19. Penguatan

7 7 2
                                    

Di malam yang tenang, Kahfi duduk di ruang keluarga bersama Abi  dan Ummi. Mereka baru saja pulang dari pertemuan di sekolah, tempat di mana Aryan dan Emily dipanggil untuk membahas turunnya prestasi Kahfi setelah kepergian Fyra. Kekhawatiran mereka semakin terlihat jelas ketika percakapan mulai mengarah pada kesulitan yang dialami Kahfi di sekolah.

"Kahfi," suara Abi terdengar lembut namun penuh perhatian, "Abi dan Ummi tadi bicara dengan gurumu, Bu Rani. Kami tahu kalau kamu merasa sulit memahami pelajaran setelah Fyra pergi."

Kahfi menunduk, matanya menatap lantai. Ia tidak bisa mengelak dari kenyataan itu. Setelah Fyra tidak ada, segala hal terasa semakin sulit. "Iya, Bi... aku memang nggak bisa fokus lagi di sekolah," ucapnya pelan. "Biasanya Fyra yang selalu bantu aku, tapi sekarang..."

Ummi (Emily) yang duduk di samping Aryan ikut menatap Kahfi dengan prihatin. "Kami ngerti perasaanmu, Nak. Kamu dan Fyra itu kembar, selalu bersama sejak kecil. Tapi... sekarang kamu harus belajar menerima kenyataan. Kami nggak bisa terus-terusan melihatmu begini."

Aryan mengangguk, menambahkan dengan suara pelan, "Abi berpikir mungkin kamu bisa ikut les di luar. Ada les privat yang bisa bantu kamu fokus belajar."

Namun, Kahfi segera menyanggah. "Les itu mahal, Bi. Apalagi les privat," katanya sambil menghela napas. "Kita nggak harus bayar sebanyak itu. Aku... aku cuma butuh waktu untuk terbiasa tanpa Fyra."

Emily tersenyum kecil, meskipun raut wajahnya masih terlihat cemas. "Kami ingin yang terbaik buat kamu, Nak. Kalau kamu nggak mau les, kita harus cari solusi lain. Jangan sampai kamu semakin tertinggal di sekolah."

Kahfi hanya mengangguk pelan. Ia tahu orang tuanya sangat mengkhawatirkannya, tapi di dalam hatinya, Kahfi masih belum menemukan cara untuk bangkit dari rasa kehilangan yang begitu mendalam.

Malam itu, setelah perbincangan dengan orang tuanya, Kahfi berbaring di kasur empuknya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kenangan tentang Fyra, rasa rindu yang tak terlukiskan. Suasana sunyi kamar hanya memperkuat perasaan hampa yang ia rasakan.

Pelan-pelan, matanya mulai tertutup, dan ia pun terlelap dalam tidurnya.

Dalam tidurnya, Kahfi bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah taman yang sangat indah. Langit biru membentang luas, dan bunga-bunga berwarna-warni menghiasi sekelilingnya. Di tengah taman itu, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya—Fyra. Wajah Fyra tampak cerah dan tersenyum lembut ke arahnya.

"Fyra...?" panggil Kahfi dengan suara gemetar, setengah tidak percaya.

Fyra menoleh, senyumnya melebar. "Iya, ini aku, Kahfi."

Kahfi langsung berlari mendekati Fyra, matanya penuh dengan kebahagiaan sekaligus keharuan. "Aku kangen, Fyra... Aku benar-benar kangen sama kamu," ucap Kahfi, air matanya mengalir pelan. "Hidupku terasa kosong tanpa kamu di sampingku."

Fyra memandang Kahfi dengan mata penuh pengertian. "Kahfi, aku juga kangen sama kamu. Tapi kamu harus kuat, Kak. Aku nggak bisa terus ada di sampingmu selamanya. Kamu harus mulai belajar ikhlas."

Kahfi menatap adiknya, air matanya semakin deras. "Aku nggak tahu caranya, Fyra. Aku nggak tahu gimana caranya hidup tanpa kamu."

Fyra tersenyum, lalu menepuk bahu Kahfi dengan lembut. "Dengar, Kak. Hidup memang nggak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Ada hal-hal yang nggak bisa kita ubah, dan kepergianku adalah salah satunya. Tapi itu bukan berarti kamu harus berhenti. Kamu masih punya Abi, Ummi, dan masa depan yang menunggumu."

Kahfi terdiam, menatap Fyra dengan perasaan campur aduk. "Tapi, Fyra... aku nggak bisa. Tanpa kamu, aku nggak bisa belajar, nggak bisa fokus, nggak bisa..."

Fyra memotongnya lembut, "Kamu bisa, Kak. Selalu bisa. Aku selalu ada dalam hatimu, walaupun kita nggak bisa bersama seperti dulu. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri. Semua hal yang kamu butuhkan untuk berhasil ada di dalam dirimu. Kamu cuma perlu membuka hatimu dan menerima kenyataan."

Kahfi terdiam, meresapi kata-kata Fyra. "Jadi... kamu bilang aku harus belajar hidup tanpa kamu?"

Fyra mengangguk pelan. "Iya. Aku selalu mendukungmu, Kak, dari manapun aku berada. Tapi kamu yang harus membuat keputusan untuk terus maju. Aku tahu kamu bisa."

Setelah mendengar kata-kata itu, Kahfi merasa sedikit lebih ringan. Ada semacam rasa lega yang mulai merasuk ke dalam hatinya. Ia menatap Fyra dengan penuh rasa sayang, menyadari bahwa ia harus mulai menerima kenyataan ini.

"Kamu benar, Fyra. Aku harus mencoba," kata Kahfi, air matanya masih mengalir namun dengan perasaan yang lebih tenang.

Fyra tersenyum lembut. "Aku tahu kamu bisa, Kak. Aku selalu percaya padamu."

Ketika matahari pagi mulai muncul, Kahfi terbangun dari tidurnya. Napasnya berat, dan ia masih bisa merasakan kehangatan dari pertemuannya dengan Fyra dalam mimpinya. Untuk beberapa detik, ia terdiam, menatap langit-langit kamar sambil mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Mimpi..." bisik Kahfi pelan. "Itu hanya mimpi."

Namun, meskipun itu hanya mimpi, kata-kata Fyra terasa begitu nyata dan kuat. Ada semacam kekuatan baru yang perlahan merasuki hati Kahfi. Ia merasa bahwa Fyra benar-benar hadir untuk menguatkannya, meski hanya dalam mimpi.

Kahfi duduk di tepi tempat tidurnya, menghapus air mata yang tersisa. "Fyra benar," katanya pada dirinya sendiri. "Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Aku harus bangkit, harus belajar menerima kenyataan... dan aku harus berjuang."

Perlahan, Kahfi tersenyum kecil, meskipun rasa rindu pada Fyra masih sangat kuat. Namun kini, ia merasa sedikit lebih siap untuk melangkah maju. Kata-kata Fyra dalam mimpinya memberikan semangat baru yang membuatnya sadar bahwa meskipun sulit, hidup harus tetap berjalan.

"Terima kasih, Fyra," ucapnya pelan. "Aku akan terus berjuang. Demi kamu, dan demi masa depan kita."

Dengan tekad yang baru, Kahfi bangkit dari tempat tidurnya, merapikan kasurnya, lalu berjalan keluar kamar dengan hati yang lebih teguh. Ia tahu bahwa hari-hari ke depan tidak akan mudah, tapi sekarang, ia memiliki kekuatan untuk menghadapi semuanya.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang