11. Rumah Baru Fyra

15 12 2
                                    

Setelah menempuh perjalanan panjang selama delapan jam, akhirnya Pak Ramdan dan Fyra tiba di rumah yang akan menjadi tempat tinggal Fyra yang baru. Mobil berhenti di depan sebuah rumah tua yang agak terpencil, jauh dari pemukiman warga. Rumah itu berukuran tidak terlalu besar, tetapi memiliki banyak kamar yang berjejer rapi di dalamnya. Bangunan itu tampak kusam, dengan dinding yang dicat putih tapi mulai memudar, dan jendela-jendela kayu yang tertutup rapat. Di sekeliling rumah, hanya ada pepohonan dan hamparan tanah kosong.

Fyra memandang rumah itu dengan hati berat. Tempat ini sama sekali tidak terasa seperti rumah. Tidak ada tetangga, tidak ada suara, hanya keheningan yang membuatnya semakin merasa jauh dari keluarga dan dunia yang ia kenal.

"Ini rumahmu sekarang, Fyra," kata Pak Ramdan dengan nada datar sambil membuka pintu mobil. "Ayo masuk."

Fyra tidak bergerak. Perasaan asing dan takut menyelimuti dirinya. Ia hanya memandang rumah itu dengan tatapan kosong, masih belum percaya bahwa hidupnya kini berubah begitu drastis. Ia tidak merasa nyaman di tempat ini, tetapi dia tidak punya pilihan lain.

"Kamu harus terima ini, Fyra," lanjut Pak Ramdan, sedikit lebih tegas kali ini. "Kamu tinggal di sini sekarang."

Fyra menghela napas pelan, lalu perlahan keluar dari mobil dan mengikuti langkah Pak Ramdan menuju pintu rumah. Begitu pintu terbuka, aroma kayu tua bercampur debu menyeruak. Di dalam, lorong panjang dengan banyak pintu kamar berjajar di kedua sisi. Lampu di langit-langit menerangi ruangan, tapi suasananya terasa suram.

Pertemuan dengan Anak-anak Lain

Pak Ramdan membawa Fyra ke ruang tengah, tempat beberapa anak-anak lain berkumpul. Ada sekitar enam atau tujuh anak di sana, duduk di lantai atau di sofa yang terlihat sudah usang. Beberapa dari mereka terlihat asyik dengan aktivitas mereka masing-masing, seperti membaca atau menggambar, sementara yang lain hanya saling berbicara. Wajah-wajah asing itu segera menoleh ketika Fyra dan Pak Ramdan masuk ke ruangan.

"Anak-anak, ini Fyra," kata Pak Ramdan memperkenalkan. "Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini bersama kalian."

Anak-anak itu mengamati Fyra dengan penasaran, tetapi Fyra hanya menundukkan kepalanya, merasa sangat murung. Ia tidak ingin berada di sini, dan ia tidak ingin berteman dengan siapapun. Dalam pikirannya, yang ada hanya Ummi, Abi, dan Kahfi. Ia merasa sangat asing dan tersesat di tempat ini.

"Kenapa kamu nggak duduk dulu, Fyra?" salah satu anak, seorang gadis kecil bernama Islah, mendekati Fyra dengan wajah ramah. Ia tampak lebih tua dari Fyra, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua. "Kamu kelihatan capek."

Fyra menggeleng pelan, menolak tawaran Islah. Ia hanya ingin sendiri.

"Aku nggak mau," jawab Fyra dingin, suaranya hampir tak terdengar.

Islah tidak menyerah. Ia berjalan lebih dekat dan duduk di samping Fyra. Dengan suara lembut, ia mulai berbicara, berusaha membuka percakapan dengan gadis yang baru datang itu.

Islah tersenyum lembut kepada Fyra, mencoba membuka percakapan. "Kamu pasti merasa aneh di sini, kan? Aku juga begitu waktu pertama kali datang. Rasanya sepi, asing... dan aku kangen keluargaku."

Fyra mendongak sedikit, menatap wajah Islah yang tampak penuh pengertian. Meski begitu, hatinya masih berat untuk berbicara. Setelah beberapa detik terdiam, Fyra berbisik, "Aku kangen sama Ummi, Abi, dan Kahfi. Aku nggak mau di sini."

Islah mengangguk pelan, ekspresinya penuh empati. "Aku ngerti. Aku juga dulu ngerasa kayak gitu. Tapi, lama-lama aku mulai bisa terbiasa. Di sini, kita semua harus belajar menerima. Kadang, hidup nggak berjalan seperti yang kita mau."

Fyra menggeleng pelan, air matanya hampir menetes. "Tapi... aku nggak mau biasa. Aku pengen pulang. Aku nggak kenal siapa-siapa di sini."

Islah terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan Fyra. Setelah hening beberapa saat, ia melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "Dengar, Fyra... aku tahu perasaan kamu. Dulu, aku juga merasa semua ini nggak adil. Tapi setelah beberapa waktu, aku mulai menyadari satu hal. Aku nggak bisa sendirian terus-terusan. Di sini, kita semua butuh teman. Kita bisa saling menguatkan."

Fyra mendengarkan dengan saksama, meskipun hatinya masih dipenuhi kerinduan. Kata-kata Islah mulai meresap, meski perasaan rindu pada keluarganya tetap begitu kuat dan mengganggu.

"Aku... aku nggak tahu harus gimana," kata Fyra, suaranya terdengar ragu.

Islah tersenyum, tatapannya hangat dan penuh pengertian. "Mulailah pelan-pelan. Kamu nggak harus langsung suka sama tempat ini. Tapi kamu bisa mulai dari berteman dengan kami. Aku dan anak-anak di sini nggak jahat, kok. Kita bisa jadi teman, Fyra. Kita bisa sama-sama bertahan di sini."

Fyra menundukkan kepala, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata Islah. Meski hatinya masih terasa berat, ada sebuah keinginan kecil di dalam dirinya untuk mencoba membuka diri. Ia menatap Islah, lalu bertanya dengan suara pelan, "Kamu... kamu beneran mau jadi temanku?"

Islah tertawa kecil, lalu mengangguk dengan senyum di wajahnya. "Tentu saja. Kenapa nggak?"

Melihat senyum ramah di wajah Islah, Fyra mulai merasa sedikit lebih nyaman. Ia menyeka air mata yang mulai menggenang di sudut matanya, lalu mengangguk pelan.

"Oke... aku akan coba," katanya dengan suara serak.

Islah tersenyum puas dan menepuk pelan bahu Fyra. "Nah, itu dia. Kamu bakal lihat, Fyra, hidup di sini nggak seburuk yang kamu bayangkan."

Setelah percakapan panjang dengan Islah, Fyra akhirnya mulai merasa sedikit lebih terbuka. Ia diperkenalkan kepada anak-anak lain di sana oleh Islah. Meskipun pada awalnya Fyra masih merasa canggung, perlahan-lahan ia mulai merasa bahwa anak-anak di tempat itu tidak seburuk yang ia bayangkan.

Beberapa dari mereka memperkenalkan diri dan menceritakan sedikit tentang diri mereka. Rizki, seorang anak laki-laki yang lebih muda dari Fyra, menceritakan bahwa ia juga merasa takut pada awalnya, tapi kini sudah terbiasa. Naila, seorang gadis kecil yang pemalu, dengan suara lirih mengatakan bahwa dia senang bertemu dengan Fyra.

Fyra tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat. Namun, setidaknya kini ia tidak merasa sendirian.

Pak Ramdan, yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, merasa lega melihat Fyra mulai mau berinteraksi dengan anak-anak lain. Meski begitu, ada rasa bersalah di hatinya karena harus memisahkan Fyra dari keluarganya.

"Ini adalah langkah pertama, Fyra," gumam Pak Ramdan pelan, "kamu akan terbiasa, dan suatu hari, kamu akan menganggap tempat ini sebagai rumah."

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang