangan Aksara, tapi Aksara menariknya kembali. "Ra, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku sudah merusak semuanya. Aku tahu kamu mungkin nggak bisa memaafkan aku sekarang. Tapi aku harus bilang yang sebenarnya, aku masih sayang sama kamu."
Aksara terisak, membiarkan air matanya jatuh. "Kamu sudah membuat keputusan, Rafif. Kamu memilih keluargamu, memilih tanggung jawabmu, dan aku mengerti itu. Tapi aku nggak tahu apakah aku bisa kembali setelah semua ini."
Rafif tertunduk, kesedihan terpancar dari wajahnya. "Aku paham, Ra. Aku cuma berharap, suatu hari nanti, kamu bisa memaafkan aku."
Aksara berdiri perlahan, menatap Rafif dengan mata yang masih basah. "Mungkin suatu hari, Rafif. Tapi untuk sekarang, aku butuh waktu. Terlalu banyak luka yang belum sembuh."
Tanpa menunggu jawaban, Aksara berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hatinya, masih tersisa cinta yang pernah ada untuk Rafif, tapi kepercayaan yang hilang membuat jarak di antara mereka semakin tak terjembatani.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Novela JuvenilAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...