Tepuk tangan meriah membahana di seluruh aula begitu lagu selesai. Sorakan menggema, terutama dari para mahasiswa yang duduk di barisan depan. Mereka tak henti-hentinya memanggil nama Rafif, mengungkapkan kekaguman mereka atas penampilan yang baru saja ia suguhkan. Aku tersenyum kecil melihat semua itu, merasa bangga dengan apa yang baru saja terjadi.
Nara, yang duduk di sampingku, menyenggol lenganku dan berbisik, "Kamu lihat nggak? Dia sempat senyum ke arah kita waktu nyanyi tadi. Kayaknya dia nyanyi buat kamu deh."
Aku tertawa kecil, meski dalam hati ada sesuatu yang terbesit. Benarkah itu? Tapi aku mencoba menepis pikiran itu dan kembali menikmati suasana. Rafif turun dari panggung dengan senyum lembut di wajahnya, menerima tepuk tangan dan sorakan dengan tenang. Ada sesuatu yang menawan dalam caranya membawa diri, seakan setiap gerak-geriknya memancarkan ketenangan yang memesona.
Setelah acara selesai, aku menerima pesan dari Rafif.
Rafif:
"Hey, udah kelar nih. Kamu di mana? Boleh ketemu bentar?"Aku menunjukkan pesan itu kepada Nara, yang langsung memberikan tatapan penuh arti. "Sar, waktunya ngobrol sama dia tuh. Aku tunggu di sini aja ya," katanya sambil tersenyum lebar.
Dengan sedikit gugup, aku mulai mencari sosok Rafif di antara kerumunan mahasiswa yang perlahan mulai meninggalkan aula. Akhirnya, aku melihatnya berdiri di dekat pintu, masih memegang gitarnya. Wajahnya tampak cerah ketika mata kami bertemu, dan ia melambaikan tangan dengan senyum yang hangat.
"Hey," sapanya lembut saat aku mendekat. "Thanks for coming. Seneng banget kamu bisa nonton."
Aku tersenyum, berusaha menenangkan diri dari rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. "Kamu keren banget tadi, Kak. Serius, aku nggak nyangka bisa sebagus itu."
Rafif tertawa kecil, tampak sedikit malu. "Wah, makasih. Seneng denger kamu suka."
Kami berdiri dalam keheningan yang nyaman, membiarkan riuh rendah suasana aula sedikit mereda. Namun, aku bisa merasakan bahwa Rafif ingin mengatakan sesuatu. Ia menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian.
"Aksara," mulai Rafif dengan nada yang lebih serius, "ada yang pengen aku bilang, tapi kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku ngerasa... sejak kita ngobrol beberapa waktu ini, kamu jadi orang yang sering aku pikirin. Kamu beda. Aku suka cara kamu lihat dunia, cara kamu nge-handle semuanya."
Kata-katanya membuatku terdiam sejenak. Ada kejujuran yang terpancar dari tatapannya, dan jantungku mulai berdebar lebih cepat dari biasanya. Rafif melanjutkan, kali ini suaranya sedikit lebih rendah.
"Aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman atau maksa apa pun. Tapi aku pengen kamu tahu kalau... aku ada rasa sama kamu. Dan aku nggak bakal buru-buru. Just take your time."
Dunia rasanya berhenti sejenak di sekitarku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Perasaan di dalam diriku bercampur aduk-antara kaget, bingung, dan senang. Ini adalah hal yang tak pernah kubayangkan, meskipun aku mungkin pernah diam-diam memikirkannya.
"Aku..." kata-kataku nyaris tak keluar. "Aku nggak tahu harus bilang apa sekarang, Kak. Tapi makasih buat kejujuranmu."
Rafif tersenyum lembut, seolah memahami kebingunganku. "It's okay, Sar. Aku nggak butuh jawaban sekarang. Yang penting, aku udah bilang. Biar waktu yang ngasih jawabannya."
Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang tak karuan. Ada banyak hal yang berputar di kepalaku-tentang Rafif, tentang perasaanku, dan tentang apa yang mungkin terjadi setelah ini. Aku berusaha mencerna semuanya perlahan, tapi tetap saja, perasaanku tak mudah untuk diabaikan. Rafif telah membuka pintu menuju sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan, dan itu membuatku bertanya-tanya apakah aku juga siap untuk melangkah melewati pintu itu.
Sebelum tidur, aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Pikiranku terus memutar kembali momen-momen bersama Rafif, dari pertemuan pertama kami hingga obrolan ringan di kantin, semuanya terasa berbeda sekarang. Apakah selama ini aku juga merasakan sesuatu yang lebih, tapi hanya tak berani mengakuinya?
Aku merebahkan diri, mencoba tidur, tapi bayangan Rafif terus menghantuiku. Senyumannya, tatapan hangatnya, dan kata-kata lembutnya masih terngiang di telingaku. Aku tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sebuah perasaan yang mulai tumbuh perlahan. Tapi bagaimana aku harus menanggapinya? Itu pertanyaan yang belum bisa kutemukan jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...