Part 22

23 17 0
                                    

"Mau yang ini, Bang!!"

Aku menunjuk roti croissant isi keju. Lalu menunjuk kopi di menu. 

Alfarezi mengangguk. Sambil memeriksa dompet. Bagus, cuan cukup untuk memenuhi permintaan adiknya. Alfarezi melempar tatapan ke saudara-saudara kembarnya.

"Kalian bayar sendiri. Aku enggak bakal mau traktir kalian."

"Iiiiiiiiiih, jahat banget. Pilih kasih. Kami kan juga adikmu!!"

"Kita beda beberapa menit doang."

"Abaaaaaaanggg!!" Amaar memasang wajah memelas. Menarik-narik lengan baju Alfarezi. Memasang puppy eyes

"Diem. Nanti kujentik pala kau itu."

"Ampoooon, Baginda!!" 

Aku sudah mengambil tempat duduk. Tak sabaran menunggu pesanan datang. Aku melirik pintu cafe yang terbuka, dan seseorang yang familiar melangkah masuk. Aku menyipitkan mata.

Siapa dia? Aku yakin sekali dia itu orang yang kukenal.

"Lihat apa, Cha?" tanya Asheer lembut.

Aku gelagapan. "Anu... eh, lihat-lihat aja. Emang kagak boleh?"

Abyaaz menyentuh perban di kepalaku. Dari tatapannya, aku tahu, dia bertanya, masih sakit? 

Kepalaku menggeleng. Dan mataku langsung membulat begitu melihat pesanan kami sudah datang. Aku menyengir, aseeeek, roti yang kupesan terlihat enak banget. Aku meraih roti itu, dan lupakan table manner, atau etika makan, aku sudah lapar banget. Cacing-cacing di perutku sudah berkampanye.

Alfarezi mengeluarkan bukunya, lalu menyeruput kopinya. Gayanya sangat cool, Mamen!! Aku mendongak.

"Napa kalian makannya dikit-dikit?" Aku memandang Abyaaz, Amaar, dan Asheer yang terlihat hemat-hemat memakan pesanan mereka.

"Kami kan beli pakai uang sendiri, wajar dong sedikit-sedikit. Biar enggak cepat habis."

"Tapi, kalau banyak lebih terasa nikmat, tahuk."

"Woiyang dong, lo kan ditraktir, kita kagak! Makanya yang kamu makan tuh serasa nikmat banget!!" Amaar membalas.

"Heleh, becet!" Aku mendelik.

CTAK! CTAK!! Keningku dan kening Amaar disentil oleh Alfarezi. Alfarezi memandang kami dengan tatapannya yang membuat siapapun merasa takut. "Diem, tidak boleh berdebat saat makan."

Singkat tapi jelas. Mata Alfarezi tertuju pada saudara kembarnya dan aku, tatapanya tajam.Aku menunduk, kembali menyantap rotiku. Sesekali menyeruput kopiku. Aku sesekali melirik ke arah abang-abangku. Aku masih penasaran, kenapa mereka tiba tiba mau mentraktirku (tepatnya si Alfarezi sih yang tratir)? Ada kesalahan apa yang mereka perbuat?

"Kenapa, Cha?" Alfarezi menatapku, risih. 

Aku menjilati tanganku. "Hei," aku menatap mereka, "kesalahan apa yang kalian perbuat?"

"Heh?" Mereka berempat menelan ludah. Hanya wajah Alfarezi yang masih terlihat terkendali.

"Aku heran saja, kenapa kalian  mendadak traktir aku. Agak aneh aja." Aku menyeruput kopiku, "Yah, tapi aku tetap berterima kasih."

Aku memandang mereka. Katakan dengan jujur, begitulah maksud tatapanku. 

"Yah, jadi, 3 cewek yang melukaimu itu..."

"Kalian hajar?"

"Enggaklah! Kami... kami... cuma itu... mengancamnya."

Dan dimulailah cerita itu. Abyaaz menceritakan dengan detail.

****

"Permisi?" Abyaaz tersenyum manis, "Ada waktu sebentar?" 

Nina, Cecil, dan Mira menoleh. Langsung memperbaiki penampilan mereka begitu sadar siapa yang menyapa mereka.

"Eeeh, eh, ada apa?" Nina mewakili, tersenyum semanis mungkin. Yang justru membuat banyak orang ingin muntah.

"Apa kalian mau ikut kami ke belakang sekolah?"

Meski tiga cewek itu heran karena diajak ke belakang sekolah, tempat yang paling sepi di sekolah, jarang dilewati, mereka dengan senang hati mengikuti mereka. Tanpa tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh Alfarezi, Amaar, Abyaaz, dan Asheer. 

Begitu mereka sudah sampai. Tiba-tiba saja langkah empat saudara kembar itu terhenti. Membuat tiga cewek menyebalkan itu heran.

"Ada apa?" tanya Mira dengan nada genit, yang membuat Alfarezi mau meninjunya.

Alfarezi perlahan berbalik.

DEG!! Jantung ketiga cewek itu serasa copot begitu mereka bertiga berbalik. 

Keempat cowok di hadapan mereka menghadang tiga cewek menor itu. Amaar tersenyum. Bukan senyuman yang manis, sebaliknya, mengerikan. Terkesan psikopat. Tatapan mata mereka berempat sangat tajam, menusuk, dan sedingin es. Mereka terlihat murka.

Alfarezi memandang datar, matanya berkilat-kilat. Dan atmosfer seramnya terasa pekat. Nina, Cecil, dan Mira sampai gemetaran ditatap begitu.

"Apa yang kalian lakukan pada adikku?"

"A....a...aaadik?" Cecil mencicit. Sangat berkebalikan banget dengan tubuhnya yang kekar.

"Icha."

"Iii....Icha? A...adik?"

"Icha itu adik kami, Kampret..." desis Asheer.

"Adik kalian?" 

"Kalian yang mengurungnya di toilet bukan?"

Nina, Cecil, dan Mira mencicit bagaikan tikus disudutkan.

"JAWAB!!!" mendadak Alfarezi membentak. Dia terlihat geram sekali.

Lutut tiga cewek itu terasa lemas. "Y...ya."

"Sebaiknya kalian kuapain ya?" Amaar dan Abyaaz melangkah semaju. Menggulung lengan jaket mereka hingga ke siku. "Kuhajar?"

Asheer menahan Amaar dan Abyaaz. Lalu Asheer melirik tiga cewek menor itu, tatapannya terlihat geram. Tapi dia masih bisa menahan diri.

"Kalau kalian mengusik adikku, lihat saja. Kali ini kubiarkan," uar Alfarezi dingin. Dia berbalik, memberi isyarat pada adik-adiknya untuk meninggalkan tempat itu. 

Mereka melangkah menjauh. Dan sempat mengucapkan kalimat terakhir yang membuat Nina dan gengnya ketakutan setengah mati.

"Kalian usik adikku, kalian berurusan dengan kami."

****

Aku terdiam cukup lama. Menghembuskan napas. Mendadak kopi yang kuseruput terasa hambar. "Jadi, mereka tahu aku adik kalian?"

"Iya, memangnya kenapa? Kan memang kenyataan, Cha." Amaar menyahut.

"Aku tahu. Aku tahu," ucapku datar. Moodku memburuk. 

"Kenapa kamu enggak mau orang lain tahu bahwa kau adik kami?" Amaar dan Abyaaz bertanya dengan hati-hati. 

******

Maaf, ceritanya pendek ya! Lagi gak mood nih :)! Juga lagi sibuk merevisi ulang alur-nya! Jangan lupa voted dan comment ya!!


My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang