6. Dalam Dekapan Abi

24 17 3
                                    

Kahfi dan Fyra melangkah keluar dari gua batu tua itu, menghindari genangan air yang terbentuk akibat hujan yang baru saja reda. Langit masih kelabu, dan tanah di sekitar mereka becek, membuat langkah mereka terasa berat. Meski hujan telah berhenti, udara masih dingin, dan tubuh mereka masih basah kuyup.

"Kahfi, kita sekarang ke mana?" tanya Fyra dengan nada ragu, memandang sekeliling yang asing.

Kahfi menoleh, pandangannya juga kebingungan. Pohon-pohon besar, semak belukar, dan jalan setapak yang mereka lalui sebelumnya tampak tak lagi bisa dikenali. Segala sesuatu di sekitar mereka tampak sama, seperti labirin hutan yang tak berujung.

"Aku nggak tahu, Fy. Tapi kita harus terus jalan. Kita nggak bisa tetap di sini," jawab Kahfi sambil menarik tangan Fyra. "Mungkin ada orang lewat atau jalan yang bisa kita kenali."

Mereka mulai melangkah lagi, hati-hati menapaki jalan yang licin. Suara gemerisik air di dedaunan dan bunyi kicau burung yang sesekali terdengar membuat suasana semakin mencekam. Langkah mereka perlahan semakin pelan, seiring kelelahan dan ketakutan yang mulai terasa lebih nyata.

"Kahfi, kita bakal bisa pulang, kan?" tanya Fyra lagi, kali ini dengan suara lebih kecil, seperti berusaha menenangkan diri.

"Bisa, pasti bisa. Abi dan Ummi pasti cari kita kalau kita belum juga pulang," jawab Kahfi, mencoba terdengar yakin, meski dalam hatinya ada sedikit rasa takut.

Langkah mereka semakin tak tentu arah. Fyra menggenggam tangan Kahfi lebih erat, sementara kakaknya berusaha menahan ketakutannya sendiri agar adiknya tetap merasa tenang.

Lalu, tiba-tiba, dari kejauhan mereka mendengar suara mesin motor yang mendekat.

"Kahfi! Dengar, itu suara motor!" seru Fyra dengan mata berbinar.

Kahfi memperhatikan dengan seksama. Suara itu makin lama makin jelas, lalu diikuti oleh sosok yang sangat mereka kenal. Aryan, ayah mereka, muncul dari balik semak-semak dengan motornya. Raut wajahnya yang cemas berubah lega saat melihat kedua anaknya berdiri tak jauh di depannya.

"Kahfi! Fyra!" seru Aryan, segera menghentikan motornya dan melangkah cepat menghampiri mereka. "Ya Allah, kalian ke mana aja?! Abi sama Ummi udah khawatir setengah mati!"

"Abi!" seru Fyra, langsung berlari dan memeluk Aryan erat-erat. Kahfi mengikuti di belakangnya, wajahnya penuh rasa lega.

"Kami... kami tersesat, Bi," jelas Kahfi, suaranya sedikit gemetar. "Ada orang gila yang kejar kami di lapangan, terus kami lari sampai nggak tahu jalan pulang. Habis itu kehujanan, jadi kami berteduh di gua batu."

Aryan menatap kedua anaknya dengan campuran rasa khawatir dan lega. Ia memeluk mereka erat-erat. "Alhamdulillah, kalian nggak apa-apa. Abi takut banget tadi. Ayo, kita pulang sekarang. Ummi udah panik di rumah."

Setelah memastikan kedua anaknya baik-baik saja, Aryan mengajak mereka naik ke atas motornya. Kahfi dan Fyra segera naik, meski tubuh mereka masih kedinginan dan basah. Aryan menyalakan motor dan mereka segera melaju meninggalkan hutan, menuju rumah mereka yang hangat.

Begitu mereka sampai di rumah, Emily, ummi mereka, sudah berdiri di pintu dengan raut wajah cemas. Saat melihat Kahfi dan Fyra yang basah kuyup, ia langsung berlari menghampiri mereka.

"Kahfi! Fyra! Kalian ke mana aja?!" seru Emily sambil menarik kedua anaknya masuk ke dalam rumah, melihat tubuh mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kenapa bisa sampai kehujanan gini?"

"Ummi, maaf... tadi ada orang gila yang kejar kami di lapangan, terus kami lari sampai tersesat," jelas Fyra cepat-cepat, berharap umminya bisa memahaminya.

Emily mendesah panjang, wajahnya masih tampak tegang. "Astaghfirullah... kalian ini, kok bisa sampai lari-larian begitu? Udah tahu kalau ada bahaya, kenapa nggak langsung pulang? Bukannya malah tersesat di hutan."

"Kami... kami takut, Mi. Orang itu seram banget..." jawab Kahfi pelan, wajahnya menunduk.

Aryan, yang sudah memarkirkan motornya di luar, masuk dan meletakkan helmnya di atas meja. "Tenang, Mi. Yang penting sekarang mereka selamat. Alhamdulillah mereka nggak kenapa-kenapa."

Emily memelototi Aryan sejenak, lalu menghela napas panjang. "Iya, tapi mereka kan tetap harus hati-hati. Apa kalian nggak tahu kalau Ummi sama Abi khawatir?"

Kahfi dan Fyra saling pandang, merasa bersalah. "Maaf, Mi... kami nggak bermaksud bikin Ummi khawatir," ujar Kahfi.

Emily terdiam sejenak, matanya menatap kedua anaknya yang tampak kelelahan dan kedinginan. Akhirnya, senyum tipis muncul di wajahnya. "Yang penting, kalian berdua selamat. Dan kalian hebat karena tetap ada satu sama lain di saat susah."

Fyra, yang masih merasa khawatir, mendongak. "Ummi nggak marah?"

Emily tertawa kecil dan menggeleng. "Ummi marah karena kalian kehujanan dan bikin Ummi khawatir. Tapi Ummi bangga kalian bisa saling jaga."

Aryan ikut tersenyum dan menyahut, "Betul tuh, Mi. Mereka tadi nggak cuma saling jaga, tapi juga kerja sama biar bisa bertahan."

"Terima kasih, Abi," ucap Kahfi sambil tersenyum lemah. "Untung aja Abi nemuin kita di sana."

Aryan menepuk bahu Kahfi dengan bangga. "Itu namanya takdir, Nak. Dan Alhamdulillah, kalian nggak apa-apa. Sekarang cepat mandi, kalian bisa sakit kalau terus kayak gini."

"Siap, Bi!" jawab Kahfi dan Fyra serempak, lalu berlari menuju kamar mandi. Rasa lelah dan ketakutan yang tadi menghantui mereka perlahan hilang, digantikan oleh rasa aman dan nyaman setelah kembali ke rumah.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian kering, mereka kembali ke ruang tamu, bergabung dengan Abi dan Ummi yang sudah menyiapkan teh hangat di meja. Suasana rumah yang tenang dan hangat membuat ketegangan mereka hilang sepenuhnya.

"Ummi, maaf ya tadi udah bikin panik," ujar Fyra sambil menyesap tehnya pelan.

Emily tersenyum lembut. "Nggak apa-apa, Nak. Kalian sudah pulang dengan selamat, itu yang paling penting."

Kahfi dan Fyra saling memandang, lalu tersenyum. Mereka tahu, meski tadi mereka sempat tersesat dan ketakutan, sekarang mereka sudah kembali ke tempat yang paling aman—di rumah bersama keluarga.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang