Bab 12

29 21 2
                                    

Abyaaz mengangkat kakinya ke udara. Dan preeet!

"Wuanjir! Bau banget, Yaaz! Habis makan apa lo?" Amaar dan Asheer berguling-guling menjauh.

Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang keluarga. Seperti biasa. Tapi, tidak ada Icha. Mereka berniat mencarinya lagi, tapi diluar hujan deras. Mereka urung pergi. Mereka yakin, Icha tidak akan menghilang begitu saja, meski benci banget sama abang-abangnya, dia tetap akan pulang. Mungkin saat ini si Icha lagi sengaja buat abang-abangnya repot.

"Habis makan bangke."

"Serem, cok. Bangke apa? Manusia?" Asher cengar-cengir.

"Kejam-kejam begini, gue enggak bakal mau jadi kanibal."

Mereka melirik Alfarezi yang juga tengah menatap mereka tajam. Jelas dia sedang menegur mereka, karena berbahasa kotor, juga memakai 'gue' dan 'lo'. Mereka bertiga mengangkat kedua jari mereka, "Sorry, Bang."

Beberapa menit berlalu.

BRAK!

"BAB*K! Kaget kita, BANG!!" Asheer terlompat. "Eh, sorry, sorry, aku bahasa kotor lagi. Ya Allah, maafkan mulutku yang lancang ini ya. Oke, Rezi, kenapa kau gebrak meja itu heh?"

"Ulululu, jangan nangis ya, Ayank," Abyaaz mengelus-elus meja yang digebrak Alfarezi. "Napa lo, Rez?"

"Kita cari Icha sekarang. Dia masih ada di sekolah. Masih ada satu tempat yang belum kita cek."

"Apa tuuh?"

"Toilet perempuan."

"WADAW! Eyang bener, Bang? Masa kita harus cek ke toilet cewek? Dikira buat mesum nanti."

"Malam-malam begini, enggak bakal ada orang di sana. Sudah, jangan banyak cincong, kita pergi sekarang. Pakai jaket kalian!"

"ASSIAAAAP!!"

****

Sejak kapan tenggorokanku bisa segatal ini heh? Aku mau batuk, macam ada serpihan-serpihan di tenggorokanku. Aku menguap lebar, sudah pukul 8 malam. Perutku lapar banget. Haus. Tadinya aku mau minum air keran, tapi aku pernah dengar, kalau minum air keran di toilet sekolah tuh, bisa bikin sakit perut.

Ngeri juga rupanya di dalam toilet sekolah di malam hari. Aku mengangkat kakiku, menggedor pintu toilet. "WOOOOOOIII! TOLONGIN GUE!!"

Sesuai dugaanku. Hening. Mana ada orang di sekolah pada malam hari. Kemungkinan besar, besok aku baru bisa keluar dari bilik ini. Aku menggaruk leher. Sudahlah, bersabar saja, besok aku juga keluar kok. Aku memejamkan mata.

 WEK! WEK!

"Astagfirullah!!" Aku tersentak kaget. Dan menutup mulutku begitu sadar aku sedang mengucapkan istigfar di dalam kamar mandi. 

Wadaw! Itu suara bebek kan? Malam-malam begini lagi. Aku pernah dengar, kalau suara bebek di malam hari itu, tandanya... ada kunti? Atau makhluk halus lainnya? Aku merinding sendiri. Nanti aku bicara apa ya sama kunti-nya? Masa aku harus nyapa santai seperti ini, 'Halo, Kunti. Rambutnya dipotong dong, biar cakep', atau 'halo, makhluk halus, apa kabar? Enak kah di alam sana?', enggak mungkin kan? Cara apa yang lebih bagus ya.

Wek! WEK!

"WOOOI! BEBEK! DIEM LO YA! ATAU GUE JADIIN LO BEBEK GEPREK!!" Aku berteriak. 

WEK! WEK! WEK!

Sial, kenapa tubuhku jadi gemetaran begini sih? Aku mengusap rambutku. Beranjak berdiri. NYUUUT!! Kakiku sakit sekali. Aku mengurut kakiku. Aduh, sakit banget.

WEK! WEK!

"BACOT LO, BEK! WOI, KUNTI! JANGAN DATANG DULU!"

Tiba-tiba aku melihat tangan berkulit pucat, di bawah pintu bilik. DEG! Aku merinding. K...kunti-kah itu? Aku berteriak kencang ketika melihat tangan itu melesat ke arahku. Panjang sekali lengan tangannya. 

"CHA? ICHA?!"

Demi apa? Bisa-bisanya kunti itu tahu namaku? Tapi, suara itu terasa sangat familiar. Aku mengangkat wajahku, dan baru sadar air mata mengalir ke pipi. Pintu bilik digedor, membuatku semakin ketakutan.

"Cha? Kau di dalam? Tunggu, Abang bukakan pintunya."

Tak lama, pintu di hadapanku terbuka. Dan empat abangku berdiri di sana, mereka memandangku panik, cemas. Aku buru-buru menyeka pipi. Gak bakal aku perlihatkan air mataku pada mereka, malu. Aku memasang wajah jutek kayak biasa. "Napa kalian? Orang lagi mau tidur malah ganggu."

"Oh, ganggu ya?" Alfarezi memandangku. "Oke deh, kami pergi lagi."

Aku sudah berhambur ke arah mereka. "Jangan... jangan... takut..." tak sadar aku sudah memeluk Alfarezi.

Abyaaz menepuk-nepuk kepalaku. "Cup, cup, jangan nangis ya, Deck."

"Seragammu basah, Cha. Aduh, adikku cayang, bisa masuk angin kau nanti..." Asheer tak mau kalah.

"Ululululu, kacihannya adek abang~" Amaar mengelus-elus pipiku.

Sial, kenapa aku jadi terlihat seperti anak kecil?

Alfarezi memandang sekitar. "Kamu enggak apa-apa?" Sambil menjauhkan aku sedikit. "Enggak luka kan?" Dan, matanya terarah pada kakiku yang membiru. "Kakimu terkilir?"

Aku mengangguk. 

"Masih bisa jalan?" Asheer bertanya.

Aku menabok pipinya. "Gila lo ya? Ini kaki udah pincang, sakit banget, masih nanya kek gitu lagi!" 

BATS! Tiba-tiba aku merasa kakiku tidak menginjak lantai lagi. Alfarezi menggeondongku di punggung. Dan, tanpa banyak bicara, dia pergi keluar. Ketiga saudara kembarnya mengikuti, sambil berseru-seru.

"GUE JUGA MAU DIGENDONG, BAAAANG! Kaki adek sakit nich!" Abyaaz berseru-seru, dengan suara manja, yang membuatku muak.

"Bang! Aaaaabaaaang, adeeek juga mau digendong, baang!" Amaar dan Asheer mengejar-ngejar.

"Jijieq aku tuh, Sodara-sodara. Suaranya jangan begitu!" Alfarezi berseru datar. "Kita akan memulai introgasi sedikit lagi, my Fellas. Bersiap-siaplah!"

"Wookey!"

****

Author lagi kagak ada ide nich, jadi mohon maaf, ceritanya jadi kurang seru. Tapi, tetap setia voted dong :), mweheheh. Terus, terus, gambar diatas itu, gambar author lho. Bagaimana menurut kalian?


My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang