Keesokan harinya, Kahfi berjalan menuju sekolah seperti biasa. Meski hatinya masih terasa berat setelah perselisihan sebelumnya dengan Xavier, Kahfi berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan. Namun, begitu ia memasuki gerbang sekolah, sosok yang sama sekali tidak ingin ia temui justru muncul.
"Kahfi!" terdengar suara dingin Xavier dari belakang. Kahfi menoleh perlahan, tetapi segera memalingkan wajahnya, berusaha mengabaikan kehadiran Xavier.
"Kenapa, pengecut? Masih takut padaku?" sindir Xavier sambil berjalan mendekat dengan senyum merendahkan.
Kahfi menghela napas dan memutuskan untuk tidak memperdulikan ejekan itu. Ia terus melangkah, namun suara langkah Xavier terdengar semakin mendekat. Xavier tampak berusaha menyerangnya dari belakang.
Namun, sebelum Xavier bisa melakukan apa-apa, tiba-tiba sebuah tangan menahan pergelangan tangannya dengan kuat.
"Sudah cukup, Xavier!" kata seorang suara yang kuat dan tegas.
Xavier terhenti. Ia berbalik dan mendapati sosok Miles, seorang kakak kelas Kahfi yang satu tahun lebih tua darinya. Miles menatap Xavier dengan mata tajam penuh peringatan. Xavier tampak cemas, seolah tidak menyangka akan ada yang menghentikannya.
"Miles..." bisik Xavier, suaranya berubah pelan.
Miles melepaskan cengkeramannya dari tangan Xavier, namun tetap berdiri dengan sikap tegas. "Kau pikir bisa bertingkah semena-mena terhadap temanmu? Apa kau benar-benar merasa lebih baik dengan merendahkan orang lain?"
Xavier terdiam, tidak berani menatap langsung ke mata Miles. "Aku... aku cuma bercanda..." jawab Xavier dengan nada ragu.
"Ini bukan bercanda," kata Miles dingin. "Berhenti bersikap seperti ini atau kau akan menyesal."
Xavier menundukkan kepala, jelas terlihat ketakutan. Setelah beberapa detik berlalu, ia mundur perlahan dan akhirnya pergi tanpa sepatah kata pun. Kahfi menatap punggung Xavier yang menjauh dengan campuran perasaan lega dan bingung.
Setelah Xavier pergi, Miles berbalik menatap Kahfi. Senyumnya yang tegas berubah menjadi lebih ramah. "Kau baik-baik saja?"
Kahfi mengangguk, meskipun masih sedikit terkejut. "Iya, aku baik. Terima kasih, Miles. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak datang."
Miles hanya tertawa kecil. "Kau harus lebih hati-hati dengan orang seperti Xavier. Dia tidak akan berhenti mengganggumu sampai dia merasa sudah cukup puas. Jangan biarkan dia menguasai hidupmu."
Kahfi menunduk sedikit, merasa bahwa Miles benar. "Aku tahu... tapi dia terus saja menggangguku. Sejak Fyra pergi, aku merasa sendirian di sini."
Miles menatap Kahfi dengan penuh pengertian. "Aku bisa lihat kamu sedang melalui masa sulit. Tapi ingat, tidak ada yang sendirian di dunia ini. Jika kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk meminta."
Kahfi tersenyum kecil. "Terima kasih, Miles. Mungkin... aku memang butuh bantuan."
Miles mengangguk, lalu berkata, "Kalau begitu, ayo kita belajar bersama. Jika kamu kesulitan dengan pelajaran, aku bisa bantu. Apa kamu punya waktu hari ini?"
Kahfi merasa terkejut sekaligus terharu mendengar tawaran itu. "Sungguh? Kamu mau bantu aku?"
"Tentu saja," jawab Miles. "Aku juga pernah melalui masa-masa sulit seperti ini. Jangan khawatir, kita pasti bisa mengatasinya bersama."
Sejak pertemuan itu, Miles dan Kahfi sering belajar bersama. Setiap kali Kahfi kesulitan dengan tugas atau pelajaran yang tidak dimengertinya, Miles dengan sabar mengajarinya. Kahfi mulai merasakan perubahan dalam cara belajarnya. Nilai-nilainya perlahan membaik, dan dia merasa lebih percaya diri di sekolah.
Suatu sore, setelah selesai belajar bersama, Miles dan Kahfi duduk santai di bawah pohon besar di halaman sekolah. Angin sepoi-sepoi bertiup, membuat suasana menjadi tenang dan nyaman.
"Kamu tahu, Kahfi," kata Miles sambil menatap langit, "dulu aku juga anak yang pemalu, sama seperti kamu. Waktu aku seusiamu, aku sering merasa minder, bahkan tampil di depan kelas saja bikin kakiku gemetar."
Kahfi menoleh ke arah Miles dengan kaget. "Kamu? Pemalu? Aku nggak percaya! Kamu kelihatan berani dan percaya diri."
Miles tersenyum kecil, menggeleng. "Percaya atau tidak, dulu aku benar-benar pemalu. Aku bahkan sering gagal kalau disuruh tampil di depan kelas."
Kahfi masih tampak tidak percaya. "Serius? Lalu bagaimana kamu bisa berubah seperti ini?"
Miles terdiam sejenak, mengenang masa lalunya. "Aku ingat, waktu itu ada pelajaran presentasi di depan kelas. Temanku tampil dengan sangat berani, sementara aku duduk di bangku, merasa kakiku sangat kaku. Aku bertanya pada diriku sendiri, 'Bisakah aku seperti itu? Kenapa setiap kali aku mau tampil, rasanya seolah dunia runtuh?'"
"Dan saat giliranku tiba," lanjut Miles, "guruku memanggilku. 'Miles, selanjutnya giliranmu, ya,' katanya. Dengan rasa gugup yang luar biasa, aku maju ke depan kelas dan mencoba menceritakan buku yang sudah kubaca. Tapi, hasilnya sangat mengecewakan. Aku tidak bisa menceritakan dengan baik. Suaraku gemetar, pikiranku kosong."
Kahfi mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lalu apa yang terjadi setelah itu?"
"Setelah istirahat," kata Miles, "aku makan bersama sahabatku, Rayn. Aku cerita padanya tentang kegagalanku. 'Ntah kenapa teman-teman yang lain bisa tampil dengan baik, sedangkan aku tidak bisa. Aku pengen banget bisa seperti itu,' kataku padanya."
Rayn saat itu tersenyum dan menjawab, 'Menurutku, kamu bisa seperti itu, Miles. Kamu cuma belum tahu caranya.'
Miles tertawa kecil mengingat saat itu. "Aku hampir nggak percaya. Aku tanya padanya, 'Sungguh? Bagaimana caranya?' Dan Rayn menjawab dengan yakin, 'Aku akan kasih tahu caranya. Kita bisa mulai belajar bersama.'"
Kahfi tersenyum mendengar cerita Miles. "Jadi Rayn yang membantumu berubah?"
Miles mengangguk. "Iya. Rayn mulai mengajakku berdiskusi kelompok. Dia selalu menyemangati aku untuk berbicara lebih banyak. Dia bilang, semakin sering aku berbicara di depan orang, semakin aku akan terbiasa."
Namun, kebahagiaan Miles dengan sahabatnya tidak berlangsung lama. Beberapa tahun kemudian, Rayn pindah ke luar kota. Pada hari terakhirnya di sekolah, Miles merasakan kesedihan yang mendalam.
"Waktu Rayn bilang dia akan pindah sekolah, aku merasa seperti kehilangan bagian penting dari hidupku," kata Miles dengan suara pelan. "Hari itu, kami duduk di taman belakang sekolah, menikmati hari-hari terakhir bersama. Rayn bilang padaku, 'Jangan khawatir, Miles. Meski aku pindah, kamu sudah tahu bagaimana caranya berubah. Kamu pasti bisa jadi lebih baik.'"
Kahfi terdiam sejenak, merasakan perasaan yang pernah ia alami juga. "Jadi, kamu merasa kehilangan seperti aku kehilangan Fyra?"
Miles tersenyum, meskipun ada kesedihan di matanya. "Iya. Tapi meskipun aku merasa kehilangan, Rayn selalu ada di hatiku. Aku berubah karena dia, dan aku akan terus menjadi lebih baik karena itu."
Kahfi menatap Miles dengan kekaguman. "Jadi, kamu belajar dari Rayn, ya? Sama seperti aku belajar dari Fyra dulu."
Miles menepuk bahu Kahfi. "Benar. Jadi, kalau kamu merasa sendirian, ingatlah bahwa selalu ada orang di sekitar yang bisa membantumu. Dan aku ada di sini untuk membantumu, Kahfi."
Kahfi tersenyum, merasa lebih kuat. "Terima kasih, kak Miles. Aku merasa lebih baik sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
General FictionDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...