Bab 9

112 37 6
                                        

"Ehehehe.... hola, Bang." Aku menyapa sambil cengengesan. Memasang wajah paling suci sedunia. 

Sedangkan keempat abang-abangku, menatapku dengan tatapan yang sama-sama tajam dan dingin. 

"Mampus-lah aku. Mampus! Mampus." Aku mengutuki diri sendiri. Lalu melempar tatapan menuduh ke arah Noah, "gara-gara bertemu kamu, aku jadi kena sial nih."

Noah yang sepertinya mengerti maksud tatapanku, menyeringai lebar. Mengacungkan jari tengah diam-diam ke-arahku.

Aku mendelik, dan pasrah saja 'diseret' keluar oleh abang-abangku. Aku hendak memberontak, "Heh!"

"Gendong saja, Bang! Ini anak, harus digendong biar enggak kabur." Abyaaz memberikan ide yang superduper buruk. 

Aku menggigit tangan Alfarezi yang dikalungkan ke leherku.

Alfarezi refleks melepas pegangannya. Aku bergegas lari secepat-cepatnya, malas banget pulang bareng mereka. Aku bisa pulang sendiri! Akhirnya, aku tersadar, sudah banyak orang yang menatap ke arahku, juga ke abang-abangku. 

Aku menoleh ke belakang, dan bruk! Menabrak seseorang lagi.

Wadaw! Harus berapa kali aku menabrak/ditabrak orang sih? Aku mendongakkan wajah. Tepat saat tubuhku terangkat dari trotoar. 

"Maaf, Pak, maaf. Adik saya memang suka kabur dari rumah, Pak." Alfarezi membungkukkan tubuh berkali-kali, dan sambil menggendongku di punggungnya pula! Aku merasa konyol sekali. Aku gigit lehernya enggak apa-apa kali ya?

Abyaaz, Amaar, dan Asheer datang menghampiri. Mereka sempat-sempatnya mencubit pipiku sembari tersenyum lebar, senyum puas, seolah-olah mereka berhasil menangkap kriminal paling jahat sedunia. 

"Iya, Pak." Abyaaz membungkuk juga.

Dan bapak-bapak yang kutabrak tadi, tersenyum ramah. "Iya, Nak. Lain kali, bilang ke adiknya ya, jangan lari-lari di trotoar. Nanti tabrak orang lain lagi."

BUUUSH! Wajahku merah padam. Setengah malu, setengah marah.

"Iya, Pak. Maafkan adik kami ya, Pak. Memang rada-rada otaknya, Pak. AUW!" Amaar menyengir.

Aku menoyor kepalanya.

"Yee, cari ribut sih sama si garong, Maar. Sudah tahu adik kita yang satu ini, galak habis!" Asheer terkekeh.

Abyaaz menyentil dahiku. "Nakal sih, katanya cuma mau pergi ke minimarket."

Aku memberontak di gendongan Alfarezi. "Aku memang ke minimarket kok!"

"Tapi, kamu ke cafe itu juga kan?" Abyaaz dan Amaar menyengir, kompak.

"Siapa sih orang yang kamu temui di cafe itu, Cha?" Alfarezi bertanya datar.

Aku menjambak-jambak rambut Alfarezi. Ingin banget deh, cabut-cabutin rambut Alfarezi sampai botak mengkilat. Jadi abang, mengesalkan banget sih. Aku mendengus, mulai kecapekan memberontak. "Bukan siapa-siapa."

"Jawab, Aisha Athalia Aldebaran."

Gawat! Suaranya sudah terdengar menyeramkan. "Bab*k! Jadi orang suka maksa banget sih."

PTAK! Dua kali jitakan tepat di dahiku. Aku meringis, melototi Abyaaz dengan kesal. "Napa lu jitak jidat gua hah?!"

"ICHA!!" 

Wadaw! Aku tersentak kaget mendengar suara Alfarezi yang mendadak keras. Sialan, kenapa aku selalu takut dengan abangku yang satu ini sih? Aku akhirnya terpaksa menjawab. Meski asal. "Cuma orang gila yang pernah jadi ketua geng apalah namanya, lupa."

"Namanya?"

"Noah bau eek."

PTAK! Untuk kesekian kalinya, Amaar menjitak jidatku.

"APA SIH!?"

PTAK! Sekarang giliran Asheer yang menjitakku.

"SIALAN KALIAN SEMUA! MAT---"

Mendadak aku didudukkan di atas motor. Lalu Alfarezi duduk di depanku. "Kasar banget kamu jadi cewek."

"Lha? Bukannya dia cowok, Bang?" Abyaaz dan Amaar memanas-manasi. Asheer langsung ngakak, entah apa lucunya.

*****

Selepas abang-abangku pulang dari masjid, habis shalat Isya, mereka berkumpul di kamarku. Entah apa mau mereka, meski aku sudah mengusir mereka, tetap saja kunyuk-kunyuk itu masuk. 

Mau sebesar apapun volume suara handphoneku, suara mereka tetap kedengaran. Ketawa-ketiwi enggak jelas. Bahkan Alfarezi yang biasanya kalem, sekarang ikut berisik. Meski tetap terbilang kalem sih.

"Yaaz, lihat nih, lihat! Meme-nya lucu banget!" Amaar memperlihatkan sebuah video di handphonennya.

Lalu Abyaaz tertawa ngakak.

"Nih, nih, terus, ada kucing yang gaya mengedan eeknya kayak susah banget." Asheer menunjukkan layar handphone-nya.

Lalu Abyaaz dan Amaar pun tertawa semakin kencang.

Aku masih bisa menahan amarahku. Merapatkan headset, berusaha mengabaikan tawa ngakak mereka berempat. Tapi, kesabaran orang itu ada batasnya. Dan, kesabaranku sudah habis, amarahku sudah dipuncak. 

Aku melempar bantal ke abang-abangku. "Diem bisa gak sih? Berisik tahu!"

"Tahu? Tahu kok disalahin. Ingat, Cha, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan," balas Amaar santai.

"Eh, CURUT!! Bukan itu maksudnya!!"

"Heh, berani lu sama gua, hah?"

"Berani-lah! Emang elu siapa? Kenal saja kagak!"

"MAJU LU SINI!"

"BERANI LU GEBUKIN CEWEK?"

"KENAPA? TAKUT?!" Amaar ikut emosi. Tapi, aku yakin, dia tidak sungguhan ingin menggebukiku, hanya ancaman sambal biasa.

Alfarezi menyentil jidatku, dan menjewer telinga Amaar. "Heh, kalian berdua, mau dihukum lebih berat lagi huh? Mulai berani bilang 'elui' dan 'gua' di depanku."

Abyaaz dan Asheer masih cekakakan karena video-video meme di handphone mereka.

Hingga mendadak ruangan itu hening ketika handphoneku berdering.

Alisku terangkat. Bingung. Siapa pula yang meneleponku ini? Unknown number. Aku tidak pernah melihat nomor teleponnya. Mataku menyipit. Saat aku hendak mematikan telepon itu, tiba-tiba saja Abyaaz, Amaar, dan Asheer melompat ke kasurku. Asheer sempat-sempatnya kentut dulu.

Dan mungkin karena mereka mendadak lompat ke kasurku, aku jadi tidak sengaja menekan tombol mengangkat telepon.

"Selamat malam, Icha-chacha-mericha."

~Bersambung 

Bab selanjutnya, diusahakan untuk dipublikasikan hari ini ya, Guys. Omong-omong, author ada pertanyaan, ada yang pernah gak sih, waktu naik kereta, masuk angin karena AC kereta?

Mwehehehehe, terima kasih yang sudah baca, jangan lupa dicomment, soalnya aku suka baca comment-comment orang. Jangan lupa divoted juga, biar semakin semangat nulisnya :).

See you.


My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang