"Wahaha!! Gak bisa nyebrang, waaakakaka--auugh!!" Shuu tersedak karena aku menjambak rambutnya. "Heh!"
"Cepetan. Itu mumpung lagi sepi tuh tempat sate-ny--"
Tiba-tiba saja tempat sate itu ramai. Sudahlah, emang takdir. Aku berbalik, "Kalau begitu kita beli soto saja deh. Bang Rezi sukanya soto."
Shuu diam di tempat, memandang handphonenya.
Aku yang kesal, tanpa babibu, langsung narik kerah jaketnya. "Ayo, temenin."
"Iya, iya! Jangan narik, kecekek tahu."
"Oke, ngantri sana. Aku tunggu di sini." Aku mendorong punggungnya, sambil tersenyum manis, yang sebenarnya senyuman licik. "Enggak ramai-ramai amat kok, pesan empat bungkus ya. Nih, uangnya," ucapku sambil mengulurkan beberapa lembar uang.
Shuu terlihat keberatan, hendak menolak, tapi aku sudah memasang senyum psikopat. "N-g-a-n-t-r-i, gak?"
"Cuih, oke-oke." Cowok itu berbalik, menggerutu. "Serem amat sih jadi orang, sialan..."
Aku berdiri diam di pinggir trotoar. Sampai sepuluh menit, merasa kayak orang gila karena berdiri diam saja di pinggir trotoar, tidak bergerak sama sekali, aku pun memutuskan membeli jajan. Mau cari yang segar-segar.
Setelah berjalan-jalan sambil menoleh-noleh ke sana ke mari hingga lima belas menit, aku akhirnya membeli es susu murni, beli dua langsung. Isinya lumayan banyak, bisalah dibagi-bagi untuk enam orang. Aku kembali ke tempat aku menunggu tadi, dan rupanya Shuu sudah menunggu di sana, sambil main game.
Aku menyeringai lebar, boleh juga nih untuk dikagetin.
"Heh..."
Wat de hel (wth)? Dia bisa tahu. Shuu menoleh, "Enggak tahu ya aku sudah nunggu sampai setengah jam hah?"
"Hah? Perasaan lima belas menit doang tuh?" Aku memasang wajah tidak berdosa.
"Itu perasaanmu, tahuk--"
Aku menutup mulutnya dengan tanganku. "Ebuset, santai aja kali, Mas. Kaget Adek." Aku berbalik, "ayo! Balik. Abang-abangku nungguin tuh." Lalu aku memasukkan bungkus soto ke dalam ranselku juga bungkus berisi es susu murni.
Shuu mengusap wajah, lalu melangkah, siap menyebrang. Aku mencengkram tangannya. Sedikit berlari kecil berusaha mengimbangi langkah Shuu. Saat kami tepat berada di tengah jalan, tiba-tiba ada motor melaju kencang ke arah kami. Tanpa ada tanda-tanda akan mengerem.
TIN! TIIIIN!!!!
Entah kenapa, tiba-tiba kakiku seperti dipaku di tempat. Aku memandang motor yang melaju ke arahku. Aku ingin bergerak, tapi seperti ada yang menahanku.
"Icha..." aku merasa ada seseorang yang berbisik di dekat telingaku. "Sakit..."
"Ma...maaf, maafin Icha, Kak... maaf... I-Icha panggilkan dokter."
"ICHA!!"
Seseorang menarikku kencang. Dan motor itu melaju melewati kami, sambil terus mengklakson. Aku memandang Shuu yang tadi menarikku. Kami berdua terduduk di pinggir trotoar. Orang-orang di sekitar kami memandang kami dengan cemas. Salah satu ibu-ibu mendekati kami, "Enggak apa-apa, Dek? Ada yang luka?"
Shuu menggeleng. "Enggak, Bu."
"Kamu ini kenapa, Cha!? Kau bisa mati... urgh," Shuu menghentikan kalimatnya. "Kau ada yang terluka?"
Aku diam.
"Sadar, hei!" Shuu menepuk bahuku. "Icha!"
Aku tersadar, menoleh. "Ho?" Aku tertawa miris, "Maaf, aku teringat masa lalu."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Brothers
Teen FictionEmpat kakak laki-laki tampan, menyebalkan bin gregetan ini selalu membuat adik perempuannya kerepotan karena ke-posesif-an mereka. Sifatnya yang berbeda-beda, sulit ditebak. Pertengkaran selalu menjadi rutinitas wajib mereka. Pokoknya cerita ini bi...