Pagi itu, suasana kelas Kahfi tampak ramai. Beberapa siswa saling berbisik tentang kabar yang baru saja disampaikan oleh guru mereka.
"Anak-anak," kata Bu Rani, guru mereka, sambil berdiri di depan kelas, "hari ini kita akan kedatangan murid baru. Namanya Xavier. Tolong sambut dia dengan baik, ya."
Bisikan di antara siswa semakin ramai. Beberapa anak perempuan terlihat antusias, sementara yang lainnya penasaran dengan sosok murid baru ini.
Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka, dan seorang remaja laki-laki dengan penampilan rapi dan wajah tampan masuk ke dalam kelas. Xavier berjalan dengan langkah percaya diri, seolah-olah semua mata memang pantas tertuju padanya. Wajahnya dingin, dan dia nyaris tidak tersenyum saat melangkah ke depan kelas.
"Ini Xavier," kata Bu Rani sambil memperkenalkannya kepada seluruh siswa. "Mulai sekarang dia akan belajar bersama kita. Ayo, berikan sambutan hangat."
Beberapa siswa bertepuk tangan, meskipun beberapa anak laki-laki tampak cemburu melihat ketampanan dan sikap percaya diri Xavier. Anak-anak perempuan di barisan depan tampak tersipu malu, bisik-bisik di antara mereka terdengar jelas.
Xavier hanya mengangguk kecil, tanpa berkata apa-apa. Senyumnya tipis, hampir sinis. Setelah perkenalan singkat itu, Bu Rani mempersilakan Xavier duduk di bangku kosong yang berada di baris tengah, tidak jauh dari tempat Kahfi duduk sendirian.
Selama beberapa hari setelah kedatangannya, Xavier dengan cepat menjadi pusat perhatian. Penampilannya yang menawan dan sikapnya yang dingin menarik perhatian banyak siswa, terutama para perempuan. Namun, di balik ketampanan itu, Xavier adalah sosok yang dingin dan arogan. Ia jarang berbicara dengan teman-temannya kecuali untuk merendahkan mereka atau membuat mereka merasa tak berarti.
Di kantin, Xavier sering kali menyendiri, tetapi tidak pernah sendirian dalam hal perhatian. Anak-anak perempuan di sekolah selalu mencoba mendekatinya, tetapi sering kali Xavier hanya menanggapi dengan senyum sinis atau kata-kata singkat yang merendahkan.
Suatu hari di kelas olahraga, salah satu siswa, Rama, mencoba berbicara dengannya.
"Xavier, kamu jago main bola nggak? Nanti ikut main bareng kita, ya?" tanya Rama dengan senyum ramah.
Xavier hanya menatap Rama dari ujung kepala hingga kaki, lalu menyeringai. "Aku nggak main sama orang yang cuma tahu cara kalah," jawab Xavier dengan nada dingin.
Rama tertegun, merasa terhina, sementara beberapa siswa lainnya saling pandang dengan ekspresi bingung. Sikap arogan Xavier yang merendahkan teman-temannya mulai membuat banyak orang tidak nyaman, tetapi tidak ada yang berani melawannya. Dia tampak begitu percaya diri dan berpengalaman, baik dalam berkelahi maupun dalam membuat orang lain merasa rendah diri.
Hari itu, saat jam istirahat, Kahfi duduk sendirian di kantin, seperti biasanya. Ia sedang melamun, memikirkan kenangan tentang Fyra yang selalu menemaninya saat makan siang. Tiba-tiba, suara Xavier yang dingin terdengar dari belakangnya.
"Hei, kamu," suara Xavier menyapa dengan nada mengejek.
Kahfi menoleh, menatap Xavier yang berdiri di belakangnya dengan senyum sinis. "Ada apa?"
Xavier menyeringai, kemudian mendekat. "Aku dengar dari beberapa anak, kamu ini penyendiri. Lebih parah lagi, katanya kamu kehilangan saudara kembarmu, ya?"
Kata-kata itu menusuk hati Kahfi. Ia mencoba menahan emosinya, tapi tubuhnya mulai menegang. "Jangan bicara soal Fyra."
Xavier tertawa pendek, lalu duduk di meja yang ada di depan Kahfi, menghadapnya langsung. "Oh, apa aku menyakiti perasaanmu? Kamu pasti merasa sangat kesepian sekarang, kan?"
Kahfi menggertakkan giginya, mencoba menahan amarah yang semakin memuncak. "Aku bilang, jangan bicara soal Fyra!"
Namun, Xavier tidak peduli. Senyumnya semakin melebar, tatapannya penuh penghinaan. "Lihat dirimu sekarang. Lemah, sendirian, dan menyedihkan. Tidak ada yang peduli denganmu. Bahkan saudaramu sudah meninggalkanmu. Siapa yang peduli dengan pengecut seperti kamu?"
Kata-kata itu menghantam Kahfi dengan keras. Rasa sakit yang selama ini ia pendam mulai berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. Ia berdiri dengan cepat, wajahnya memerah karena emosi yang meluap.
"Berhenti bicara!" seru Kahfi, tangannya mengepal erat.
Xavier hanya tertawa kecil. "Dan apa yang akan kamu lakukan? Kau tidak bisa melawan. Kau bahkan tidak bisa bertahan tanpa saudaramu. Kau hanya pengecut."
Amarah Kahfi akhirnya meledak. Tanpa berpikir panjang, ia melayangkan pukulan ke arah Xavier. Namun, Xavier sudah siap. Dengan mudah, dia menangkis pukulan Kahfi dan mendorongnya ke belakang hingga Kahfi jatuh ke tanah.
Kahfi terjatuh dengan keras, lututnya menghantam lantai kantin. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia kalah—baik secara fisik maupun emosional.
Xavier melangkah mendekati Kahfi yang terjatuh, tatapannya penuh dengan kepuasan. "Kau pikir kau bisa menang melawan orang sepertiku?" katanya dengan nada merendahkan. "Kau tak lebih dari pengecut yang kehilangan arah. Kau tak akan pernah menang, Kahfi."
Kahfi hanya bisa menatap Xavier dengan tatapan penuh rasa sakit, baik secara fisik maupun batin. Tangannya gemetar, tubuhnya terasa lemah. Dia merasa benar-benar hancur.
Xavier menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kahfi yang masih terbaring di tanah, terluka dan merasa tak berdaya.
Kahfi terbaring di tanah selama beberapa saat. Rasanya seluruh dunia telah runtuh di sekelilingnya. Bukan hanya kekalahan fisik yang membuatnya merasa hancur, tetapi juga ejekan Xavier yang terus terngiang-ngiang di kepalanya.
"Kamu pengecut... lemah... tidak punya siapa-siapa..." kata-kata itu terus menghantam hatinya seperti ombak yang tak henti-hentinya datang.
Beberapa siswa yang melihat kejadian itu hanya bisa memandang dari kejauhan, tidak ada yang berani mendekat atau menolong. Kahfi menatap langit-langit kantin yang tampak jauh di atasnya, merasa dirinya benar-benar sendirian di dunia ini.
Dalam kekalahannya, Kahfi merasa lebih terpuruk daripada sebelumnya. Seolah-olah, segala upaya untuk bangkit dari kesedihan akibat kehilangan Fyra semakin sia-sia. Dan sekarang, di hadapannya ada Xavier, sosok yang begitu kuat, begitu arogan, dan tak terkalahkan.
Kahfi tahu bahwa hari ini bukan hanya tentang pertarungan fisik. Itu adalah pertarungan harga diri yang telah ia kalahkah. Dan itu, bagi Kahfi, adalah kekalahan yang paling menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
General FictionDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...