Bab 10

109 35 4
                                        

Noah tersenyum miring. Dia berhasil mendapat nomor telepon anak itu. Dan dia tahu di mana rumah pemilik nomor telepon itu. Noah mematikan laptopnya, mengusap dagu ala detektif, tapi lebih mirip kayak stalker. 

"Selamat malam, Icha-chacha-mericha."

Aku tersentak kaget, tanganku tak sengaja menampar pipi Abyaaz yang langsung mengaduh-aduh kesakitan. Tapi, aku mengabaikannya, biarin, pembalas jitak-jitak jidatku. Sekarang yang lebih penting diurus tuh, orang yang meneleponku ini.

"Eh, sekiya! Dari mana lu dapat telepon gua hah?!"

PTAK! Jidatku disentil Alfarezi. Aku membuka mulut, menunjukkan gigi taringku, "Mau kugigit, Bang?"

Alfarezi memutar mata, "Enggak ah. Mana ada orang mau digigit sama kamu. Rabies nanti."

Aku sudah tidak memedulikannya. "Heh, kau Noah, kan?"

"Yep, terus kenapa? Masalah?"

"Pakai nanya, katanya kalau aku sudah menghabisi anggota-anggota cewek di gengmu, kamu bakal enggak menggangguku lagi kan? Kenapa pula sekarang kamu tidak menepati janji hah?"

Eh, wadaw! Aku baru ingat, abang-abangku sedang melihat ke arahku. Dan yang pastinya mereka semua mendengar kalimatku, mereka kan tidak tuli. Aku tidak memberitahu ke abangku kalau aku pernah menghabisi anggota-anggota cewek, meski tidak sampai mati sih. Tapi kalau kuberitahu, tetap saja membuat kunyuk-kunyuk ini marah besar. Tapi, bubur sudah menjadi nasi, eh nasi sudah menjadi bubur, sudah terlanjur.

"Memangnya, aku mengganggu?"

"Superduper mengganggu."

"Salah sendiri tabrak orang sih. Jalan enggak lihat-lihat lagi."

"Heh, kesalahan kita tuh, fifty-fifty ya. Jangan muncul lagi di kehidupanku."

"Wadaw, sakitnya hati ini," si Noah malah bernyanyi. Sengaja banget buat aku naik darah. "Hei, hei."

"APA!?!" Aku menjawab dengan gaya kucing garong. Bahkan Amaar, Abyaaz, dan Asheer sampai melompat kaget. Hanya Alfarezi yang masih terlihat tenang, tapi tatapan matanya tajam. Terarah ke arahku pula.

"Kamu itu masih lebih kecil dariku lho, beda dua tahun, mungkin? Berani banget panggil aku, Noah."

"Memang namamu Noah kan?" Aku berseru judes. 

"Bang Noah dong, sekarang aku abang barumu."

Sialan, orang ini enggak tahu apa, aku saja sudah kerepotan sama keempat abangku. Masa ditambah dia lagi? Bodoh banget. 

Tiba-tiba saja handphoneku disambar Alfarezi. Lalu ketiga saudara kembarnya mengerumuninya, mengucapkan kalimat yang sama.

"Yang abangnya itu kami, Bedebah." Suara mereka terdengar sama-sama dingin.

Aku melongo.

"Jangan ngaku-ngaku abangnya. Abang Icha tuh cuma kami." Alfarezi berkata dingin.

"Siapa nieh? Cold banget brow~"

"Sudah dibilang lho, kami itu abangnya."

"Kami? Kalian berapa orang? Terus, aku baru tahu, Icha punya abang. Salken, Bro, namaku Noah yang Paling Tampan Sedunia."

"Kagak ada yang nanya nama kamu, Bodoh."

"Sekarang aku tahu darimana Icha belajar bahasa sekasar itu. Rupanya dari abangnya," si Noah makin memprovokasi abang-abangku.

Sebelum abang-abangku meledak seperti TNT, aku menyambar handphoneku lagi. "Heh, Noah jelek! Kamu berutang kopi padaku!"

"Tunggu--!"

"Belikan kopi besok. Datang ke sekolahku pas jam istirahat."

"Hei! Aku tidak--"

"KUTUNGGU KOPINYAA! Atau tidak, lihat saja nanti! Akan kubuat kau menyesal telah dilahirkan."

"Heh! Jangan suka mala--"

"BYE!"

TUT!

Rasain! Aku menyengir puas. Mwehehehehe. Aku membayangkan kopi yang akan mengalir di tenggorokanku besok, asal kalian tahu ya, aku ini pecinta kopi banget. Dulu pernah sempat sering minum kopi, tapi akhirnya abang-abangku melarangku untuk minum kopi tiap hari. Jadilah, kalau di sekolah aku diam-diam minum kopi. Memang aneh sih, aku ini memang adik yang senang banget melanggar aturan abang-abangku. Pokoknya, serasa nikmat gitu lho lihat wajah abang-abangku saat kesal, tapi lama-lama seram juga sih.

Baiklah, sekarang saatnya tidu--

Sepertinya aku belum bisa tidur deh. Aku memandang abang-abangku yang tengah menatapku dengan tatapan tajam, jelas-jelas mereka mau mengintrogasiku. Aku mengalihkan pandangan, "Pergi kalian, princess mau tidur."

"Princess-princess, mana ada princess jelek binti garong kayak kamu?" Asheer membalas.

Cukup. Aku sedang PMS, dan kesabaranku jadi mudah habis. Aku tersenyum lebar, menunjukkan gigi taringku, lalu menjilati bibirku, tersenyum ala psikopat. "Minta mati?"

"Emangnya bisa?"

"TAKE IT MOTHERFATHER! Sayonara, BAKA!" Aku menerjang Asheer.

"UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!! YAMETE KUDASAAAAAI!" 

PLAK! Abyaaz dan Amaar menampol pipi Asheer. "Najis lu, mau jadi wibu lu hah?"

"Enggak! Tapi tolongin dong, ini vampir monyet mau gigit aku nih!"

Aku sudah menggigit lengan Asheer. 

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARGH!"

Dan Asheer pun terpaksa menelepon dokter untuk memeriksa bekas gigitanku di lengannya. Mana tahu rabies kan? Yah, beruntung, gigitanku tidak terlalu dalam. Kalau gigit tangannya sama dalam banget, cari mati itu namanya.

*****

Bersambung~

Bagaimana? Ceritanya seru? Jangan cuma baca doang, divoted juga ya. Don't forget to comment! Author senang banget nulis, jadi sehari bisa dua bab langsung. Kalau hari Sabtu Minggu, mungkin agak kurang bisa, soalnya ada janji, hehehe. Justru hari biasa baru author bisa banyak nulis.

See you!

~

My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang