Malam itu, Kahfi duduk di meja belajarnya, menatap kertas tugas yang ada di depannya. Soal-soal matematika yang tertulis di sana terlihat begitu rumit. Meskipun sudah mencoba memahaminya selama berjam-jam, otaknya terasa buntu. Tidak ada yang bisa dia tanyai. Semua teman-teman di kelas tidak ada yang cukup akrab dengannya, dan Kahfi terlalu malu untuk bertanya pada mereka.
"Kalau saja Fyra ada di sini," batin Kahfi dengan perasaan sedih.
Matanya beralih ke sudut kamar, di mana buku-buku pelajaran berserakan. Sejak Fyra pergi, segalanya terasa lebih sulit, terutama tugas-tugas sekolah. Kahfi merasa kehilangan seorang teman yang selalu ada untuk membantunya. Fyra, pikirnya, kamu yang selalu ngebantu aku.
Kahfi masih ingat bagaimana Fyra selalu menjadi orang yang membantunya dalam mengerjakan tugas sekolah. Dulu, mereka sering duduk berdua di meja makan, buku-buku terbuka di depan mereka. Fyra, dengan sabar, mengajarkan hal-hal yang tidak dimengerti oleh Kahfi.
"Kahfi, coba kamu lihat soal nomor dua ini," Fyra menunjuk ke lembar soal dengan senyum. "Ini sebenarnya gampang kok. Kamu tinggal inget rumusnya aja."
"Tapi aku nggak ngerti, Fyra," Kahfi mengerutkan kening, merasa frustrasi.
"Nggak apa-apa, pelan-pelan aja. Kamu coba inget lagi rumus segitiganya. Dari sini kita bisa mulai."
Fyra terus mengajarkan Kahfi dengan telaten, tak pernah marah meskipun Kahfi sering tidak paham. Momen-momen seperti itu yang sekarang sangat dirindukan oleh Kahfi. Dengan Fyra di sampingnya, segalanya terasa lebih mudah dan ringan.
Namun, sekarang Fyra tidak ada. Merasa bingung dan frustrasi, Kahfi akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Abi dan Ummi di ruang keluarga.
Kahfi mendekati Abi yang sedang membaca koran di ruang tamu, sementara Ummi duduk di sofa mengerjakan rajutan.
"Abi, Ummi," panggil Kahfi pelan.
Abi menurunkan korannya dan menatap Kahfi dengan penuh perhatian. "Ada apa, Nak?"
Kahfi mendekat sambil membawa buku tugasnya. "Aku nggak ngerti soal tugas matematika ini. Kalian bisa bantu aku?"
Abi tersenyum kecil dan melirik Ummi. "Ayo kita lihat tugasnya. Apa yang bikin kamu bingung?"
Kahfi membuka buku tugasnya dan menunjukkan soal yang tidak dimengertinya. "Ini, Bi. Soal matematika ini aku nggak paham. Fyra biasanya yang bantu aku."
Abi dan Ummi saling pandang sejenak, lalu menatap soal-soal yang ada di buku Kahfi. Wajah mereka tampak bingung, dan Abi akhirnya menggeleng pelan.
"Maaf, Kahfi," kata Abi, "soal ini kurikulumnya beda dengan zaman Abi dulu. Aku juga nggak begitu paham."
Ummi ikut berbicara dengan nada menyesal. "Iya, Nak. Kurikulum sekarang lebih susah. Zaman Ummi dulu nggak serumit ini."
Kahfi menunduk, merasa kecewa. Bukan karena Abi dan Ummi tidak mau membantu, tapi lebih karena dia sadar bahwa Fyra memang orang yang selalu mengerti dirinya dan selalu siap membantunya.
"Tapi kamu bisa coba tanya gurumu, atau kalau perlu kamu bisa cari di internet," saran Abi, mencoba memberi solusi.
Kahfi hanya mengangguk pelan. "Iya, Bi. Aku coba dulu."
Namun dalam hatinya, Kahfi merasa semakin kehilangan. Dia tahu, bahkan meskipun ia mencoba mencari di internet atau bertanya pada gurunya, tidak ada yang bisa menggantikan cara Fyra membantunya.
Keesokan harinya, di sekolah, Kahfi duduk di bangkunya dengan perasaan berat. Dia belum menyelesaikan tugas matematika yang diberikan gurunya. Di kelas, suasana begitu tenang saat Bu Rani, guru matematika, mulai memeriksa tugas-tugas yang telah dikumpulkan.
Ketika sampai pada giliran Kahfi, Bu Rani melihat bahwa bukunya kosong.
"Kahfi," panggil Bu Rani dengan nada tajam, "kenapa tugasmu belum selesai?"
Kahfi menundukkan kepalanya, merasa malu. "Saya... saya nggak ngerti, Bu."
Bu Rani menghela napas panjang, menatap Kahfi dengan penuh kekecewaan. "Ini sudah bukan pertama kalinya, Kahfi. Nilai ulang kamu juga terus menurun. Kenapa kamu nggak berusaha lebih keras?"
"Saya sudah mencoba, Bu. Tapi... saya benar-benar nggak ngerti," jawab Kahfi dengan suara lemah.
Bu Rani menggelengkan kepalanya, lalu berbicara dengan nada tegas. "Karena kamu tidak mengerjakan tugas dan hasil ulanganmu juga jelek, kamu harus menerima konsekuensinya. Sekarang, berdiri di depan kelas dan baca soal ini dengan suara keras."
Kahfi merasa seluruh perhatian teman-temannya tertuju padanya. Dengan wajah merah padam, dia berdiri di depan kelas, berusaha membaca soal yang bahkan dia tidak mengerti.
"Jangan malu bertanya, Kahfi," kata Bu Rani, suaranya penuh dengan nada peringatan. "Kalau kamu terus-terusan seperti ini, kamu akan semakin tertinggal."
Kahfi hanya bisa menunduk, merasa sangat tertekan. Dia tahu bahwa Bu Rani benar, tetapi tanpa Fyra, segalanya terasa lebih sulit.
Setelah kejadian itu, Kahfi dipanggil ke ruang guru. Orang tuanya, Emily dan Aryan, juga dipanggil untuk bertemu dengan Bu Rani. Pertemuan itu terasa tegang. Di ruang guru, Bu Rani duduk dengan raut wajah serius, sementara Emily dan Aryan duduk di depannya, tampak khawatir.
"Pak Aryan, Bu Emily," kata Bu Rani membuka percakapan, "saya memanggil kalian karena saya merasa ada yang salah dengan perkembangan belajar Kahfi. Nilai-nilainya terus menurun, dan dia sering tidak mengerjakan tugas."
Emily menatap Bu Rani dengan raut khawatir. "Apa ini serius, Bu? Kahfi dulu selalu rajin dan nilainya bagus."
Bu Rani mengangguk. "Betul, Bu Emily. Tapi sejak beberapa bulan terakhir, terutama setelah kepergian Fyra, kualitas belajar Kahfi menurun drastis. Dia tampak kurang fokus, sering melamun, dan terlihat enggan bertanya kepada saya atau teman-temannya."
Aryan menghela napas panjang. "Kami tahu bahwa dia sangat terpukul dengan kepergian Fyra. Mereka kembar dan selalu bersama. Kami sendiri juga mencoba membantu, tapi kurikulum sekarang berbeda dengan zaman kami dulu."
Emily menambahkan, "Kami merasa kehilangan Fyra benar-benar berdampak pada Kahfi. Apakah ada yang bisa kami lakukan untuk membantu?"
Bu Rani berpikir sejenak sebelum menjawab. "Yang bisa dilakukan sekarang adalah memberikan dukungan penuh kepada Kahfi. Dia harus merasa bahwa meski Fyra tidak ada di sini, dia masih bisa bergantung pada keluarga dan teman-temannya. Saya juga akan berusaha membantu dia lebih intens di kelas, tapi dia harus lebih aktif bertanya."
Aryan mengangguk. "Kami akan coba lebih banyak mendampinginya di rumah. Terima kasih atas pengertian dan bantuannya, Bu."
Emily menatap Bu Rani dengan mata berkaca-kaca. "Kami hanya ingin Kahfi bisa kembali seperti dulu, Bu. Kami akan melakukan apa pun untuk membantunya."
Bu Rani tersenyum kecil. "Saya mengerti, Bu Emily. Mari kita bekerja sama. Kahfi anak yang cerdas, dia hanya butuh sedikit waktu dan dukungan lebih."
Setelah pertemuan itu, Emily dan Aryan pulang dengan perasaan berat, tetapi juga penuh harapan bahwa mereka bisa membantu Kahfi melewati masa sulit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
Ficțiune generalăDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...