Raymond

62 5 0
                                    

Nyx menatap layar komputer dengan alis sedikit terangkat. Nama Calliope Atreyu benar-benar muncul di database sekolah, dan itu sedikit mengusiknya. "Serius? Nama ini lagi?" gumamnya sambil mendesah pelan, merasa heran. Sudah beberapa kali nama itu muncul dalam percakapan orang-orang, dan kini, sepertinya, ada lebih dari sekadar kebetulan di sini.

Guru baru yang berdiri di belakangnya terlihat ragu. "Kau menemukan apa yang kau cari?" tanyanya dengan nada hati-hati.

Nyx menoleh sebentar, memberikan senyum kecil yang terkesan datar. "Yah, semacam itu." Sebenarnya, dia masih belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, tapi dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya sekarang. Setelah hari yang melelahkan, satu hal yang ia butuhkan hanyalah ketenangan, bukan tambahan misteri baru.

"Nama itu terus muncul di mana-mana," lanjutnya, sambil menutup layar. "Tapi, mungkin aku hanya perlu istirahat. Kepalaku sudah penuh dengan persidangan tadi."

Guru itu mengangguk pelan. "Kadang, istirahat memang yang paling kita butuhkan."

Nyx tersenyum tipis. "Tepat sekali. Lagipula, hidup sudah cukup rumit tanpa tambahan teka-teki ini." Ia melangkah keluar dari ruangan dengan langkah santai, sedikit lebih ringan dari sebelumnya, meski pikirannya tetap memikirkan nama Calliope Atreyu.

"Ah, ya sudahlah," batinnya. "Kalau memang penting, pasti akan muncul lagi, kan?"

Saat Nyx dan guru baru itu keluar dari ruang informasi, suasana lorong sekolah terasa sepi dan tenang. Nyx melirik ke arah guru tersebut, yang masih tampak sedikit canggung. Setelah apa yang baru saja terjadi, Nyx merasa ada baiknya untuk mengenal orang ini sedikit lebih baik—mengingat dia satu-satunya guru yang tampak tidak seperti "sampah" dalam pandangannya sejauh ini.

"Jadi," Nyx memulai sambil menyesuaikan langkahnya agar seirama dengan guru baru itu. "Kau guru baru di sini, kan? Sepertinya kita pernah terlibat pertengkaran sebelumnya."

Guru itu tersenyum tipis, tampak sedikit lebih santai sekarang. "Ya, aku baru mulai beberapa hari yang lalu. Nama saya Pak Raymond. Mengajar mata pelajaran sejarah."

Nyx mengangguk pelan. "Sejarah, ya? Lumayan menarik," komentarnya tanpa banyak emosi, tapi ada sedikit rasa penasaran yang mulai muncul. "Aku Nyx. Tapi, sepertinya kau sudah tahu."

Pak Raymond tertawa kecil, menatap Nyx dengan senyum ramah. "Ya, nama itu cukup sering terdengar di sini. Tapi tadi kau disebut dengan nama lain... Calliope?"

Nyx tersenyum tipis, sedikit sarkastik. "Iya, Calliope. Nama yang entah kenapa melekat padaku belakangan ini. Tapi aku lebih suka Nyx."

Pak Raymond mengangguk. "Baiklah, Nyx. Bagaimanapun, nama adalah soal preferensi. Kalau ada sesuatu yang bisa kubantu, kau tahu di mana mencariku."

Nyx menatapnya sejenak, agak terkejut dengan sikap ramah dan sederhana yang ditunjukkan. Biasanya, guru-guru di sekolah ini tidak terlalu peduli, apalagi menawarkan bantuan secara langsung. "Hmm, baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jangan terlalu berharap aku jadi siswa favoritmu."

Pak Raymond tersenyum lebih lebar kali ini. "Tidak masalah. Aku juga tidak mencari favorit."

Mereka berdua terus berjalan dalam diam, tapi kali ini ada sedikit rasa nyaman di antara mereka. Meski Nyx belum sepenuhnya memutuskan apakah dia akan mempercayai Pak Raymond, setidaknya sekarang dia tahu ada seseorang yang berbeda di sekolah ini. Dan siapa tahu, mungkin saja suatu hari nanti, Pak Raymond bisa jadi orang yang membantunya mengungkap misteri yang berputar di sekeliling namanya.

" Oh ya kenapa kau memakai baju santai di sekolah ," tanya pak Raymond.

Nyx melirik sekilas ke arah Pak Raymond, tersenyum setengah mengejek. "Kenapa? Tidak suka dengan gayaku?"

