fuck

38 3 0
                                    

Hera berjalan dengan langkah yang pelan, membiarkan keheningan malam menjadi saksi setiap jejak yang ia tinggalkan. Kakinya terasa berat, namun ada sebuah dorongan kuat yang membawanya ke sebuah tempat. Tempat itu tersembunyi di balik bayang-bayang, terlindung dari pandangan orang lain—tempat di mana Liliana ditahan. Di sana, tembok-tembok dingin mengurung, namun di balik ketenangan palsu yang menyelimuti tempat itu, Hera bisa merasakan ada sesuatu yang menggelegak, sebuah amarah yang perlahan menyala di dalam dirinya.

_____

" Julurkan lidah mu nyx " nyx memutar bola mata nya malas kenapa si sinting ini sekarang berlagak seperti seorang dokter.dan kenapa mereka terlihat akrab ah maksudnya adalah anvil dan demonic.

Nyx mendesah pelan, memutar bola matanya dengan malas. "Serius, kenapa kau jadi bertingkah seperti dokter sekarang?" ujarnya dengan nada sarkastik, menatap Anvil dengan penuh kebosanan.

Demonic yang berdiri di sudut ruangan tampak mengamati keduanya, dan hal itu membuat Nyx semakin kesal. Mereka—Anvil dan Demonic—terlihat anehnya begitu akrab. Nyx tidak bisa memutuskan apakah itu hal baik atau justru lebih buruk baginya. "Cepatlah, aku tak punya waktu sepanjang hari," gumamnya, meski dalam hati ia tahu sebenarnya tak ada gunanya melawan saat ini.

Ia menjulurkan lidah nya heii lihat tatapan bagai Kampak bersinar itu ia tak ingin kehilangan kepala nya saat ini.

Keadaan masih sedikit traumatis jadi lebih baik dia pasrah kan saja semua nya pada tangan nya ini untuk menimpuk kepala mereka saat kelakuan mereka di luar nalar.

Nyx menjulurkan lidahnya dengan enggan. "Bah, puas sekarang?" katanya sambil melirik Anvil dengan tatapan meremehkan.

Anvil mengabaikan sindirannya, seakan sudah terlalu terbiasa dengan sikap sinis Nyx. Ia melakukan pemeriksaan singkat, meskipun Nyx tahu semua ini hanyalah permainan kekuasaan. Tak ada yang benar-benar memerhatikan kesehatannya di sini. Semua hanya tentang kontrol. Dan Nyx benci itu, benci betapa ia terperangkap dalam permainan mereka.

Setelah beberapa saat, Anvil menarik diri, seolah sudah selesai dengan permainannya. Demonic mendekat, tatapannya tak pernah lepas dari Nyx. "Kau harus belajar lebih patuh, Nyx," ucapnya dengan nada lembut yang menipu. "Ini semua untuk kebaikanmu sendiri."

Nyx mendengus. "Kebaikan? Kau tak tahu arti kata itu, ayah."

" Lalu apa yang kalian rencanakan,aku tidak begitu percaya melihat kalian yang seolah mendukung ku "

Namun, Demonic hanya tertawa kecil, tak terpengaruh sedikitpun oleh kata-kata tajamnya. "Jangan khawatir. Pada akhirnya, kau akan mengerti."

Sebelum Nyx sempat membalas, pintu ruangan terbuka, dan seseorang masuk dengan tergesa. Itu adalah Vermouth, wajahnya tegang, dan pandangannya langsung menuju Demonic.

"Dua musuh mu itu dalam satu tempat sekarang sayang," kata Vermouth tanpa basa-basi. "Hera dan Liliana entah apa yang akan terjadi."

Nyx mendongak, seketika fokus. Nama Liliana dan Hera disebut, dan itu cukup untuk membuat darahnya mendidih. Ia tahu Liliana adalah sosok yang penuh misteri, dan hubungan Hera dengannya selalu tampak rumit, tapi Nyx tidak pernah benar-benar mengerti seberapa dalam keterlibatan mereka.

"Apa maksudmu 'bahaya'?" tanya Demonic, nadanya dingin tapi tetap penuh kendali.

Vermouth mendekat, jelas terganggu. "Aku tidak tahu detailnya, tapi Hera tampaknya telah memutuskan untuk bertindak. Dia mungkin sedang merencanakan sesuatu. Jika kita tidak bertindak sekarang, itu bisa berakhir buruk."

Demonic mengangkat alisnya, tertarik. "Berakhir buruk untuk siapa? Liliana, Hera, atau kita?"

Nyx berdiri, merasa ada sesuatu yang aneh dengan percakapan ini. Ia tidak suka bagaimana Hera selalu menjadi bagian dari permainan ini, selalu menjadi korban atau pion dalam rencana orang lain. Terlebih lagi, Liliana—Nyx selalu merasakan ada sesuatu yang salah dengan wanita itu, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa.

"Aku harus pergi," Nyx akhirnya berkata, suaranya rendah namun tegas.

Anvil menatapnya seolah ingin menghentikannya, tetapi Demonic mengangguk perlahan, senyum tipis bermain di bibirnya. "Baiklah, kalau begitu. Tapi jangan membuat keributan yang tak perlu."

Nyx tidak menunggu instruksi lebih lanjut. Dia keluar dari ruangan dengan cepat, pikiran dan emosinya berputar. Apa pun yang Hera rencanakan, Nyx tahu dia harus ada di sana—bukan untuk menghentikan, tetapi untuk memastikan tidak ada hal yang terlalu jauh terjadi.

Sementara Nyx bergegas keluar, di tempat yang tersembunyi, Hera sudah berada di depan pintu tempat Liliana ditahan. Dengan satu tarikan napas panjang, Hera mendorong pintu itu terbuka. Di dalam, kegelapan menyelimuti, hanya ada cahaya remang yang hampir tak terlihat. Liliana duduk di sudut, wajahnya yang biasanya angkuh kini tampak lemah dan rapuh.

Hera melangkah masuk, tak berkata apa-apa. Liliana mengangkat kepalanya, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Apa yang kau inginkan?” suara Liliana serak, nyaris tak terdengar.

Hera berdiri di depannya, matanya penuh dengan emosi yang tak terbaca. “Aku datang untuk menyelesaikan semuanya.”

Liliana menatapnya balik, bibirnya gemetar. “Dan kau pikir kau bisa melakukannya?”

Hera tidak menjawab. Sebaliknya, ia berlutut di hadapan Liliana, tangannya terulur, menyentuh bahu wanita itu dengan lembut, namun dingin. Sebuah keputusan sudah diambil di dalam hatinya—dan tidak ada jalan kembali.

" Kenapa kau membunuhnya,kenapa kau membunuh Anna apakah kau di suap oleh nyx dan keluarga nya jawab aku"

" Kau terlalu bodoh Hera,otak mu itu terlalu berkarat "

Hera mengencangkan cengkeramannya pada bahu Liliana, menatap langsung ke dalam mata perempuan itu. “Katakan padaku, Liliana. Kenapa kau membunuh Ana? Apakah Nyx yang menyuruhmu? Apa keluarganya yang mengendalikanmu? Jawab aku!”

Liliana tertawa kecil, meskipun bibirnya bergetar. “Bodoh sekali kau, Hera. Kau masih saja percaya pada omong kosong seperti itu? Otakmu sudah terlalu lama berkarat.” Suaranya dingin, dan meskipun tubuhnya tampak lemah, sorot matanya penuh perlawanan.

Hera menggertakkan giginya, amarahnya bergejolak seperti api yang siap meledak. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang menahan—perasaan aneh yang menyeruak dari lubuk hatinya. Apakah ini benar-benar jalan yang harus ia ambil? Apakah Liliana benar-benar musuhnya? Atau, mungkin, mereka berdua hanyalah korban dari permainan yang lebih besar—permainan yang dikendalikan oleh orang lain.

Liliana menarik napas panjang, tatapannya melembut sejenak. “Ana... dia bukan korban. Dia adalah bagian dari semua ini, sama seperti kita. Kau hanya tidak melihatnya, Hera. Kau terlalu terjebak dalam kebencianmu terhadap Nyx, sehingga kau buta terhadap kebenaran.”

Hera terdiam, tangannya perlahan-lahan terlepas dari bahu Liliana. Kata-kata Liliana menggantung di udara, membuat pikirannya berputar. Apakah benar selama ini ia hanya menjadi pion yang dimanfaatkan? Apakah benar Nyx bukan satu-satunya dalang di balik semua ini?

“Tapi, kenapa?” Hera akhirnya bertanya, suaranya bergetar. “Kenapa harus Ana? Apa yang dia lakukan sampai pantas mati?”

Liliana menundukkan kepalanya, senyum pahit muncul di bibirnya. “Karena tak ada yang benar-benar bersih dalam permainan ini, Hera. Semua orang punya rahasia, termasuk kau. Jangan berlagak kau pasti tahu apa yang terjadi laki laki itu selalu memberikan mu informasi .”

Perlahan, Hera mundur. Kepalanya penuh dengan kebingungan dan keraguan. Ia merasa seperti tersesat dalam kabut tebal, tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun, satu hal yang pasti: ia harus mencari tahu kebenarannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh permainan yang dimainkan oleh Liliana, Nyx, atau siapa pun.

"Ini belum selesai," bisik Hera pelan sebelum akhirnya keluar dari ruangan gelap itu, meninggalkan Liliana sendirian di sana.

Di luar, malam masih begitu sunyi. Angin dingin berhembus, seolah ikut menyelubungi hati Hera yang penuh dengan kebimbangan.

DRAMA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang