Bab 3 ☆

79 45 13
                                    

"SIAL! HARGA DIRI GUE CUMA 25 RIBU!" Abyaaz, Amaar, dan Asheer masih mengamuk, dengan amukan gaya mereka. Yaitu, agresif dan brutal. Berteriak-teriak.

Aku hanya memasang wajah datar, sambil meringis ketika cengkraman didaguku mengeras. Aku mendelik ke arah Alfarezi, "Apaan sih, Fareji?" 

Aku mengambil ancang-ancang untuk menendangnya, tapi, seketika terdiam ketika tatapan Alfarezi berubah menjadi menusuk. JLEB! Sial, ulu hatiku jadi sakit, Bang. Aku mengutuk di dalam hati.

"Gak ada sih, cuma mau iseng saja." Alfarezi menyengir, lalu beranjak berdiri. "Dan, sudah kesekian kalinya, aku bilang, kau tidak boleh berbicara pakai 'gue' dan 'elo'."

Aku mengusap daguku, hanya memalingkan wajah. Bersungut-sungut, lalu beranjak duduk di bangkuku. Aku memandang sekitar. Sesuai dugaanku, seisi kelas sedang menatapku. Aku mengusap punggungku yang terasa dingin, lalu mengibaskan tangan ke arah empat kunyuk di sebelahku.

"Syuh, syuh! Sana. Aku mau lanjut tidur. Baru lima menit tidur, sudah dibangunkan." Aku menggerutu.

Asheer mendengus, "Awas kalau kau berani jual kami dengan harga murah. Harga diri tuh dijual sama harga diri juga." 

Abyaaz dan Amaar sudah reda amarahnya, dan sebelum meninggalkan kelas. Mereka berdua kompak mencubit kedua pipiku, lalu bergegas pergi sambil cekakakan. Alfarezi diam sejenak, melempar tatapan jahil, "nanti pulang bareng. Kami tunggu di depan kelasmu."

Heh! Ogah banget! Aku merasa ngeri membayangkan hal itu. Aku mulai mencari-cari alasan agar tidak bisa pulang bareng mereka. Aku mengusap-usap bokongku, sial, gara-gara jatuh dua kali dari bangku, bokongku jadi sakit. Aku menyikut Ika dengan brutal, karena dia terus menertawakanku dari tadi. 

Lyn yang duduk di bangku depan, membalikkan tubuh, menyeringai lebar. "Kyaah, abangmu kalau marah keren ya!"

Aku menguap, menunjuk guru yang datang dengan dagu. Sembari menjawab di dalam hati.

Keren memang seperti malaikat, tapi sifatnya seperti setan.

****

Bel sekolah berbunyi. Sebagian besar murid, tanpa dikomando, sudah berbondong-bondong ke kantin. Aku juga termasuk murid yang pergi ke kantin, bareng sohib-sohibku. Bukan hanya Ika dan Lyn, tapi juga sohib ketiga dan keempatku. Yang bernama Shuu dan Amuro.

Shuu adalah cowok yang duduk di kelas SMA 1, setahun lebih tua dariku, tapi tahun lalu tidak naik kelas. Shuu kadang memiliki raut wajah sedatar jalanan yang baru diaspal. Termasuk cowok yang juga sering bahasa kasar, dan memiliki wajah yang terbilang handsome. Dia anak klub Drama. Terakhir, dia misterius, mata hitam kelamnya, terkesan menyembunyikan masa lalu yang kelam dan mengerikan. 

Lalu, Amuro, dua tahun lebih tua dariku. Duduk di SMA 3, tentu saja. Amuro adalah cowok yang bisa diandalkan dalam hal mengurus orang, dan Amuro diamanahkan oleh orangtuaku untuk menjagaku, secara tidak ada yang lagi bisa mengurusku selain Amuro. Orangtuaku sudah cerai soalnya, dan mengurus hidup masing-masing. Dan soal kenapa orangtuaku cerai, dan mengapa mereka tidak bisa mengurus anaknya, itu nanti kujelaskan. Baiklah lanjut, Amuro adalah cowok yang paling dewasa di antara murid di sekolah, dan lumayan pendiam. Dia ikut klub Tataboga. Kalau kalian jadi aku, mungkin kalian menganggapnya daddy kalian, daddysugar. Amuro berasal dari keluarga yang amat tajir, kayaraya, tapi dia tidak pernah menyombongkan diri. 

Bukannya aku memuji dia ya, aku hanya mengatakan fakta. Dan dia tidak kuanggap apa-apa, hanya kuanggap pengganti ayahku yang sekarang entah ada di mana keberadaannya. 

Berhubung hari ini, Shuu lagi baik hati, dan baru menerima gaji dari tempat dia kerja (di supermarket pamannya), kami ditraktir olehnya. Lebih tepatnya, aku, Lyn, dan Ika memaksanya traktir kami. Kami tuh, cewek yang suka gratisan, dalam hal positif tentunya. Kasar-kasar begini, kami masih tahu batas.

Aku duduk di pojokan, tempat biasa kami, para sohib, berkumpul. Dan, aku selalu memastikan tidak ada abang-abangku di kantin. Kalaupun ada dia, aku hanya perlu menyelinap pergi ke taman. Bersembunyi. Pokoknya, aku akan berusaha untuk tidak berpapasan dengan mereka lagi. Atau bila perlu, aku menginap saja sekalian ke rumah Lyn atau Ika.

Sambil menunggu bakso datang, kami mengobrol. Obrolan yang tak jelas, melantur ke-mana-mana. Yang dimulai dari tentang meja di hadapan kami, tentang kayu, tentang pohon, tentang daun, dll. Kami juga mencoba masakan buatan Amuro, lalu mengomentar masakannya, dan melanturkan obrolan kami ke makanan.

"Weh, weh, lihat, roti buatan Amuro banyak banget cokelatnya." Ika menekan-nekan roti yang diberikan Amuro, tertawa sendiri. "Lihat, meleleh banget cokelatnya. Gak pelit."

Aku hanya menopang daguku, mengaduk-aduk jus manggaku. 

"Eh, Icha, jadi enggak nih jual abangmu?" Lyn berkata pelan, agar tidak ada yang mendengar selain kami (Amuro, Shuu, Ika, dan aku).

Seketika aku tersedak. Aku kira Lyn sudah lupa hal itu. Aku tersenyum kesal, "Enggak jadi. Kamu tahu sendiri kan, keempat kunyuk itu tidak bersedia dijual ke kamu."

"Yaaaah," raut wajah Lyn terlihat kecewa. Tapi, detik berikutnya, sudah terlihat gembira lagi begitu Mamang Bakso mengantarkan pesanan kami.

Bagus, moodku sedang buruk. Moodboosternya yah, makan. Apalagi makan bakso. Cuaca sedang mendung juga, udara dingin. 

Aku mencicipi kuah, mengangguk-angguk puas. Lalu, langsung menyendok bakso yang paling besar. Tepat saat aku mau memasukkannya ke mulut, sebuah tangan yang lebih besar dari tanganku, menahan gerakanku. 

Kepalaku terangkat. "HEH! KENAPA---Eh?" Aku tersedak air ludah sendiri, melototi orang yang mencengkram pergelangan tanganku.

"Bang Alfarezi?!" 

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Sengaja tulis lebih pendek, takutnya kalian bosan ( ˶ˆ꒳ˆ˵ )! Kalau ada kekurangan, jangan sungkan untuk memperingati :)! Jangan lupa comment, Ella setia untuk membaca, soalnya suka baca-baca comment. Dan, jangan lupa vote!

Besok update lagi ya!

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang