43. Kebenaran yang Pahit

5 3 2
                                    

Hari itu, Kahfi dan Fyra duduk di taman sekolah, menunggu Amira. Mereka telah sepakat untuk memberitahu Amira tentang apa yang mereka temukan. Namun, mereka tahu ini bukan tugas yang mudah. Amira adalah teman kecil mereka, dan kebenaran yang mereka pegang bisa mengubah hidupnya selamanya.

"Apa menurutmu kita melakukan hal yang benar?" tanya Fyra, matanya tampak penuh kecemasan.

Kahfi menatap langit biru di atas mereka. "Aku juga tidak tahu, Fyra. Tapi Amira berhak tahu siapa ibunya."

Fyra mengangguk pelan. "Aku cuma takut, dia tidak akan menerimanya. Dia sudah mengalami banyak hal."

Saat itu, Amira muncul di kejauhan, berjalan dengan langkah kecilnya yang terlihat biasa, namun kali ini wajahnya lebih murung dari biasanya. Ketika sampai di hadapan Kahfi dan Fyra, dia tersenyum kecil, meski matanya tampak lelah.

"Ada apa Kak Kahfi, Kak Fyra? Kok kalian manggil aku ke sini?" tanya Amira, suaranya lembut namun penuh tanda tanya.

Kahfi dan Fyra saling berpandangan, seolah mencoba mencari keberanian dari satu sama lain.

"Amira, ada sesuatu yang perlu kamu tahu," mulai Fyra dengan suara lembut.

"Ada apa, Kak?" Amira tampak sedikit waspada, seperti dia tahu sesuatu yang serius akan dibahas.

"Kami menemukan sesuatu yang penting... tentang keluargamu," lanjut Kahfi hati-hati.

Wajah Amira langsung berubah. Dahinya mengerut, dan dia melangkah mundur. "Apa maksud Kakak? Aku nggak punya keluarga..."

"Bu Rani...," kata Fyra pelan. "Bu Rani... mungkin adalah ibumu."

Mata Amira melebar. "Apa?" Amira terlihat kebingungan, lalu wajahnya berubah menjadi ketidakpercayaan. "Kakak bercanda, kan?"

Kahfi menggeleng pelan. "Kami tidak bercanda, Mira. Kami menemukan dokumen-dokumen yang membuktikan hal itu. Bu Rani adalah ibu kandungmu."

Amira terdiam, napasnya mulai berat. Dia melangkah mundur lagi, seolah-olah kata-kata itu terlalu berat untuk ditanggung. "Enggak mungkin... Enggak mungkin! Kalian pasti salah!"

"Kami tahu ini sulit dipercaya, tapi kami sudah memastikan kebenarannya," Fyra mencoba menjelaskan lebih lanjut.

"Tapi kenapa Bu Rani nggak bilang apa-apa? Kalau benar dia ibuku, kenapa dia nggak pernah mengatakannya?!" teriak Amira dengan air mata mulai menggenang di matanya.

"Itu yang kami nggak tahu pasti, Mira. Mungkin dia punya alasan. Mungkin dia hanya ingin melindungimu," kata Kahfi, mencoba menenangkan.

Namun Amira langsung meronta, menolak mendengarkan lebih jauh. "Kalian bohong! Kalian hanya membuat-buat cerita! Kenapa kalian lakukan ini padaku?! Aku percaya kalian, tapi ternyata kalian mengkhianatiku!" teriaknya, tangisnya mulai pecah.

Fyra mencoba meraih tangan Amira, tapi gadis itu menarik tangannya dengan kasar. "Aku nggak mau dengar! Aku nggak mau tahu! Kalian bukan teman-temanku lagi!" Amira berbalik dan lari meninggalkan Kahfi dan Fyra, yang hanya bisa terdiam, terpaku di tempat mereka berdiri.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Amira tidak pernah mendekati Kahfi dan Fyra lagi. Dia menghindari mereka setiap kali berpapasan di sekolah, bahkan memalingkan wajah saat melihat mereka dari kejauhan. Amira juga semakin sering berinteraksi dengan Bu Rani, yang tampaknya tidak menyadari apa yang terjadi antara Amira dan kedua sahabatnya.

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana," kata Fyra suatu hari, sambil menatap Kahfi dengan wajah penuh penyesalan. "Aku merasa seperti kita malah menghancurkan hubungan kita dengan Amira."

Kahfi mengangguk pelan. "Aku juga merasa begitu. Tapi, kita melakukan ini demi kebaikannya, Fyra. Amira harus tahu siapa ibunya. Kita tidak bisa membiarkannya hidup dalam kebohongan."

Fyra menunduk, berusaha menahan air mata. "Tapi sekarang dia menjauh dari kita. Kita sudah kehilangan sahabat kecil kita."

Kahfi menatap langit, berpikir keras. "Mungkin kita terburu-buru. Mungkin seharusnya kita membiarkan Bu Rani yang bicara dulu."

"Mungkin. Tapi sekarang sudah terlambat," kata Fyra, nadanya penuh dengan penyesalan. "Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki ini?"

Sementara itu, Amira tampak semakin tenggelam dalam kebingungan. Di satu sisi, ada perasaan aneh di hatinya setiap kali dia bersama Bu Rani. Seperti ada sesuatu yang lebih dari hubungan murid dan guru biasa. Di sisi lain, Amira merasa dikhianati oleh Kahfi dan Fyra—dua orang yang selama ini ia anggap teman baiknya.

Amira pun mulai meragukan semua yang ia ketahui tentang dirinya sendiri. Benarkah Bu Rani adalah ibunya? Jika iya, kenapa Bu Rani tidak pernah mengakuinya? Dan jika benar, mengapa dia merasa sangat marah pada Kahfi dan Fyra yang mencoba memberitahunya?

Di rumahnya, Amira menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang kacau. Ia memegang surat misterius yang ia temukan di laci beberapa minggu lalu—surat yang menyiratkan bahwa ibu kandungnya mungkin ada di dekatnya.

Dengan tangan gemetar, Amira membuka surat itu lagi. Matanya membaca kalimat demi kalimat, mencari jawaban yang mungkin bisa ia temukan. Namun, surat itu hanya menambah kebingungan di kepalanya. Ia terjebak di antara keinginan untuk mencari kebenaran dan ketakutan akan apa yang mungkin ia temukan.

"Apa yang harus aku lakukan?" bisik Amira pada dirinya sendiri. Air matanya mulai jatuh perlahan.

Di sisi lain, Kahfi dan Fyra tidak menyerah. Mereka memutuskan untuk memberi waktu pada Amira. Mereka tahu bahwa kebenaran kadang terlalu berat untuk diterima sekaligus, dan Amira membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya.

"Kita hanya bisa berharap Bu Rani akan segera bicara padanya," kata Kahfi pada Fyra suatu hari.

"Ya," jawab Fyra pelan. "Kita sudah melakukan apa yang bisa kita lakukan. Sekarang tinggal menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."

Ceritaini belum berakhir. Di tengah kebingungan dan rasa sakit hati, baik Amiramaupun Bu Rani harus menghadapi kebenaran yang pahit. Dan Kahfi serta Fyrahanya bisa berharap bahwa sahabat kecil mereka akan menemukan kedamaian ditengah badai emosional yang sedang ia hadapi.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang