Sore itu, Fyra dan Islah kembali ke masjid tempat mereka sering salat. Di sana, mereka bertemu dengan Yamina, mahasiswi yang sebelumnya mereka kenal. Setelah menunaikan salat Asar, ketiganya duduk di salah satu sudut masjid yang sepi. Obrolan ringan pun segera mengalir di antara mereka.
Namun, di tengah-tengah percakapan, Yamina tiba-tiba menanyakan sesuatu yang membuat Fyra dan Islah merasa sedih.
"Fyra, Islah, kalian sekolah di mana sekarang?" tanya Yamina sambil tersenyum hangat, berharap mendapatkan jawaban yang penuh semangat dari mereka.
Fyra dan Islah saling berpandangan sejenak. Mata Fyra meredup, dan senyumnya yang semula ada kini perlahan memudar. "Kami... kami nggak sekolah, mbak Yamina," jawab Fyra dengan suara pelan. "Nggak ada yang biayain kami sekolah."
Islah menunduk, suaranya ikut berat. "Iya, kami juga pengen sekolah lagi. Tapi... Pak Ramdan nggak kasih izin dan bilang dia nggak punya uang."
Yamina menatap mereka berdua dengan sorot penuh empati. "Oh, begitu..." Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Kalian ingin sekolah lagi, ya?"
Fyra dan Islah mengangguk serentak. "Iya," jawab Fyra pelan. "Aku kangen belajar di sekolah, kangen punya teman-teman, dan... aku pengen punya masa depan yang lebih baik."
Islah menambahkan dengan suara yang sedikit bergetar, "Iya, mbak Yamina. Kami nggak mau cuma diam di sini tanpa harapan. Kami pengen belajar, punya ilmu, supaya suatu hari bisa keluar dari tempat itu."
Yamina berpikir sejenak, matanya menatap penuh perhatian ke arah Fyra dan Islah. "Kalian tahu nggak?" katanya tiba-tiba, senyumnya kembali muncul. "Aku ikut organisasi yang sering membantu pelajar mendapatkan beasiswa. Organisasi kami menyediakan informasi tentang beasiswa untuk pelajar kurang mampu."
Fyra dan Islah menatap Yamina dengan penuh harapan. "Beneran, mbak Yamina?" Fyra bertanya dengan mata yang mulai berbinar. "Kamu bisa bantu kami?"
Yamina tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku akan bantu kalian. Kebetulan, aku tahu beberapa program beasiswa untuk pelajar seperti kalian. Aku bisa bantu kalian mendaftar."
Setelah pertemuan itu, Yamina langsung menghubungi teman-temannya di organisasi yang mengelola informasi beasiswa. Ia memutuskan untuk menjadi perantara bagi Fyra dan Islah, memastikan bahwa mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Pada pertemuan berikutnya, Yamina membawa beberapa formulir dan persyaratan beasiswa untuk Fyra dan Islah. Di halaman belakang masjid yang tenang, mereka bertiga duduk bersama sambil membahas proses pengajuan beasiswa.
"Ini formulirnya," kata Yamina sambil menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Fyra dan Islah. "Kalian harus isi dengan lengkap, terus nanti aku bantu urus pengajuannya."
Fyra mengambil formulir itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia merasa sangat bersyukur karena kini ada harapan untuk melanjutkan sekolah lagi. "Makasih, mbak Yamina," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku nggak tahu gimana harus balas kebaikanmu."
Islah yang duduk di sebelahnya juga merasa sangat terharu. "Iya, makasih banget, mbak Yamina. Kamu benar-benar malaikat buat kami."
Yamina tertawa kecil. "Sudah, jangan terlalu dibesar-besarkan. Aku cuma bantu kalian sebisa mungkin. Sekarang, fokus saja pada pengajuan beasiswanya. Jangan khawatir, aku akan bantu kalian sampai selesai."
Selama beberapa minggu berikutnya, Fyra dan Islah bekerja keras untuk menyelesaikan semua persyaratan yang dibutuhkan. Mereka menulis esai tentang motivasi belajar, mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan, dan mengikuti wawancara yang diadakan oleh penyelenggara beasiswa.
Sementara itu, Yamina terus mendampingi mereka dalam setiap langkah prosesnya. Dia memberikan arahan, memastikan bahwa Fyra dan Islah tidak merasa sendirian. Yamina bahkan menemani mereka ketika harus menyerahkan dokumen ke kantor penyelenggara beasiswa.
"Jangan khawatir," kata Yamina suatu hari ketika mereka baru saja menyerahkan dokumen terakhir. "Kalian sudah melakukan yang terbaik. Aku yakin kalian punya peluang besar untuk mendapatkan beasiswa ini."
Fyra dan Islah hanya bisa tersenyum, meskipun perasaan gugup masih menghinggapi hati mereka. Namun, harapan mereka tetap ada, berkat bantuan Yamina.
Beberapa minggu kemudian, kabar yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Fyra dan Islah menerima surat dari penyelenggara beasiswa yang menyatakan bahwa mereka berdua lolos seleksi dan akan mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolah.
Ketika membaca surat itu, Fyra hampir tidak bisa mempercayai matanya. "Aku... aku diterima!" serunya dengan mata berbinar, suaranya penuh dengan kebahagiaan. Ia segera berlari ke arah Islah, yang sedang duduk tidak jauh darinya.
"Islah! Kita diterima!" teriak Fyra sambil memeluk sahabatnya erat-erat.
Islah membalas pelukan Fyra dengan air mata haru di matanya. "Ya Allah, Fyra, ini beneran terjadi! Kita bisa sekolah lagi!"
Fyra tidak bisa menahan air matanya. "Aku nggak percaya, Islah... kita benar-benar bisa sekolah lagi..."
Keduanya duduk bersama di lantai, menangis bahagia. Setelah bertahun-tahun terjebak dalam keadaan tanpa harapan, kini mereka akhirnya bisa melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik.
Beberapa hari setelah menerima kabar gembira itu, Fyra dan Islah pergi menemui Yamina di masjid, tempat pertama kali mereka berbicara tentang beasiswa. Mereka membawa surat penerimaan beasiswa dan ingin berbagi kebahagiaan dengan Yamina.
"Yamina!" seru Fyra begitu mereka bertemu di depan masjid. "Kami diterima! Kami mendapatkan beasiswanya!"
Yamina tersenyum lebar, matanya berbinar. "Alhamdulillah! Aku tahu kalian pasti bisa."
Fyra dan Islah memeluk Yamina erat-erat, sangat terharu dengan bantuan yang telah diberikan oleh sahabat barunya itu.
"Makasih, mbak Yamina," ucap Islah dengan suara gemetar. "Kalau bukan karena kamu, kami nggak mungkin bisa mendapatkan kesempatan ini."
Fyra mengangguk setuju. "Iya, mbak Yamina. Kamu nggak tahu betapa berarti bantuanmu buat kami. Kamu bener-bener malaikat."
Yamina tertawa kecil, meski matanya ikut berkaca-kaca. "Sudah, jangan bilang aku malaikat. Aku cuma bantu kalian, dan aku senang kalian akhirnya bisa sekolah lagi. Ingat, ini baru langkah awal. Kalian harus tetap semangat dan terus belajar."
Fyra dan Islah mengangguk penuh semangat. "Iya, kami janji," kata Fyra. "Kami nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."
Mereka bertiga saling tersenyum penuh rasa syukur, menyadari bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan yang bisa ditemukan. Dan bagi Fyra dan Islah, Yamina adalah sosok yang membawa mereka menuju harapan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
BeletrieDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...