"Wah, wah, ada yang lagi foto nih?" Suara sinis itu terdengar. Dan tiba-tiba mejaku digebrak.
Lyn terlompat kaget. Ika bahkan sampai terjungkal ke belakang. Aku mendongak, sedikit kaget, tapi tidak mau menampakkannya.
"Kalau sudah tahu, memang kenapa?" Aku menjawab tenang, menatapnya dingin.
Tiga anak perempuan yang setahun lebih tua dariku, memakai dandanan supernorak. Menor banget. Bibir merah banget coy, bukan merah anggun gitu. Bedaknya tebal. Menurutku, seperti badut. Bukan dengki, tapi memang kenyataan. Aku hanya mendeksripsikan. Aku kenal mereka bertiga, mereka itu geng yang sangat fans dengan abang-abangku. Fans gila-gilaan. Mereka selalu mendekati abang-abangku, dan abang-abangku menjauh darinya, muak dengannya. Siapa sih yang suka sama cewek-cewek menor kek gitu? Terus, mereka itu juga suka menindas yang lebih lemah, bully. Yang berambut dicat merah, namanya Nina, ketua geng itu. Lalu, yang bertubuh kekar dan berotot, namanya Cecil. Dan terakhir bertubuh gempal tapi kuat, namanya Mira.
"Nantang? Elu enggak tahu siapa kami heh?" BRAK! Mejaku digebrak lagi.
Aku meringis, mengelus-elus mejaku. "Aduh, tayank, kamu enggak terluka kan?" Aku berbicara pada meja.
Cecil hendak menggebrak mejanya lagi.
Aku mendorong mejaku dengan kaki, hingga Cecil ikut terdorong dan jatuh terjengkang, dan mejaku menimpanya. Aku memasang wajah polos, "Aduh, maaf..." lalu aku tersenyum ala psikopat, "Sengaja."
"Berani-beraniny--"
Aku mengangkat tanganku, "Waduh! Waduh, gimana nih, Ka? Lyn? Kakak kelasnya mengancam kita nih. Padahal kita enggak ada salah apa-apa ya?"
"Elu...elu, berani mendekati idola kita, Alfarezi, Abyaaz, Amaar, Asheer!" Mira berseru.
Wadaw! Sudah kuduga itu permasalahannya, mungkin hanya soal waktu, aku akan dirundungi oleh mereka. Tapi, biarin deh, peduli setan. Aku memasang wajah panik, "Aduh, aduh, siapa yang mendekati mereka sih?"
"Elu!!" Nina, Cecil, dan Mira berseru berbarengan.
Ika mengibaskan tangan. "Sana, shuh! Shuh! Kami mau foto-foto nih. Mumpung gua lagi cantik."
"Mukamu tuh, campuran cantik sama ganteng, Ka. Jadi antara banci atau tomboi." Lyn berkata dengan suara besarnya.
Terdengar derap langkah yang sangat kami kenal. Guru sudah mau datang. Nina, Cecil, dan Mira gelagapan, bergegas berdiri, dan meninggalkan kelas kami. Aku merapikan mejaku, lalu mengelus-elusnya, dan mengedus-endus mejaku. "Cih, jadi bau stroberi busuk deh. Mejaku juga kasihan nih."
"Pakaikan saja rexonah, Sis." Lyn menyengir. "Biar wangi, dan kamu akan senantiasa ada di dekatnya~"
"Dih, bau stroberi busuk yang berasal dari Nina tuh, enggak bakal hilang meski pakai reksonah satu botol!" Ika tertawa ngakak. "Dia kan lebih busuk dari sapi."
"Sapi aja pakai reksonah langsung wangi."
Tawa mahabesar Lyn terhenti begitu guru killer kami memasuki kelas. Penggaris panjang siap diayunkan jika ada yang nakal. Guru killer itu terkenal suka kentut, matanya melotot terus, rambutnya jigrak ke atas, kumisnya melintang macam kumis India. Guru killer itu bernama Mr. Bald, kepalanya botak sesuai namanya. Kami memanggilnya, Mr. Baldy, seperti di game.
Mr. Bald mulai mengabsen.
"Aisha!"
"Eh, oh, hadir, Mr. Bald!" Aku mengangkat tanganku. Bapakkan lihat sendiri, saya duduk di depan, Bapak.
"Arlyn!"
"Hadeeeeer!"
"Chika!"
"HADEEER!" Ika mengangkat tangannya malas-malasan.
Aku menguap lebar-lebar. Belum dimulai pelajaran, aku sudah ngantuk saja. Enggak apa-apa tidur kali ya? Tapi, yang mengajar Mr. Bald. Aku melirik Ika yang duduk di sebelahku, dia sibuk main handphone, dia agak menurunkan handphonennya, tersembunyi di balik meja. Tahu lah kalian, agar tidak ketahuan sama guru killer kita itu.
KRIIIING! Tiba-tiba handphone Ika berdering sangat kencang.
Mr. Bald memandang Ika tajam.
"Ahehehe... waduh," Ika cengengesan, menundukkan wajah kaku.
Aku alih-alih takut, aku malah mati-matian menahan tawaku yang nyaris meledak melihat kepala Mr. Bald yang terlihat sangat berkilau tertimpa cahaya matahari. Aku mengalihkan pandangan.
Ika gelagapan di tempatnya. "Sorry, Mr. Bald."
"PR-mu tambah lima kali lipat, Chika."
Ika shock setengah mati, dan aku yakin, kalau dia tidak menahan diri lagi, dia pasti sudah berteriak sekencang-kencangnya. Siapa sih yang enggak stress dikasih PR yang biasanya dua kali sehari (di pelajaran Mr. Bald) dikali lima? Salah sendiri, main game pas lagi pelajaran berlangsung. Pelajaran Mr. Bald lagi. Tidak pernah sekalipun dalam sejarahnya, Mr. Bald memberi hukuman ringan.
"Jangan dong, Pak."
"Terus itu rambut, pakai wig kau heh?" Mr. Bald melotot, hingga matanya seperti nyaris keluar.
Ika memainkan handphonennya lagi diam-diam di bawah lacinya. "Dikit lagi... dikit lagi, dikit lagi double kill."
Aku menyikutnya. Ika bergegas mendongak.
"I..iya, dong, Pak."
Mr. Bald mendengus, "Berdiri kau di depan kelas."
"Ke-kenapa lagi, Pak?"
"Tangan kau itu masih main game bukan?"
Wanjir memang si guru satu ini. Ika tergagap, bergegas memasukkan handphone ke saku. "Enggak kok, Pak."
Percuma bohong dengan guru killer itu.
"Maju ke depan. Berdiri satu kaki sampai pelajaran saya selesai."
****
Pulang sekolah, aku bersenandung santai, melangkah menuju toilet untuk memenuhi panggilan alam. BRAK! Aku memasuki salah satu bilik paling pojok, berakrab ria dengan kloset.
Dan tiba-tiba... BYUUUR!! Seluruh pakaianku basah kuyup. Aku tersentak kaget.
"Rasakan itu, bocah."
*****
Bagaimana? Ceritanya makin seru atau enggak sih? Author mulai overthinking soal cerita ini. Omong-omong, author cuma bisa satu kali up rupanya, :). Soalnya author sambil menggambar untuk cover cerita.
![](https://img.wattpad.com/cover/376517588-288-k168109.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Brothers
Novela JuvenilEmpat kakak laki-laki tampan, menyebalkan bin gregetan ini selalu membuat adik perempuannya kerepotan karena ke-posesif-an mereka. Sifatnya yang berbeda-beda, sulit ditebak. Pertengkaran selalu menjadi rutinitas wajib mereka. Pokoknya cerita ini bi...