✧Part 28

39 20 0
                                    

"Icha! Makan!!" Abyaaz berseru dari dapur.

Aku berbaring telentang di kasur, tanganku terangkat memegang handphone, dan memandang pantulan diriku di layar handphone. Menyeringai. Aku sudah melepas perban di dahiku, aku sendiri yang melepasnya, tanpa sepengetahuan abang-abangku. Lagian, dahiku sudah enggak sakit lagi. Kan si Cecil lemah banget benturin kepalaku ke meja kantin. Tapi, aku enggak tahu juga sih, kenapa aku bisa sampai pingsan.

"ICHAA!!" Suara Asheer menggelegar.

"BENTAAARR!! Sabar napa sih!!"

"Elu ngapain di kamar? Apa alasanmu bilang bentar?" Amaar ikut berseru.

Dih, rese banget sih mereka jadi orang. Aku melompat turun dari kasur, melangkah malas-malasan ke dapur. Aku lagi enggak selera makan, apalagi makan sama mereka. Sambil bersungut-sungut, aku sudah duduk 'manis' di bangku.

"Kenapa kau, Cha?" Amaar duduk di sebelahku.

Alfarezi yang sedang mencicipi masakannya, melirikku.

Aku memonyongkan bibir, tidak menjawab.

Abyaaz dan Asheer duduk, dan mengetuk meja secara bersamaan. Raut wajah Asheer sudah terlihat tidak sabaran untuk menyantap masakan malam ini. Tiba-tiba Alfarezi menoleh ke arahku.

"Cha, bantuin bawain itu," Alfarezi mengedikkan dagu ke arah mangkok berisi sop ayam. "Jangan lupa pakai alas, panas itu."

"Iye, iyee," jawabku malas.

Dengan langkah sengaja dilambat-lambatkan agar abang-abangku gregetan (tapi tidak berhasil),  aku membawa mangkok berisi sop itu. Dan terjadi sesuatu... saat aku mau meletakkan mangkok itu ke meja, aku sedikit tersandung. Beruntung mangkok itu sempat kuletakkan di meja, tapi tanganku terkena cipratan kuah yang panasnya... Bah, panas pake banget.

Aku memekik. "EMAAAAAK!!! PANAAASS!!"

Alfarezi sontak berdiri dan menarikku ke wastafel dapur. Mencuci tanganku yan terkena air panas. Hei, jangan anggap ini lebay, Kawan. Sop-nya baruuuu saja selesai dipanaskan, siapa sih yang enggak kesakitan tangannya terkena tumpahan sop sepanas itu? Aku kan bukan Saitama.

"Sakit, Cha?" Amaar bertanya.

Aku yang lagi mengaduh-aduh, menendang kakinya. "Gila lu ya, pakai nanya lagi, sakit lah!!"

Beberapa lama, akhirnya kegaduhan itu mereda. Tapi, aku masih tetap merasa tanganku terbakar, serasa melepuh, namun beruntung abangku cepat. Kalo enggak tanganku langsung melepuh beneran tuh. 

"Tangannya masih perih, Cha? Mau disuapin?" Asheer bertanya.

Aku melempar tatapan maut, menukas ketus, "Enggak."

"Utututu, jangan marah dong, Cayangku."

Urgh, aku serasa mau muntah. Aku menatap Asheer dengan tajam. "Cayang-cayang, palalu kayang!"

"Makan, Saudara-saudara sekandungku. Jangan lupakan baca doa sebelum makan, karena barangsiapa yang makan tidak baca doa, akan makan sama setan." Alfarezi berkata datar.

"Dih, meski aku baca doa pun, juga tetap makan sama setan kok." Aku mengedikkan dagu ke arah mereka semua. "Kalian setannya."

Sekarang, tatapan keempat abangku berubah. Aku sedikit merasa menyesal karena berbicara seperti itu pada mereka, tapi who cares, Bro? Aku menyantap jatah makan malamku dengan lagak tak peduli apa-apa, seolah tidak berdosa.

"Icha," suara Alfarezi terdengar jengkel. 

Aku tetap santai makan. Sengaja biar mereka semakin kesal, soalnya mereka sering banget buat aku kesal. Meski dalam hatiku aku sedikit takut dengan nada suara Alfarezi yang terdengar seram. Kalian tahu, aku itu lebih takut suara Alfarezi jika sedang marah daripada suara auman singa yang mengamuk. 

"Icha."

Tetap makan, Cha. Kamu harus berhasil membuat mereka kesal. Suara nuraniku membuatku tetap bertahan. Hoho, macam sedang bertarung saja. 

"Aisha Athalia Aldebaran!!"

Aku menelan ludah. Terpaksa mengangkat kepalaku. "Iya, Bang Alfarezi Aldebaran? Ada apa Abang memanggil Adek?"

"Kau keterlaluan."

Aku memasang senyum manis, "Iya, Abang. Adek keterlaluan imutnya." Kulirik Abyaaz, Amaar, dan Asheer yang saling tatap. Telepati mungkin? Abang-abangku tuh, bisa membaca pikiran saudara kembarnya. 

"Icha," sekarang Amaar ikut bicara. "Mau sebenci apapun kau pada kami, tapi kami tetap abangmu, Cha. Bukan setan."

Aku hanya diam, sekarang hanya memandang makanan di hadapanku. 

"Icha, dengar kami. Semua alasanmu membenci kami itu, tidak benar. Bukan kami yang membuat Aleena itu tertabrak mobil hingga tewas."

"Berisik," sergahku datar. Beranjak berdiri. "Aku kenyang. Besok jangan pergi sekolah bareng aku."

"Besok kan libur, Cha."

Sialan, niatku mau amarahku terkesan keren, tapi sekarang malah terlihat konyol. 

*****

Shuu memandang layar handphonenya. Terkekeh-kekeh. Bahunya berguncang.

Foto-foto Aisha Athalia Aldebaran.

****

Gambar diatas gambar author, DILARANG mengaku-aku bahwa gambar tersebut adalah karya kalian. Don't forget to vote!

My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang