Islah duduk di samping Fyra, mencoba menahan air mata. "Fyra, aku nggak tahu harus gimana tanpa kamu. Kamu sahabatku di tempat paling gelap." Suaranya bergetar, tangannya menggenggam erat tangan Fyra.
Fyra menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku juga, Islah. Kamu yang bikin aku kuat bertahan. Tanpa kamu, mungkin aku sudah menyerah."
Islah memeluk Fyra dengan erat, tangisnya pecah. "Aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi... tapi aku janji, aku nggak akan pernah lupa sama kamu."
Fyra membalas pelukan Islah dengan erat, seolah enggan melepaskannya. "Kita akan bertemu lagi, Islah. Mungkin tidak sekarang, tapi kita pasti akan bertemu. Sekarang, yang penting kita pulang ke keluarga kita masing-masing. Kita bisa mulai hidup baru."
Islah tersenyum tipis di antara air matanya. "Iya... tapi aku tetap takut. Tanpa kamu di sampingku, aku nggak tahu apa aku bisa kuat."
"Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Islah," kata Fyra dengan suara penuh keyakinan. "Aku percaya, kamu bisa melewati ini. Kita sama-sama bertahan di tempat itu, dan sekarang kita harus terus bertahan. Kamu akan baik-baik saja."
Islah mengangguk pelan, mencoba menguatkan dirinya. Setelah berpelukan sekali lagi, mereka berdua terdiam, menikmati momen terakhir bersama sebelum dipisahkan.
Selain Islah, Fyra juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada anak-anak lain yang selama ini tinggal bersamanya di rumah Pak Ramdan. Meski tidak semuanya akrab, mereka adalah bagian dari hidup Fyra selama masa-masa sulit tersebut.
Salah satu anak yang paling kecil, Amira, menatap Fyra dengan mata penuh kekhawatiran. Ia mendekati Fyra dan bertanya pelan, "Kak Fyra, kita akan berpisah, ya?"
Fyra tersenyum lembut dan berjongkok di depan Amira. "Iya, Amira. Tapi kamu akan pulang ke keluargamu. Mereka pasti merindukanmu."
Amira menggigit bibirnya, terlihat ragu. "Aku takut, Kak... aku nggak ingat keluargaku."
Fyra mengelus lembut rambut Amira. "Nggak perlu takut, sayang. Keluargamu pasti sangat mencarimu. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja."
Amira tersenyum kecil, meski masih ada rasa takut di matanya. Setelah itu, Fyra berpamitan dengan anak-anak lain yang selama ini hidup bersamanya di rumah Pak Ramdan.
Setelah perpisahan itu, Fyra dibawa kembali ke kantor polisi, di mana Aryan, Emily, dan Kahfi sudah menunggunya dengan cemas. Mereka sudah lama berada di sana, berharap bisa segera bertemu kembali dengan putri dan saudara kembar mereka. Saat mobil polisi yang membawa Fyra tiba, Kahfi langsung berdiri dan berjalan mendekat dengan langkah cepat.
Saat Fyra turun dari mobil, mata mereka bertemu. Tanpa berkata apa-apa, Kahfi berlari dan langsung memeluk saudara kembarnya dengan erat, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Fyra... Alhamdulillah, kamu selamat!" seru Kahfi dengan suara bergetar.
Fyra tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia membalas pelukan Kahfi dengan erat, tangisnya pecah. "Kahfi... aku pikir aku nggak akan pernah bertemu kamu lagi..."
Mereka berdua menangis dalam pelukan, tidak peduli pada orang-orang di sekitar mereka. Setelah beberapa saat, Emily dan Aryan juga mendekat. Emily langsung meraih putrinya dan memeluknya erat, air mata membasahi wajahnya.
"Kami sangat merindukanmu, Fyra... sangat..." kata Emily sambil terisak.
Aryan berdiri di samping mereka, menunduk dan mengusap air matanya. Ia menatap putrinya dengan penuh rasa syukur. "Kamu aman sekarang, Nak. Kami sudah berjuang keras untuk menemukanmu, dan sekarang kamu kembali bersama kami."
Fyra tersenyum di antara air matanya. "Aku... aku pulang. Terima kasih sudah mencariku... Aku sangat merindukan kalian."
Sementara itu, di pengadilan, Yamina bersama para mahasiswa yang sebelumnya ditangkap karena membantu Fyra dan Islah akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Setelah kebenaran terungkap, tuduhan penculikan terhadap mereka dibatalkan. Mereka keluar dari ruang sidang dengan perasaan lega dan bahagia.
Di luar gedung pengadilan, Yamina menghela napas panjang, menatap langit dengan senyuman. Para mahasiswa yang lain saling berpelukan, merayakan kebebasan mereka.
"Akhirnya... kita bebas," kata salah satu mahasiswa, senyum lebar di wajahnya.
Yamina tersenyum tipis. "Alhamdulillah. Ini semua berkat kita tetap berjuang. Kebenaran akhirnya berpihak pada kita."
Mahasiswa lainnya mengangguk setuju. "Fyra dan Islah sudah selamat, dan kita juga dibebaskan. Itu yang terpenting."
Mereka saling berpelukan, merayakan keberhasilan mereka dalam mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh Pak Ramdan dan jaringannya.
Setelah pertemuan yang mengharukan di kantor polisi, Fyra dan keluarganya kembali ke rumah. Saat mobil keluarga berhenti di depan rumah, Fyra melihat rumah yang selama ini ia rindukan. Rumah tempat ia tumbuh bersama keluarganya, tempat di mana ia merasa aman.
Saat mereka turun dari mobil, Kahfi menggandeng tangan Fyra dengan lembut. "Kamu benar-benar pulang, Fyra. Ini rumah kita."
Fyra menatap rumah itu dengan mata penuh air mata bahagia. "Aku nggak pernah merasa serindu ini. Akhirnya aku pulang."
Emily dan Aryan tersenyum di belakang mereka, merasa lega dan bersyukur karena akhirnya putri mereka kembali dengan selamat. Meski Fyra masih harus menghadapi trauma dari masa lalu, mereka tahu bahwa dengan cinta dan dukungan keluarga, Fyra akan pulih perlahan.
Hari itu, Fyra kembali ke tempat yang seharusnya, dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
General FictionDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...