Fyra dan Islah sering menghabiskan waktu bersama di sela-sela pekerjaan mereka. Keduanya menjadi teman dekat, meskipun hidup di bawah tekanan Pak Ramdan yang keras. Malam itu, mereka duduk di salah satu sudut ruangan, berbagi cerita di antara keheningan yang mengisi rumah besar dan suram itu.
Sambil menyandarkan punggungnya ke dinding, Fyra menundukkan kepalanya. Wajahnya muram, dan matanya tampak berkaca-kaca. "Aku rindu Kahfi, Islah," bisiknya, suaranya serak oleh rasa sedih yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana dia sekarang. Aku merasa terjebak di sini... setiap hari rasanya aku semakin jauh dari diriku sendiri."
Islah menatap Fyra dengan sorot mata lembut. Dia tahu betul apa yang dirasakan temannya itu karena ia pun merasakan hal yang sama. "Aku ngerti perasaanmu, Fyra," jawab Islah dengan suara penuh simpati. "Aku juga begitu. Sebelum aku diculik, aku punya keluarga yang sayang padaku. Tapi sekarang... aku bahkan nggak tahu apakah mereka masih mencariku."
Fyra menundukkan kepala semakin dalam, tangisnya pelan namun penuh rasa sakit. "Aku mau pulang, Islah. Tapi aku takut..." isaknya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Pak Ramdan bilang dia akan melakukan sesuatu pada Kahfi kalau aku melawan."
Islah mendekat, meraih tangan Fyra dan menggenggamnya erat. "Dengar, Fyra," kata Islah dengan nada yang lebih tegas, "kita nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan seperti ini. Kita harus keluar dari sini, bagaimanapun caranya. Kalau kita terus diam, kita akan terjebak di sini selamanya."
Fyra menatap Islah dengan mata basah, merasakan harapan yang tipis di tengah ketakutannya. "Tapi... gimana caranya? Pak Ramdan selalu mengawasi kita. Dan rumah ini... aku bahkan nggak tahu di mana pintu keluarnya."
Islah tersenyum samar, meski hatinya juga diliputi rasa takut. "Kita harus pintar-pintar cari kesempatan. Kalau kita bisa kabur malam ini, saat semua orang tidur, mungkin kita punya peluang."
Fyra terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ide untuk kabur terasa sangat menakutkan, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup seperti ini. "Kamu yakin, Islah?" tanyanya, suaranya hampir berbisik. "Kalau kita ketahuan, kita bakal kena hukuman yang lebih parah."
Islah mengangguk mantap. "Lebih baik kita coba daripada nggak pernah mencoba sama sekali. Aku nggak tahan lagi di sini."
Fyra menarik napas panjang, hatinya bergejolak antara takut dan harapan. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baiklah. Kita coba malam ini."
Malam itu, setelah semua penghuni rumah tertidur, Fyra dan Islah bersiap untuk menjalankan rencana mereka. Mereka menunggu sampai keadaan benar-benar sepi, tidak ada suara apa pun selain angin yang berhembus lembut di luar.
Dengan hati-hati, Fyra dan Islah berjalan menyusuri lorong rumah besar itu. Langkah mereka pelan, hampir tak bersuara, sementara jantung mereka berdetak kencang di dada. Mereka berusaha sebisa mungkin tidak membuat suara yang bisa membangunkan penghuni lainnya.
Di ujung lorong, Fyra menatap pintu belakang dengan mata penuh harapan. "Itu pintu keluarnya, Islah," bisiknya, suaranya bergetar. "Kalau kita bisa sampai ke sana..."
"Kita harus hati-hati," Islah memperingatkan, matanya terus bergerak memantau keadaan sekitar. Mereka mendekati pintu itu dengan penuh kewaspadaan, berharap tak ada yang menyadari langkah mereka.
Namun, ketika mereka hampir mencapai pintu, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. "Hei! Mau ke mana kalian?!"
Fyra dan Islah menoleh dengan kaget. Di depan mereka berdiri seorang penjaga, matanya menatap mereka tajam. "Kalian pikir bisa kabur dari sini, hah?"
Fyra dan Islah saling berpandangan dengan ketakutan, lalu mencoba melarikan diri. Namun, usaha mereka sia-sia. Penjaga itu segera mengejar dan menangkap mereka. Dalam hitungan detik, mereka terjebak.
"Jangan!" teriak Fyra, matanya penuh ketakutan.
Tidak lama kemudian, Pak Ramdan muncul, wajahnya terlihat marah sekaligus sinis. "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan nada dingin.
Penjaga itu menyeret Fyra dan Islah ke hadapan Pak Ramdan. "Mereka mencoba kabur, Pak," jawab penjaga itu, cengkeramannya erat di lengan Fyra.
Pak Ramdan tertawa kecil, senyum licik menghiasi wajahnya. "Jadi kalian pikir bisa kabur dari sini, ya?" tanyanya dengan nada mengejek. Ia melangkah mendekati Fyra, tatapannya tajam. "Dengar, Fyra. Tidak ada yang bisa keluar dari sini kecuali aku yang mengizinkan. Dan percaya sama aku, aku nggak pernah mengizinkan siapapun pergi."
Fyra terdiam, air matanya menetes. Ketakutan menyelimuti hatinya, dan ia tak mampu berkata apa-apa. Sementara itu, Islah mencoba melawan dengan kata-kata.
"Kita nggak bisa terus hidup di sini, Pak Ramdan!" seru Islah dengan berani, meskipun dia tahu risiko yang akan dia hadapi. "Ini bukan hidup. Kita dipenjara di sini!"
Pak Ramdan menatap Islah dengan ekspresi dingin. "Kalian pikir hidup di luar sana lebih baik? Kalian nggak akan bertahan lama tanpa aku. Jangan mimpi terlalu tinggi, Islah. Kalian semua milikku."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Pak Ramdan memberikan instruksi kepada penjaga. "Pisahkan mereka. Mereka nggak boleh satu kamar lagi untuk sementara waktu. Biar mereka tahu, nggak ada yang boleh melawan aku."
Penjaga segera menyeret Fyra dan Islah ke arah yang berlawanan. Fyra menangis, perasaannya hancur. "Islah!" panggilnya, suaranya serak.
Islah menoleh, matanya penuh harapan. "Kita nggak boleh menyerah, Fyra! Kita pasti bisa keluar dari sini suatu hari nanti."
Setelah peristiwa malam itu, Fyra dan Islah dipisahkan sementara waktu sebagai hukuman. Mereka ditempatkan di kamar yang berbeda, tanpa diizinkan berinteraksi satu sama lain. Setiap hari, Fyra hanya bisa duduk di sudut kamarnya, memikirkan nasibnya dan bagaimana ia bisa kembali kepada keluarganya.
Namun, semakin lama, harapan itu terasa semakin memudar. Pak Ramdan mengawasi setiap gerak-geriknya, dan Fyra merasa terkurung dalam ketakutan yang terus membayangi hari-harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
General FictionDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...