4. Petak Umpet

36 21 4
                                    

Sore itu, matahari mulai meredup, memandikan lapangan kecil di tepi desa dengan cahaya keemasan. Suara kicau burung bersahutan, angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membuat suasana sore itu tampak sempurna bagi Kahfi dan Fyra, saudari kembar yang tak bisa dipisahkan. Mereka sedang asyik bermain permainan favorit mereka—Petak Tepuk, sejenis petak umpet di mana salah satu dari mereka harus menepuk tangan lawan saat berhasil menemukannya.

"Aku pasti menang kali ini, Fyra!" seru Kahfi penuh percaya diri, sambil berusaha keras menutupi suaranya dari balik semak-semak tempat ia bersembunyi.

"Kamu selalu kalah, Fi! Jangan terlalu yakin dulu," jawab Fyra, sambil mengintip dari balik pohon besar di seberang lapangan.

Fyra berjalan perlahan, matanya mencari-cari sosok kembarannya. Tiba-tiba ia mendengar suara ranting yang patah. "Kena kau!" serunya sambil berlari ke arah semak tempat Kahfi bersembunyi. Kahfi mencoba melarikan diri, tapi telapak tangan Fyra dengan cepat menepuk pundaknya. Mereka tertawa lepas.

"Ah, kamu curang! Aku kan belum siap kabur!" protes Kahfi, meski wajahnya tetap tersenyum.

"Yang kalah jangan marah!" ejek Fyra, dan mereka tertawa lagi.

Namun, tawa mereka segera lenyap saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Langkah itu berat, serampangan, dan disertai gumaman aneh. Fyra memegang tangan Kahfi erat-erat.

"Kahfi, dengar nggak?" bisik Fyra, matanya melebar.

Kahfi menoleh ke arah suara itu dan langsung merasa jantungnya berdebar kencang. Seorang pria dengan pakaian compang-camping muncul dari balik semak-semak, berjalan terhuyung-huyung. Wajahnya dipenuhi kotoran, rambutnya kusut, dan matanya berkilat-kilat liar.

"Kak, itu orang gila," bisik Kahfi, wajahnya memucat. Ia tahu pria itu, sering terlihat berkeliaran di sekitar desa. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Pria itu tampak semakin mendekat, langkahnya lebih cepat.

"Fyra, lari!" teriak Kahfi, dan tanpa berpikir panjang mereka berdua berbalik arah, berlari sekencang mungkin meninggalkan lapangan.

Mereka melintasi semak-semak, menerobos pohon-pohon kecil, berlari tanpa henti. Nafas mereka terengah-engah, tapi suara langkah pria itu masih terdengar di belakang mereka.

"Kak, aku takut!" seru Fyra, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Aku juga takut, tapi kita nggak boleh berhenti!" balas Kahfi. Namun, saat mereka terus berlari, kaki Kahfi tersandung batu dan ia terjatuh. "Aduh!" jeritnya.

"Kahfi!" Fyra berhenti dan membantu kembarannya bangun. "Kamu nggak apa-apa?"

"Aku bisa jalan, ayo, kita harus cepat!" ujar Kahfi, meski kakinya terasa sakit. Mereka melanjutkan lari, tapi langkah mereka mulai melambat. Fyra memeluk lengan Kahfi, berusaha menenangkan dirinya, tapi wajahnya masih dipenuhi ketakutan.

Tiba-tiba, terdengar suara orang lain dari arah berlawanan. "Hei, kalian ngapain?!" seorang warga desa berteriak sambil berlari ke arah mereka. Ia tak sendiri, beberapa orang lainnya ikut bergabung, membawa kayu dan batu sebagai senjata seadanya. "Itu orang gila lagi, ya?!"

Kahfi dan Fyra segera berlari ke arah warga tersebut, berlindung di balik punggung mereka. Para warga menghadang pria gila itu. Setelah perjuangan singkat dan teriakan-teriakan, pria itu akhirnya berhasil diatasi. Beberapa warga berhasil menahannya, sementara yang lain segera memanggil bantuan untuk mengamankannya.

Kahfi dan Fyra bernafas lega, tapi tubuh mereka masih gemetar ketakutan.

"Kalian nggak apa-apa?" tanya salah satu warga.

"Nggak, Kak. Kami... kami baik-baik aja," jawab Fyra, meski suara gemetar masih terdengar jelas.

Namun, sebelum mereka bisa kembali merasa aman, Kahfi menyadari sesuatu. "Fy, kita di mana? Ini... ini bukan jalan pulang," ujarnya dengan panik.

Fyra menoleh, melihat sekeliling mereka. Pohon-pohon asing mengelilingi mereka, jalan setapak yang mereka lewati tadi sudah tak lagi terlihat.

"Aduh, Kak... kita tersesat!" jerit Fyra dengan suara yang hampir pecah.

"Apa yang harus kita lakukan, Fy?!" Kahfi mulai gelisah. "Kita nggak bisa tetap di sini. Kita harus cari jalan keluar."

"Tapi kita ke mana? Semuanya kelihatan sama!" Fyra mulai menangis, tangannya gemetar.

Kahfi berusaha menenangkan adiknya, meski dia sendiri juga ketakutan. "Oke, kita harus tetap tenang. Kita cari jalan, pasti ada jalan."

Mereka berjalan, mencoba mengikuti arah yang menurut mereka benar. Namun, semakin mereka melangkah, semakin dalam mereka tersesat. Hingga akhirnya, langit yang tadi cerah mulai gelap, dan hujan turun dengan deras tanpa peringatan.

"Aduh, hujan lagi!" seru Kahfi, kini sudah basah kuyup. "Kita nggak bisa terus jalan dalam hujan, Fy!"

Fyra melihat sekeliling, matanya mencari-cari tempat berteduh. Di kejauhan, ia melihat sesuatu—bangunan batu tua yang tampak seperti reruntuhan gua, sebagian tertutup oleh lumut dan akar pohon besar.

"Kahfi, lihat itu! Ada gua di sana!" Fyra menunjuk ke arah bangunan batu itu.

Tanpa berpikir panjang, mereka berlari ke arah gua itu. Saat sampai di sana, mereka segera masuk, berteduh dari hujan yang semakin deras.

"Kamu yakin ini aman, Fy?" tanya Kahfi, masih cemas.

"Aku nggak tahu, tapi ini lebih baik daripada kehujanan di luar." Fyra memeluk lututnya, gemetaran kedinginan. "Kak, gimana kalau kita nggak bisa pulang?"

"Kita pasti bisa pulang. Kita cuma perlu tunggu hujan reda dulu. Setelah itu, kita cari jalan keluar," ujar Kahfi, mencoba tegar. Namun, hatinya dipenuhi kecemasan yang sama. Mereka tersesat di tempat asing, dikejar orang gila, dan sekarang terjebak dalam hujan deras di sebuah gua tua yang mereka tak pernah lihat sebelumnya.

Hanyasuara hujan yang menemani mereka saat itu.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang