14. Pisah dengan Sahabat

9 7 1
                                    

Setelah dipisahkan dari Islah, Fyra merasa sendirian di rumah Pak Ramdan. Kamar tempat ia tinggal kini semakin terasa sepi dan menyesakkan. Tidak ada lagi yang bisa diajak berbicara atau berbagi cerita seperti dulu bersama Islah. Setiap hari, Fyra menghabiskan waktunya dalam kesendirian, berharap ada keajaiban yang bisa membawanya keluar dari tempat ini.

Namun, harapan itu semakin pudar ketika Pak Ramdan, pria yang mengendalikan hidupnya, semakin sering memaksanya untuk terlibat dalam bisnis online-nya yang mencurigakan. Pak Ramdan mengelola beberapa produk melalui media sosial, dan Fyra dijadikan alat promosi untuk menarik perhatian orang-orang. Tapi kali ini, permintaan Pak Ramdan jauh melampaui batas.

Suatu sore, pintu kamar Fyra terbuka dengan kasar. Pak Ramdan masuk dengan wajah serius, membawa beberapa produk di tangannya. Ia menutup pintu dengan keras, membuat Fyra yang sedang duduk di sudut kamar segera merasa cemas.

"Fyra," ucap Pak Ramdan dengan nada tegas. "Kamu harus buat video promosi lagi untuk produk ini."

Fyra menatap produk-produk yang dibawa oleh Pak Ramdan, namun rasa takut langsung menyelimuti hatinya. Ada yang berbeda kali ini. Pak Ramdan tampak lebih memaksa, lebih keras.

"Tapi," lanjut Pak Ramdan sambil menaruh produk di meja, "kali ini, kamu harus tampil lebih 'berani'. Tidak ada jilbab."

Fyra terkejut mendengar perintah itu. Tubuhnya menegang, dan dia memeluk jilbab merahnya erat-erat, seolah jilbab itu adalah tameng terakhir yang melindunginya dari dunia luar.

"Tidak, Pak," Fyra berbisik dengan suara penuh ketakutan. "Aku tidak bisa. Aku tidak mau. Sejak kecil, aku selalu pakai jilbab. Ini bagian dari diriku. Aku tidak bisa tampil tanpa jilbab."

Pak Ramdan mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban Fyra. Matanya menyipit, dan dia mulai kehilangan kesabaran.

"Bagian dari dirimu?" katanya sambil tertawa dingin. "Kamu pikir aku peduli soal itu?"

Fyra menatap Pak Ramdan dengan mata berkaca-kaca. Tangannya semakin erat memeluk jilbabnya, berharap bisa melindungi dirinya sendiri dari situasi ini. Namun, yang terjadi selanjutnya sangat mengejutkan.

Tanpa peringatan, Pak Ramdan menampar Fyra dengan keras. Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan. Fyra terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa dia tahan lagi.

Pak Ramdan mendekat, wajahnya dipenuhi amarah. "Aku yang beri kamu makan di sini," teriaknya sambil menunjuk Fyra yang masih terjatuh. "Kamu harus lakukan apa yang aku perintahkan! Atau, aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Kahfi lagi."

Ucapan Pak Ramdan membuat Fyra terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menghujam hatinya. Ia menatap Pak Ramdan dengan ketakutan yang mendalam. Ancaman terhadap Kahfi adalah hal yang paling ia takuti. Fyra tahu betapa kejamnya Pak Ramdan, dan dia tahu pria itu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Dengan suara bergetar, Fyra berusaha bangkit dari lantai. "Apa... apa yang akan kau lakukan pada Kahfi?" tanyanya dengan air mata yang terus mengalir. Jantungnya berdetak kencang, rasa takut semakin menguasai pikirannya.

Pak Ramdan tersenyum licik, matanya menatap Fyra tanpa belas kasihan. "Aku punya cara," jawabnya dingin. "Kalau kamu terus melawan, aku bisa memastikan kamu dan saudaramu tidak pernah bertemu lagi. Jadi, jika kamu ingin menyelamatkan Kahfi, kau harus lakukan apa yang aku katakan."

Fyra terdiam. Tangannya yang gemetar masih memegang jilbab merahnya, namun dalam hatinya, dia tahu dia tidak punya pilihan. Ancaman itu terlalu berbahaya untuk diabaikan.

Pak Ramdan menatap Fyra dengan dingin, lalu berjalan ke pintu. "Sekarang, berdandan dan buat video itu tanpa jilbab," ucapnya tegas sebelum meninggalkan ruangan. Pintu kamar tertutup dengan keras, meninggalkan Fyra dalam kesunyian yang menakutkan.

Fyra duduk terdiam di lantai. Air mata terus mengalir, membasahi pipinya. Ia menatap jilbab merah yang berada di tangannya—jilbab pertama yang dibelikan oleh Kahfi ketika mereka masih kecil. Jilbab itu memiliki makna yang begitu dalam bagi Fyra. Itu bukan sekadar penutup kepala, tapi simbol dari identitas dan kepercayaannya.

Namun sekarang, Pak Ramdan memaksanya untuk melepas jilbab itu. Fyra merasa hancur. Ia merasa seolah-olah sedang dipaksa untuk melepaskan jati dirinya, hanya demi menyelamatkan Kahfi.

"Maaf, Kahfi..." bisiknya pelan, air matanya tak berhenti menetes. "Aku tidak punya pilihan lain."

Dengan tubuh yang masih gemetar, Fyra perlahan bangkit. Ia berjalan menuju cermin di sudut kamar dan menatap pantulan dirinya. Wajahnya terlihat kusam, matanya bengkak karena menangis. Namun, ia tahu bahwa Pak Ramdan akan kembali jika dia tidak melakukan apa yang diperintahkan.

Perlahan, Fyra melepas jilbab merahnya. Rambut pendeknya terurai lepas, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia melihat dirinya tanpa jilbab. Hatinya terasa hampa. Setiap detik ia merasa semakin jauh dari dirinya yang dulu.

"Ini bukan aku..." bisiknya, hatinya terasa berat.

Fyra kemudian mengenakan pakaian yang disediakan oleh Pak Ramdan, pakaian yang jauh dari apa yang biasa ia kenakan. Setelah itu, ia berdandan dengan perlahan, merasa seolah-olah setiap langkah membawa dirinya lebih jauh dari kebenaran.

Ketika semuanya selesai, Fyra berdiri di depan cermin dengan perasaan kosong. Ia menatap dirinya yang sekarang, seorang gadis tanpa jilbab, tanpa identitas yang dulu ia jaga. Air matanya kembali mengalir. "Maafkan aku, Ya Allah..."

Tak lama kemudian, Pak Ramdan kembali masuk ke kamar dengan kamera di tangannya. Wajahnya puas melihat Fyra yang sudah siap. "Bagus," ucapnya dengan senyum dingin. "Sekarang, buat video promosi itu. Senyum yang lebar, Fyra. Biar semua orang tertarik."

Fyra hanya bisa menurut, meskipun hatinya terasa seperti dihancurkan berkeping-keping. Di depan kamera, Fyra tersenyum paksa dan mulai berbicara tentang produk yang dipegangnya, sementara di dalam hatinya, dia menangis. Dia merasa benar-benar kehilangan dirinya, dan yang lebih menyakitkan adalah dia tidak tahu kapan bisa bebas dari semua ini.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang