sidang 2

58 4 0
                                    

---

Persidangan dimulai. Di ruang yang penuh ketegangan, Hera duduk di kursi terdakwa, tatapannya dingin namun penuh dengan emosi yang tersembunyi. Di seberangnya, Nyx berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya. Meski rasa bersalah menghantamnya, ia tidak bisa menahan sifat sarkastiknya keluar di saat-saat tertentu.

Hera menatap Nyx, amarah dan rasa sakit berbaur dalam pandangannya. "Kau terlambat. Ana sudah mati karena kelalaianmu."

Nyx mengangkat alis, ekspresi wajahnya dingin namun nada bicaranya tajam. "Oh, percaya padaku, Hera. Aku tahu. Setiap kali aku melihat panci mendidih, aku akan diingatkan tentang betapa hebatnya aku gagal. Mungkin aku harus menulisnya dalam buku resep."

Hera mencengkeram lengan kursi, suaranya gemetar. "Ini bukan lelucon, Nyx. Kau bisa saja menyelamatkannya."

Nyx mendengus, matanya memicing saat ia mendekati Hera. "Oh, aku tahu. Dan aku akan menghabiskan sisa hidupku dihantui jeritan itu. Tapi kau tahu apa yang paling menggangguku? Fakta bahwa kau masih duduk di sini, menyalahkanku, sementara aku yang berlari tanpa pikir panjang, mencoba menyelamatkannya."

Hera menahan air mata yang hendak mengalir. "Kau tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi."

Nyx melipat tangan di dada, senyum sarkastik terukir di wajahnya. "Terima kasih atas pencerahannya. Aku benar-benar tidak menyadari bahwa waktu tidak bisa diputar balik. Kau selalu bijak sekali, Hera."

Amarah Hera semakin memuncak. "Kau tidak mengerti-"

Nyx memotongnya, nadanya lebih tajam kali ini. "Aku mengerti, Hera. Lebih dari yang kau tahu. Tapi kau bisa duduk di sana dan menyalahkan aku sepuasmu. Kita berdua tahu aku bukan satu-satunya yang gagal di sini."

Ruang persidangan terasa berat dengan kesunyian yang menekan. Nyx berdiri di sisi ruangan, punggungnya menegak namun wajahnya menyiratkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Di seberang, Hera duduk di kursi terdakwa, matanya merah, seolah menahan kemarahan yang nyaris tak terbendung.

Hera menatap Nyx dengan tatapan menusuk, suaranya bergetar, penuh dengan rasa sakit. "Kau gagal, Nyx. Ana mati karena kau datang terlambat. Kau seharusnya bisa menyelamatkannya."

Nyx mengangkat kepalanya perlahan, matanya terfokus tajam pada Hera, meski di balik tatapan itu ada bayangan trauma yang tak bisa ia usir. Ia tersenyum tipis, sarkastik seperti biasanya, tapi kali ini ada getaran di suaranya. "Oh, percaya padaku, aku tidak butuh kau untuk mengingatkanku. Setiap malam saat aku menutup mata, aku mendengar jeritannya. Mungkin aku harus menulisnya dalam buku harian. Judulnya? 'Kesalahan Terbesar Nyx'."

Hera mencengkeram sandaran kursinya, air matanya mengalir tanpa ia bisa tahan. "Ini bukan tentang dirimu. Ini tentang Ana! Dia... dia anakku, dan kau membiarkannya mati!"

Nyx terdiam sejenak, napasnya berat. Sarkasmenya memudar, berganti dengan rasa sakit yang ia coba kubur dalam-dalam. "Ya, aku tahu...," bisiknya, suaranya kini serak. "Aku membiarkannya mati. Aku tiba terlambat. Aku seharusnya berlari lebih cepat, seharusnya bisa lebih... lebih baik."

Air mata yang selama ini ia tahan mulai menggenang di sudut matanya, namun ia menghapusnya dengan cepat. Ia memaksa tawa, meskipun suaranya pecah. "Tapi kau tahu, Hera? Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan lebih dari senang untuk jadi pahlawan yang kau inginkan. Sayangnya, dunia ini tidak memberikan kesempatan kedua, kan?"

Hera berdiri, wajahnya dipenuhi kemarahan dan duka yang tak terkatakan. "Ana mati dengan rasa takut, dan kau masih bisa membuat lelucon tentang ini?"

Nyx tertawa getir, kini benar-benar tak mampu menahan air mata yang jatuh perlahan di pipinya. "Lelucon? Ini bukan lelucon, Hera. Ini caraku bertahan hidup. Setiap detik aku mendengar suaranya, setiap mimpi buruk yang membangunkanku di malam hari, aku harus berusaha tetap waras. Dan kalau satu-satunya cara untuk menahan rasa bersalah ini adalah dengan bersikap sinis, ya... Aku akan melakukannya."

DRAMA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang