34. Rahasia di Balik Senyum Amira

1 1 0
                                    

Di sekolah, Amira dikenal sebagai siswa teladan. Meski masih duduk di kelas 1 SD, prestasinya di atas rata-rata. Setiap kali guru menanyakan sesuatu, Amira selalu bisa menjawab dengan tepat. Namun, di balik senyum tenangnya, ada sesuatu yang mengganjal.

Hari itu, Bu Rani, guru yang sangat dekat dengan para siswa, sedang mengajar di kelas. Dia sering menghabiskan waktu bersama murid-muridnya di luar kelas, termasuk Amira. Bu Rani juga mengajar di kelas Kahfi dan Fyra, jadi hubungan mereka cukup erat.

"Amira, seperti biasa, jawabannya sangat tepat. Bagus sekali," puji Bu Rani setelah Amira menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Semua murid memandang Amira dengan kagum, meski beberapa tampak iri.

Amira tersenyum tipis dan menunduk, seperti biasa. Di balik sikap tenangnya, ada kesedihan yang terselubung. Bu Rani memperhatikan, tetapi tidak ingin mendesak. Dia percaya bahwa Amira akan berbicara ketika siap.

Di kelas Kahfi dan Fyra, suasana berbeda. Kahfi melihat ke luar jendela, di mana Amira sedang berjalan sendirian di lorong.

"Fyr, kamu pernah merasa kalau Amira agak berbeda akhir-akhir ini?" tanya Kahfi sambil tetap menatap keluar.

Fyra mengangguk pelan. "Iya, aku juga merasa begitu. Dia memang pintar, tapi... dia kelihatan selalu tertekan, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan."

Kahfi mengernyitkan dahi. "Mungkin kita bisa bicara dengan Bu Rani? Dia pasti tahu lebih banyak."

"Tapi kita tidak bisa terlalu langsung. Amira pasti merasa tertekan kalau kita terlalu memaksanya," jawab Fyra dengan lembut.

"Kamu benar. Mungkin nanti kita bisa cari tahu secara perlahan. Kasihan juga kalau dia harus menanggung semuanya sendirian," kata Kahfi.

Fyra mengangguk setuju. "Nanti aku coba ajak dia ngobrol lebih banyak. Mungkin dia akan terbuka kalau kita mendekatinya pelan-pelan."

Beberapa hari berlalu, Fyra mulai berusaha mendekati Amira secara halus. Di setiap kesempatan, Fyra mencoba mengajak Amira berbincang lebih dalam, namun jawabannya selalu singkat dan tertutup. Suatu hari, ketika waktu istirahat, Fyra mendekati Amira yang sedang duduk sendirian di taman sekolah.

"Amira, kamu sudah makan?" tanya Fyra dengan senyum hangat.

Amira menoleh, tersenyum kecil. "Sudah, Kak."

Fyra duduk di sampingnya. "Kamu kelihatan lelah. Apa kamu baik-baik saja?"

Amira mengangguk cepat. "Iya, Kak. Aku baik-baik saja."

Fyra merasakan ada yang janggal, tetapi tidak ingin mendesak. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke Kakak, ya? Jangan dipendam sendiri."

Amira hanya tersenyum, tapi matanya berkedip cepat, seolah berusaha menahan sesuatu. Dia kemudian berdiri. "Aku mau ke kelas dulu, Kak," katanya dan segera pergi, meninggalkan Fyra yang masih termenung.

Keesokan harinya, di kelas, Bu Rani sedang mengadakan diskusi kelompok. Amira duduk di pojok kelas bersama beberapa teman, tapi dia tampak lebih diam dari biasanya. Bu Rani mendekat dan menepuk bahu Amira dengan lembut.

"Amira, kamu tidak seperti biasanya. Kamu merasa baik-baik saja?" tanya Bu Rani dengan penuh perhatian.

Amira menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Bu."

"Kalau ada yang ingin diceritakan, Ibu selalu ada untukmu, ya," kata Bu Rani lembut, tanpa menekan.

Amira hanya mengangguk, tetapi senyumnya tak sampai ke mata.

Dari tempat duduknya, Fyra melihat interaksi itu. Dia semakin yakin ada sesuatu yang sedang terjadi dengan Amira, tetapi tidak tahu bagaimana cara membantunya. Seusai pelajaran, Fyra mendekati Bu Rani.

"Bu, boleh tanya sesuatu?" kata Fyra, sedikit ragu.

"Tentu, Fyra. Ada apa?" tanya Bu Rani dengan senyuman ramah.

"Bu, saya perhatikan Amira akhir-akhir ini sering terlihat murung. Apakah Ibu juga melihat hal yang sama?" Fyra bertanya hati-hati.

Bu Rani menghela napas, lalu mengangguk. "Iya, Ibu juga merasakan hal yang sama. Tapi setiap kali Ibu mencoba bertanya, Amira selalu bilang dia baik-baik saja."

"Menurut Ibu, ada yang bisa saya lakukan untuk membantu?" tanya Fyra lagi, kali ini lebih serius.

"Ibu tidak yakin, Fyra. Mungkin pendekatan yang lebih halus dari teman-teman dekatnya bisa membantu. Kamu sudah cukup dekat dengannya, kan?" kata Bu Rani.

Fyra mengangguk. "Iya, Bu. Saya akan coba lebih sering ajak dia bicara."

Di rumah, Kahfi dan Fyra kembali membahas Amira.

"Kahfi, aku tadi bicara dengan Bu Rani. Dia juga merasakan hal yang sama soal Amira. Dia bilang mungkin kita harus lebih sering ajak Amira ngobrol," kata Fyra sambil meregangkan tubuh di sofa.

"Aku setuju. Tapi bagaimana caranya biar Amira mau terbuka?" tanya Kahfi sambil berpikir keras.

"Sepertinya kita tidak bisa langsung. Amira harus merasa aman dulu," jawab Fyra.

Kahfi mengangguk pelan. "Mungkin kita harus cari tahu lebih banyak tentang latar belakangnya. Aku dengar dia tidak tinggal dengan orang tua, kan?"

"Iya, dia diasuh pemerintah. Mungkin itu salah satu penyebab kenapa dia merasa tertekan. Aku tidak tahu bagaimana rasanya tidak punya orang tua, tapi pasti sangat berat buat anak kecil sepertinya," kata Fyra dengan raut prihatin.

Kahfi termenung sejenak. "Besok aku coba ajak Amira bicara di taman, mungkin dia akan lebih nyaman kalau aku yang memulai."

Fyra tersenyum. "Bagus, semoga berhasil."

Esok harinya, Kahfi dan Fyra menunggu Amira di taman setelah sekolah usai. Amira datang dengan langkah perlahan, dan tanpa disadari, dia duduk di bangku yang sama dengan mereka.

"Amira, bagaimana harimu?" tanya Kahfi pelan, mencoba membuka percakapan.

Amira mengangkat bahu. "Biasa saja, Kak."

Fyra menatap Amira dengan lembut. "Kamu tahu, kami berdua selalu ada di sini untuk kamu. Apa pun yang terjadi."

Amira terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. "Kak, aku... aku sebenarnya ingin cerita, tapi aku takut. Takut kalian tidak suka sama aku."

Kahfi menunduk sedikit, memastikan Amira menatapnya. "Amira, apa pun yang kamu ceritakan, kami di sini bukan untuk menghakimimu. Kami di sini karena peduli."

Amira akhirnya tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis dalam diam, sementara Fyra memeluknya erat.

"Aku hanya merasa sendiri, Kak. Tidak ada yang benar-benar mengerti aku. Aku... aku tidak punya siapa-siapa," bisik Amira sambil terisak.

Kahfi dan Fyra saling bertukar pandang, memahami bahwa inilah saatnya membantu Amira lebih dari sebelumnya.

"Amira, kamu punya kami. Kami akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi," kata Kahfi dengan penuh kepastian.

Amira mengangguk lemah, merasa sedikit lebih ringan setelah mengungkapkan perasaannya. Meski jalan di depan masih panjang, setidaknya sekarang dia tahu bahwa dia tidak sendirian lagi.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang