Aku melangkah keluar dari kedai kopi, meninggalkan aroma kopi yang mulai memudar di belakangku. Jalanan kota masih ramai, suara klakson dan derap langkah orang-orang bersahut-sahutan, mengingatkanku bahwa ini bukan lagi desaku yang tenang. Angin sore menyentuh wajahku, membawa serta kesadaran bahwa aku benar-benar berada di tempat baru. Tidak ada lagi jalan setapak yang dihiasi pepohonan rindang, tidak ada lagi sapaan ramah tetangga di sepanjang perjalanan.
Aku berjalan perlahan menuju kos, melewati deretan toko kecil dan kios makanan yang berjejer di pinggir jalan. Di balik kegelisahan yang kurasakan, ada secercah rasa ingin tahu yang muncul. Kota ini penuh dengan kehidupan, energi yang selalu bergerak. Setiap orang tampak sibuk dengan urusan mereka sendiri, tapi aku bertanya-tanya, bagaimana mereka menjalani hidup di tengah segala hiruk-pikuk ini? Bagaimana mereka bisa merasa nyaman di tempat yang begitu ramai dan tidak pernah tidur?
Setibanya di kos, aku mendapati kamar mungilku seperti menunggu untuk kembali kutata. Lantainya masih dingin, dan jendelanya masih menunjukkan pemandangan gang sempit yang suram. Aku duduk di atas tempat tidur, memandangi dinding putih kosong yang terasa jauh dari kesan 'rumah'. Aku tahu butuh waktu untuk merasa nyaman di sini, tapi entah kenapa, kesunyian kamar ini malah membuatku merasa semakin jauh dari kenyamanan.
Kupandangi jurnal yang tadi kumasukkan kembali ke tas. Rasanya seolah-olah setiap halaman yang kutulis mengandung sebagian kecil dari perasaanku, rasa takut, kegelisahan, tetapi juga harapan yang tak bisa kuabaikan. Aku tidak tahu bagaimana hari-hari berikutnya akan berjalan, tapi aku tahu ini adalah bagian dari prosesku untuk tumbuh. Kota ini, meskipun terasa asing, mungkin akan menjadi tempat di mana aku menemukan diriku yang selama ini hilang di balik keraguan.
Kupandangi ponselku sejenak, tak ada pesan baru. Teman-teman di desa mungkin sedang sibuk dengan rutinitas mereka masing-masing, dan aku merasa terputus dari dunia yang dulu begitu kukenal. Namun, bukankah ini yang kuinginkan? Sebuah kesempatan untuk memulai dari awal, di tempat di mana aku bisa menjadi siapa pun yang kuinginkan tanpa terikat oleh masa lalu?
Aku berbaring di tempat tidur, mendengarkan bunyi langkah kaki samar dari kamar sebelah. Entah siapa yang tinggal di sana, aku belum mengenal siapa pun di gedung kos ini. Mungkin besok, atau minggu depan, aku akan mulai bertemu dengan orang-orang baru. Tapi untuk saat ini, aku merasa cukup dengan diriku sendiri dengan pikiran-pikiran yang berlarian di kepalaku, dan dengan halaman kosong jurnal yang menanti untuk kutulis.
Malam mulai turun perlahan, menggantikan warna langit dengan gelap yang lebih familiar. Di luar, lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi jalan-jalan kota yang tak pernah berhenti bergerak. Aku memejamkan mata, mencoba mengabaikan suara bising yang terus terdengar dari kejauhan. Di sinilah aku sekarang, di kota baru ini, dengan secangkir kopi pertama yang menandai awal perjalanan panjang yang tak terduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Novela JuvenilAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...