Pak Raymond tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Bukan begitu, hanya penasaran. Di sini biasanya siswa—terutama perempuan—diatur dengan ketat soal pakaian."

Nyx mengangkat bahu, melanjutkan langkahnya tanpa banyak ekspresi. "Yah, aturan memang dibuat untuk dilanggar, kan?" katanya dengan nada acuh tak acuh. "Lagipula, dengan segala kekacauan yang ada di sekolah ini, seharusnya pakaian jadi hal terakhir yang mereka pedulikan."

Pak Raymond tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku setuju, ada hal yang lebih penting daripada sekadar aturan berpakaian. Tapi terkadang orang menggunakan aturan untuk mengontrol apa yang mereka bisa."

Nyx mendengus pelan, menunjukkan ketidaksukaannya pada konsep itu. "Mereka bisa mencoba, tapi aku bukan tipe yang mudah dikontrol. Terlalu banyak hal yang perlu kukendalikan sendiri."

"Memang kedengarannya seperti kau tahu bagaimana caranya bertahan di sini," kata Pak Raymond dengan nada ramah.

Nyx menyeringai sedikit. "Yah, bertahan adalah keahlian yang harus dimiliki semua orang di tempat ini. Kalau tidak, kau bakal ditelan hidup-hidup."

Pak Raymond menatap Nyx dengan rasa hormat yang samar. "Aku rasa kau sudah lebih dari sekadar bertahan, Nyx. Mungkin kau juga yang bisa mengajari mereka sesuatu."

Nyx tersenyum sinis, lalu menoleh untuk menatap Pak Raymond dengan tatapan menyelidik. "Mungkin, tapi jangan terlalu berharap," katanya, masih dengan sikapnya yang dingin tapi kini sedikit lebih terbuka terhadap kehadiran guru baru itu.

Mereka terus berjalan, suasana di antara mereka terasa lebih santai, meskipun Nyx masih menyimpan banyak hal yang belum ingin dibagikan. Mungkin, suatu hari nanti, Pak Raymond akan mengerti lebih banyak tentang siapa Nyx sebenarnya dan dunia gelap yang ia jalani.

Saat mereka terus berjalan menyusuri lorong sekolah, Nyx merasa ada yang berbeda dalam suasana hatinya. Biasanya, ia selalu menjaga jarak dari orang-orang, apalagi dari guru, tapi Pak Rayhan tampak tidak seperti guru pada umumnya. Ada sesuatu yang tenang dan tulus dalam sikapnya, dan itu membuat Nyx sedikit melonggarkan pertahanannya.

"Kau bilang kau baru beberapa hari di sini?" Nyx bertanya, mencoba mengisi keheningan.

Pak Raymond mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, baru saja pindah. Sekolah ini... agak berbeda dari yang aku bayangkan."

Nyx tertawa kecil, sebuah tawa yang jarang keluar dari dirinya. "Oh, kau belum melihat separuhnya," katanya, nadanya setengah bercanda tapi juga penuh dengan kenyataan pahit. "Sekolah ini seperti dunia lain. Kau harus kuat kalau mau bertahan."

Pak Raymond tersenyum, namun kali ini ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Aku sudah dengar beberapa cerita. Tapi aku rasa setiap tempat punya tantangannya sendiri, kan?"

Nyx mengangguk pelan, setuju. "Tantangan, ya? Mungkin kau benar." Dia berhenti sejenak, menatap Pak Raymond dengan mata menyipit. "Tapi ada banyak hal yang tidak bisa kau pahami hanya dengan mendengar cerita."

Pak Raymond tertawa pelan. "Kau benar. Aku kira itulah mengapa aku di sini, untuk belajar lebih banyak. Siapa tahu, mungkin kau bisa mengajariku sesuatu."

Nyx terdiam sejenak, terkejut dengan jawaban Pak Raymond. Jarang sekali ada orang dewasa yang berbicara dengannya tanpa nada menggurui. Ia merasa bahwa Pak Rayhan benar-benar tulus dalam ucapannya, dan itu membuat Nyx sedikit melunak.

"Siapa tahu," balas Nyx, kali ini tanpa sarkasme. "Mungkin aku bisa."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka dalam diam, tapi ada rasa saling pengertian yang mulai terbentuk di antara mereka. Nyx mungkin tidak terbiasa mempercayai orang, apalagi guru, tapi ada sesuatu dalam diri Pak Raymond yang membuatnya berpikir bahwa, setidaknya untuk kali ini, dia bisa memberi orang lain kesempatan.

" Lihat lah apakah sekarang aku perlu membunuh cecunguk bagus satu itu "

DRAMA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang