22. Rencana yang Terungkap

7 6 2
                                    

Hari pertama Fyra dan Islah di sekolah baru mereka dimulai dengan penuh kegembiraan. Mengenakan seragam sekolah yang rapi dan anggun, keduanya tampak sangat bersemangat. Mereka berdua terlihat cantik dengan jilbab mereka, dan wajah Fyra berseri-seri meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatinya tentang apa yang akan terjadi nanti.

Setelah mereka memasuki ruang kelas, suasana menjadi lebih cerah. Siswa-siswa di kelas itu menyambut Fyra dan Islah dengan hangat, mereka memperkenalkan diri dan tidak lama kemudian, keduanya mulai merasa nyaman di lingkungan baru ini.

Seorang gadis bernama Nadia tersenyum ramah ke arah mereka. "Hai, kalian murid baru, ya? Senang bertemu dengan kalian. Kalau butuh bantuan, jangan ragu bilang, ya!"

Islah membalas senyuman itu dengan antusias. "Iya, makasih, Nadia. Senang juga bisa sekolah di sini. Suasananya menyenangkan."

Fyra menambahkan, "Iya, kami baru mulai hari ini. Mudah-mudahan bisa cepat menyesuaikan diri."

Pelajaran pertama dimulai, dan Fyra serta Islah bisa mengikuti tanpa masalah. Mereka merasakan kebahagiaan yang jarang mereka rasakan sebelumnya—sebuah kebebasan untuk belajar dan berkembang. Namun, di balik itu, ada kecemasan yang terus menghantui mereka tentang Pak Ramdan, yang pasti akan bertanya mengapa mereka tidak pulang selama beberapa hari terakhir.

Setelah tiga hari tidak pulang karena persiapan sekolah, Fyra dan Islah akhirnya memberanikan diri untuk kembali ke rumah Pak Ramdan. Mereka sudah tahu betul apa yang mungkin akan terjadi, namun mereka tidak bisa menghindarinya lebih lama lagi. Mbak Yamina, yang sudah mengetahui perilaku keras Pak Ramdan, membantu mereka menyusun rencana untuk memastikan keselamatan mereka.

Begitu mereka tiba di rumah, Pak Ramdan sudah menunggu di pintu dengan ekspresi yang jelas-jelas marah.

"Fyra, Islah!" suaranya meledak saat mereka melangkah masuk. "Kalian ke mana saja selama tiga hari ini? Kenapa nggak pulang? Apa kalian pikir bisa seenaknya main hilang begitu saja?"

Fyra dan Islah saling pandang sejenak, lalu Fyra menjawab dengan tenang. "Maaf, Pak. Kami sibuk mempersiapkan sekolah."

Mendengar jawaban itu, wajah Pak Ramdan semakin merah. "Sekolah? Siapa yang izinkan kalian sekolah?" bentaknya. "Aku yang urus kalian di sini, dan aku nggak pernah izinkan kalian pergi sekolah. Kalian seharusnya bekerja untuk bantu menghasilkan uang, bukan malah jadi beban!"

Islah, yang biasanya lebih tenang, memberanikan diri untuk berbicara. "Kami dapat rezeki, Pak. Malaikat yang bantu kami mendapatkan kesempatan sekolah ini."

Mendengar kata "malaikat," Pak Ramdan langsung merasa dipermainkan. Ia menatap mereka dengan marah, lalu mendekat dengan langkah berat. "Malaikat? Jadi kalian pikir aku bodoh, ya? Apa kalian kira bisa menipuku dengan cerita dongeng seperti itu?"

Fyra mundur sedikit, mencoba menahan rasa takutnya. "Pak, kami benar-benar ingin sekolah. Ini kesempatan yang langka buat kami. Kami janji nggak akan ganggu pekerjaan di sini."

Namun, Pak Ramdan tidak peduli dengan penjelasan mereka. Matanya menyala penuh amarah. "Aku nggak butuh kalian sekolah! Aku butuh kalian kerja, bantu aku cari uang!" Dengan cepat, ia meraih tangan Fyra dan Islah, menarik mereka dengan kasar.

"Ayo, sekarang kalian kembali bekerja! Lupakan sekolah itu. Kalian milikku, dan kalian harus nurut sama aku!"

Namun, apa yang tidak diketahui Pak Ramdan adalah bahwa semua ini adalah bagian dari rencana yang telah disusun oleh Fyra, Islah, dan Yamina. Mbak Yamina, yang sudah mendengar cerita tentang perilaku kasar Pak Ramdan, bersembunyi di dekat rumah, merekam kejadian itu dengan kamera ponselnya. Ia ingin mengumpulkan bukti bahwa Pak Ramdan memperlakukan mereka dengan kasar dan memaksa mereka bekerja tanpa izin untuk mencari uang.

Sambil terus merekam, Yamina mengamati dari balik semak-semak di dekat rumah. Ia menyaksikan bagaimana Pak Ramdan menarik tangan Fyra dan Islah dengan kasar, memaksa mereka bekerja meskipun mereka sudah menjelaskan bahwa mereka ingin fokus pada sekolah.

Di saat yang tepat, Yamina mengirim pesan ke beberapa temannya, yang merupakan sekelompok mahasiswa dari universitas yang sama dengan Yamina. Mereka sudah berada di sekitar rumah Pak Ramdan, siap untuk bertindak jika keadaan semakin memburuk.

Di dalam rumah, Fyra dan Islah semakin merasa terancam. Fyra mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman Pak Ramdan, namun pria itu terlalu kuat. "Kami nggak mau kerja, Pak. Kami punya tugas sekolah yang harus diselesaikan," kata Fyra dengan suara bergetar.

Pak Ramdan semakin murka. "Sekolah nggak akan memberi kalian makan! Kalian cuma bikin masalah di sini. Kalau kalian nggak kerja, kalian nggak akan dapat makan juga!"

Saat itulah, Yamina yang sudah selesai merekam semuanya muncul bersama beberapa pemuda yang merupakan teman-temannya dari universitas. Mereka mendekati rumah dengan cepat, siap untuk membantu Fyra dan Islah.

"Pak Ramdan!" teriak Yamina, mengagetkan pria itu.

Pak Ramdan tertegun, melepaskan cengkeramannya pada Fyra dan Islah. Matanya melebar saat melihat Yamina dan para pemuda yang berdiri di belakangnya. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Pak Ramdan dengan nada marah namun juga cemas.

Yamina mengangkat ponselnya, memperlihatkan video yang baru saja ia rekam. "Kami melihat semuanya, Pak. Kami tahu apa yang Anda lakukan. Dan saya sudah punya bukti untuk melaporkan Anda. Kalau Anda masih berani menyakiti Fyra dan Islah, kami tidak akan tinggal diam."

Wajah Pak Ramdan berubah pucat. Dia tidak menyangka akan tertangkap basah seperti ini. Saat melihat para mahasiswa yang semakin mendekat, dia tahu bahwa dia tidak bisa melawan mereka. Dengan gigi terkatup rapat, Pak Ramdan mundur selangkah demi selangkah.

"Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini," katanya dengan nada defensif. "Ini urusan pribadi!"

Yamina melangkah maju dengan tegas. "Tidak ada yang pribadi ketika Anda menyakiti orang lain. Kami akan melaporkan Anda jika perlu. Anda tidak bisa terus memperlakukan Fyra dan Islah seperti ini."

Merasa terpojok, Pak Ramdan akhirnya mengalah. Dia melepaskan Fyra dan Islah sepenuhnya dan berbalik, melangkah mundur dengan marah namun tanpa pilihan lain. Para mahasiswa yang berdiri di sekitar rumah memastikan bahwa Pak Ramdan tidak akan berani bertindak lebih jauh.

Setelah Pak Ramdan pergi, Fyra dan Islah merasa lega. Yamina segera mendekat, memeluk mereka dengan penuh kasih sayang.

"Kalian sudah sangat berani, Fyra, Islah," kata Yamina dengan suara lembut. "Sekarang kalian aman."

Fyra yang sempat ketakutan akhirnya tersenyum. "Makasih, Mbak Yamina. Kalau bukan karena kamu, kami nggak tahu harus gimana."

Islah menambahkan, "Iya, Mbak. Kami benar-benar beruntung punya kamu di sini."

Yamina tersenyum hangat, lalu berkata dengan penuh keyakinan, "Mulai sekarang, kalian tinggal di asrama bersamaku. Di sana kalian bisa belajar dengan tenang tanpa harus takut dengan Pak Ramdan lagi. Saya akan urus semuanya."

Fyra dan Islah hanya bisa menatap Yamina dengan penuh rasa syukur. Setelah semua kejadian ini, mereka akhirnya bisa merasa aman dan bebas dari ancaman Pak Ramdan. Masa depan mereka kini terasa lebih cerah, dan untuk pertama kalinya, mereka bisa bermimpi tentang masa depan yang lebih baik tanpa bayangan ketakutan.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang