✧Bab 35

52 25 6
                                        

Akhirnya Sabtu dan Minggu berlalu. Kembali menghadapi hari Senin.

BRAK! BRUK!! Aku grasak-grusuk di kamar, membuka lemari pakaian, menyambar seragam. Lalu memakai seragam dengan kecepatan kilat. Lantas, memeriksa isi tas-ku, sudah  lengkap atau belum. Terakhir, aku menyisir rambutku dengan 'RAPI'.

"Ichaa!! Sarapan."

"BENTAAAR!! Ini lagi sisir rambut atuuh."

Sedangkan di dapur, empat saudara kembar itu sudah pada berkumpul di depan meja makan. Alfarezi membaca buku. Asheer menonton resep masak di handphone-nya. Abyaaz dan Amaar menonton kucing di handphone mereka, seringkali terkikik gaje alias gak jelas.

BRAK! BRAK! Guling-guling, BRUK!!! Aku tersandung di tangga, untung tinggal beberapa anak tangga. Jadi aku tidak terluka PARAH. Aku mengerang, tapi bergegas bangkit, sebelum abang-abangku datang dan langsung panik memanggil ambulans. 

Aku duduk di bangkuku, melirik ke arah abang-abangku. Lantas, mulai memakan sarapanku. 

Sarapan hari ini adalah, nasi goreng by Alfarezi, dan telur omelet by Asheer. Lezat. 

Hening.

Wah, tumben sekali Abyaaz, Amaar, dan Asheer tidak tantrum? Jam segini kan, jadwalnya mereka bertiga tantrum massal? Apa mereka sedang sakit gigi? Atau sakit hati? Sakit hati sama siapa coba.

"Makannya pelan-pelan, Cha. Jangan kayak dikejar setan."

"Emang dikejar set--" aku menutup mulutku, tidak mau membuat Alfarezi melototiku. "Iya, iya, Baginda Raja."

"Gitu dong, nurut."

"Iya, Yang Mulia."

"Cepat habiskan sarapanmu, Pelayan."

Aku tersedak. "Heh!! Bilang apa lu barusan? Pelayan? GUA PELAYAN?!"

Asheer, Abyaaz, dan Amaar tertawa terbahak-bahak. "Wahahaha, kasihaaan, jadi pelayan."

"Kalian bertiga, jadi pelayan juga."

"Heh!" Amaar mengacungkan tinju. 

Sebelum pertengkaran itu makin hebat, suara bel lebih dulu berbunyi. Aku menguap, "Buka tuh pintunya, mungkin tukang paket.''

"Kamu saja." Empat saudara kembar itu berucap serentak.

Huuh. Aku memasukkan suapan terakhir nasi gorengku, lalu meletakkan piring di wastafel cuci piring. Lantas melangkah menuju pintu rumah.

TING TOONG!! TING TONG! TING TONG!!

Orang gila kali ya. Pencet bel tanpa jeda. 

TING TONG!! Aku membuka pintu. Aroma kopi yang pekat langsung tercium.

Aku memandang orang yang tadinya hendak menekan bel lagi. Orang itu menyengir. 

"Hai. Mau berangkat sekolah bareng?"

"SHUUU?!!!"

Aku menepuk dahi. "Astaga, habis minum apa kau sampai baik hati mau menawariku berangkat sekolah bareng?"

"Minum alkohol."

"WHAAAT?!! Gak! Gak mau! Aku enggak mau berangkat sekolah dengan orang yang habis minum alkohol! Huarem bos!!"

"Enggak, bercanda." Shuu menurunkan hoodienya. Aku bisa melihat wajahnya lebih jelas sekarang, karena tadi tertutup dengan bayangan hoodienya. "Percaya amat sih."

Aku menoleh, "Tunggu, aku gosok gigi dulu ya." 

****

"PELAN-PELAN, BANGKEE!! Jangan ngebuut!!" Aku berseru kencang. "Modus ya lu, mau gua peluk elu?"

"BHUEK!! Ogah!!"

Jadi, saat ini, kami berdua berangkat ke sekolah naik motor Shuu. Aku sempat beradu mulut dulu dengan abang-abangku, tapi Alfarezi akhirnya mengizinkan, dan membiarkanku berangkat sekolah dengan Shuu. Tentu saja, mereka melontarkan dulu seribu peringatan. 

Kembali ke saat sekarang.  

Aku menepuk punggung Shuu. "HOI!! Dibilangin, jangan kencang-AAAAAAAAAAAKKK!!"

Tiba-tiba motor berbelok tajam. Aku refleks memegang bahu Shuu, "HEII!! Kok lewat tempat ini? Salah jalan, Beg*!"

"Ini jalan pintas, Dumb Monkey."

"Apa lu bilang?"

"Kamu nanyea."

"Coba ulangi yang kamu bilang tadi? HEI, SHUU!!"

"Dumb monkey, budeg."

Sudahlah. Nyesal aku berangkat bareng si brengshee(shuu)k ini. Aku mencengkram bahu Shuu makin erat.

"Heh, sakit tahu. Pegangannya yang bener."

Kali ini jalan yang kami lalui tidak semulus sebelumnya, berbatu-batu. Aku hendak mengomel lagi, tapi tiba-tiba Shuu mengerem. Kepalaku kejedot punggungnya. "Hei--"

"Sudah sampai."

What? Ini baru lima menit lho?! Aku melongo.

***

"Hei, Rez, kau lihat mobil hitam di belakang kita itu?" Asheer berkata.

Alfarezi melirik kaca spion. "Mobil hitam yang mana dulu? Ada banyak mobil hitam di sekitar kita."

"Itu, noh," Asheer menyebutkan nomor plat.

"Iya, lihat."

Sedetik, Alfarezi mengerti. Biasalah, saudara kembar, seperti bisa membaca pikiran satu sama lain. Telepati. "Pantas, aku merasa dibuntuti dari tadi." Alfarezi membuka kaca helm-nya, menoleh ke arah kiri, di mana Abyaaz dan Amaar melaju dengan motor mereka, tidak boncengan, berpisah gess (kan boleh jadi mau pulang bareng Icha).

Abyaaz dan  Amaar langsung mengerti maksud tatapan Alfarezi. 

"Jangan menoleh. Kita pastikan dulu pengendara mobil itu memang membuntuti kita atau bukan." Alfarezi berkata dengan gerak bibir yang seketika dimengerti oleh tiga saudara kembarnya. "Jangan ngebut dulu."

Tapi Abyaaz dan Amaar sudah mengebut. Mereka paling senang soal kebut-kebutan dengan alasan ada yang menguntit. Ngeeeng! NGEEENG! Alfarezi mendengus, kalau sudah sampai di sekolah, dia akan menjepit 'bola'-nya mereka.

Mendadak ada mobil yang mengerem mendadak di depan mereka. Tidak sempat untuk belok atau mengerem, BRAK!! Menabrak mobil itu. Alfarezi terlempar karena tabrakan yang begitu hebat, dan kepalanya telak menghantam aspal. Benturan itu lumayan hebat sampai helm yang digunakan Alfarezi terlepas (memang udah rapuh sih itu helm :P). Asheer juga terlempar, namun dia sempat melindungi kepalanya.

Abyaaz dan Amaar selamat, mereka lebih dulu berada di depan mobil itu. Mereka panik, cemas, takut, marah, semua bercampur aduk. Asheer beranjak duduk, sekujur tubuhnya serasa remuk, tapi begitu melihat kondisi Alfarezi, dia langsung melupakan rasa sakit di tubuhnya. Alfarezi lebih gawat. Mereka menghampiri Alfarezi yang tergeletak tak sadarkan diri.

"AMAAR!! Panggil ambulans!!"

***

Di tengah jam pelajaran...

PING! Handphoneku berbunyi. Aku tidak menggubris, sibuk mencatat.

TRIING!! Handphoneku kali ini berdering. Seisi kelas menoleh ke arahku.

Telepon dari Amaar. Kenapa dia meneleponku di jam pelajaran begini sih? Apa dia tidak di kelas saat ini? Bolos-kah? Mustahil sih. Aku mengangkat tangan, izin keluar sebentar untuk menjawab telepon.

"Ya? Napa?" aku berkata ketus.

"Bang Alfarezi dan Asheer kecelakaan."

Aku membeku di tempat. 

****

Sudah kubilang, tiba-tiba aja ada masalah kan. Di bab-bab sebelumnya, memang banyak senang-senangnya, tapi sekarang mendadak berubah kan?   Mweheheh. Sengaja. Masa ceritanya enggak ada konflik, jadi enggak seru.

Jangan lupa vote

Mata ne! 

My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang