bayang bayang budaya kuno

167 11 2
                                    

Hera duduk di sudut ruangan yang lembab dan gelap, dinding-dindingnya bercorak hitam, menggambarkan luka-luka yang tak kasatmata. Suara gemerisik kaki-kaki berat di lantai tanah menambah tekanan yang tak kunjung hilang. Di luar, riuh rendah para pria yang merayakan "kemenangan" mereka atas tubuh wanita, dan suara ketawa kasar yang terdengar menyakitkan bagi telinga hera. Dia sudah terlalu sering mendengarnya, tapi rasa sakit itu tak pernah benar-benar hilang.

Wanita di tempat ini bukan manusia. Mereka hanya bayang-bayang, tak lebih dari komoditas yang bisa dijual, dibeli, lalu dibuang. Hera melihat wajah-wajah yang kosong, para wanita yang berjalan tanpa jiwa di tengah malam. Mereka semua dulu bermimpi, mungkin ingin menjadi seseorang, tetapi mimpi itu tak pernah punya tempat di dunia yang didominasi oleh pria. Dunia ini hanya untuk pria.

Penjara itu menjulang di depan hera seperti monster yang terbangun dari kegelapan, dinding-dinding beton retak dan berlumut menjulang suram, memancarkan aroma busuk yang menyengat. Cahaya redup menembus jendela kecil yang terhalang jeruji besi, menciptakan bayangan menyeramkan di lorong-lorong  sempit, tempat desakan napas berat para tahanan bergema seperti nyanyian hantu.

Kamar-kamar sempit itu hanya cukup untuk menampung satu atau dua orang, dipenuhi kotoran dan sampah, sementara kasur tipis yang berkarat tergeletak di sudut, penuh noda dan bau tak sedap. Goresan-goresan di dinding menggambarkan kisah-kisah putus asa yang tak terucapkan, menandakan waktu yang terjebak dalam kegelapan.

Setiap suara tampak bergema di antara dinding, menciptakan suasana menakutkan di mana ketakutan dan keputusasaan melingkupi setiap sudut, membuatnya merasa seperti hantu di tempat yang seharusnya menjadi rumah.

Penjara ini bukan hanya sekadar tempat fisik; ia adalah simbol dari penindasan, kehilangan harapan, dan perjuangan yang tak berujung.

"Siapa lagi yang dijual malam ini?" suara sarkastik seseorang memecah kesunyian, lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada siapa pun di ruangan itu. Sebuah tawa pahit meluncur dari bibirnya, seperti dia sudah terbiasa dengan keputusasaan. Dia merasakan kebencian yang membakar, tapi kebencian itu tak cukup kuat untuk mengubah nasibnya. Tidak sekarang. Tidak di sini.

"Ada yang lebih penting dari itu," kata seruni, seorang wanita tua yang terlihat lebih letih dari hidupnya sendiri. "Budaya ini tidak pernah berubah. Kita hanya angka di buku besar mereka."

Hera memandang seruni dengan tatapan kosong. "Dan angka tidak punya suara. Kita hanya barang di rak. Itu yang diajarkan pada kita."

Kata-kata seruni menyentak hera kembali ke kenyataan. Dunia ini sudah menakdirkan mereka untuk kalah sejak lahir. Wanita-wanita seperti mereka, yang hidup di bawah bayang-bayang pria, diabaikan, tidak dianggap, dan dihilangkan dari sejarah. Di dunia ini, lahir sebagai perempuan berarti lahir untuk dihancurkan. Mereka bahkan tidak diberi kesempatan untuk sekadar bermimpi melawan.

"Kalau saja kita bisa melawan," gumam Hera,lebih kepada dirinya sendiri. Matanya tajam, tapi penuh kemarahan yang tak tersalurkan. Dia ingat masa kecilnya, ketika ibunya dipaksa menyerahkan tubuhnya demi kelangsungan hidup keluarganya. Itu adalah pelajaran pertama yang dia dapatkan tentang dunia ini: tubuh wanita hanya berarti dalam kaitannya dengan pria.

Seruni menatapnya dengan mata suram. "Mereka tidak akan pernah membiarkan kita. Dalam mata mereka, kita hanya beban, makhluk yang lahir untuk melayani. Laki-laki adalah langit, dan kita tanah yang diinjak."

Hera menghela napas panjang. Dia tahu seruni benar. Di desa, di kota, di mana-mana, peraturan-peraturan yang tak tertulis itu terus berulang-wanita tidak lebih dari boneka yang diatur, dikendalikan, dan dimanfaatkan. Ayahnya pun demikian, pria yang tak pernah memandangnya kecuali untuk menghitung berapa dia akan mendapatkan uang dari menjual hera.

Tetapi, di balik kebencian itu, ada api yang terus menyala dalam diri hera. Api kecil yang bersembunyi di balik setiap luka dan setiap penghinaan. Hera tahu bahwa dunia ini kejam, tetapi dia tidak akan menerima nasib yang ditetapkan untuknya selamanya.

Seruni mendekatkan diri, suara lembutnya menggema di antara keheningan. "Kita mungkin tidak punya suara hari ini, tapi sejarah berubah ketika seseorang berani bersuara, meskipun terdengar lemah."

Hera menoleh, mata mereka bertemu. Dia merasa kekuatan yang jarang dia rasakan. "Aku akan menghancurkan mereka," katanya pelan, tapi penuh dengan tekad. "Aku akan membuat mereka mendengar suara kita, apa pun yang terjadi."

Dan di tengah kegelapan itu, untuk pertama kalinya, Hera merasakan sedikit harapan. Bukan untuk hari ini, tetapi untuk hari esok yang mungkin lebih baik-bagi dirinya, dan bagi setiap wanita yang dipaksa tunduk oleh dunia yang tak adil.

Dan ia berharap kepada nona muda atreyu.

______

Nyx duduk di bangku nya, setengah malas dengan tubuhnya bersandar di kursi, kakinya terentang di bawah meja. Matanya setengah terbuka, memperhatikan papan tulis dengan sedikit minat. Sebagian besar murid sedang sibuk mencatat, sementara Nyx hanya menggulung ujung rambutnya dengan jemari, tatapannya mengembara ke jendela. Dia tahu guru itu akan segera mengincarnya-seperti biasa.

"Nyx," suara guru yang sinis menggema di dalam kelas. Semua kepala langsung menoleh ke arahnya. Nyx menghela napas panjang, malas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu bahkan tidak repot-repot membuka bukumu. Apa kamu pikir ini semacam liburan?"

Nyx mengangkat alis, tanpa niat untuk membela diri. Dengan gerakan lamban, dia membuka buku catatannya-halaman kosong tanpa satu pun tulisan. Tawa kecil terdengar di antara teman-temannya, dan Nyx hanya mengedikkan bahu, tidak peduli.

Emosi nya sedang tidak stabil,ia benar benar muak dengan mereka semua rasa nya ia ingin melegakan hati dengan meminum Vodka dan menghisap tembakau.

Saat masuk kesini ia sudah jarang melakukan kegiatan nya dahulu.

Apakah nanti malam ia perlu ke club seperti nya jangan ia masih harus mengurus Hera yang masih di tahan,walau nanti ia akan sedikit menggunakan kuasa demonic.

Nyx tertawa kecil, sarkasmenya lebih tajam dari sebelumnya. "Apa aku harus serius? Kau bahkan tidak peduli dengan kami, hanya memainkan peranmu dalam sistem yang busuk ini." Matanya menyipit penuh tantangan, menantang otoritas di hadapannya.

"Kenapa kamu selalu seperti ini? Tidak mau berusaha, tidak mau peduli!" Guru itu semakin mendekat, menunjuk buku catatannya yang kosong. "Kamu benar-benar tidak punya niat untuk belajar, kan?"

Nyx memutar matanya, kemudian menggumamkan jawaban dengan sarkasme, "Yah, mungkin kalau pelajarannya lebih menarik, aku akan lebih termotivasi."

Tawa kecil terdengar lagi, tapi kali ini dari dirinya sendiri, dingin dan penuh pemberontakan. Dia tahu ucapannya akan memperkeruh suasana, tapi baginya, rasa malas itu lebih tentang menolak permainan orang lain daripada menyerah sepenuhnya.

" Jangan munafik kau bahkan dulu tak pernah ingin menginjakan kaki di kelas ini,apa ada utusan dari para Lucifer tuan guru!"

DRAMA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang