24. Harapan yang Hampir Menghilang

3 3 2
                                    

Akhirnya, ketegangan itu meledak menjadi pertengkaran fisik. Beberapa mahasiswa yang tidak ingin Fyra dan Islah diambil secara paksa mulai melawan polisi dan anak buah Pak Ramdan. Terdengar suara teriakan dan bentrokan keras ketika dua kelompok itu saling dorong dan memukul.

Reno memimpin kelompok mahasiswa, mencoba menghalangi para polisi dan orang-orang suruhan Pak Ramdan yang ingin masuk ke dalam asrama. Namun, jumlah polisi dan tim Ramdan yang lebih banyak membuat mereka kesulitan untuk bertahan. Beberapa mahasiswa jatuh terkena pukulan, sementara yang lain ditangkap dan diikat oleh polisi.

Di dalam asrama, Fyra dan Islah mendengar semua suara dari luar. Hati mereka dipenuhi rasa takut. "Mbak Yamina, apa yang akan terjadi?" tanya Islah dengan suara bergetar.

Yamina menatap mereka dengan mata penuh kekhawatiran, tapi ia berusaha menenangkan keduanya. "Jangan khawatir. Kami sudah berusaha yang terbaik untuk melindungi kalian. Kalian tidak bersalah."

Namun, suara bentrokan di luar semakin keras, dan beberapa mahasiswa mulai jatuh satu per satu. Reno yang terluka parah akhirnya ditangkap oleh polisi, dan para mahasiswa lainnya tak mampu lagi melawan.

Setelah bentrokan mereda, polisi dan tim Pak Ramdan berhasil masuk ke dalam asrama. Mereka dengan cepat menemukan Fyra dan Islah yang bersembunyi di dalam kamar.

"Fyra, Islah, kalian harus ikut kami," kata salah satu polisi sambil menggiring mereka keluar dari kamar.

Fyra berusaha melawan. "Kami tidak mau kembali ke sana! Kami tidak mau tinggal dengan Pak Ramdan lagi!"

Islah pun ikut berseru. "Dia bukan ayah kami! Dia hanya ingin menyakiti kami!"

Namun, polisi yang sudah memiliki dokumen resmi tidak mendengarkan protes mereka. Salah seorang polisi, Bripka Andi, menatap Fyra dan Islah dengan tegas, tetapi sedikit berusaha bersikap lembut.

"Maaf, Nak," kata Bripka Andi. "Kami hanya menjalankan tugas berdasarkan hukum. Berdasarkan dokumen yang ada, Pak Ramdan memang ayah kandung kalian. Kalian harus ikut kami."

Fyra menatap dengan air mata mengalir di pipinya. "Tapi... dia bukan ayah kami! Dia menyiksa kami! Kami tidak aman di sana."

Pak Ramdan yang berdiri tidak jauh dari mereka menatap Fyra dengan tatapan sinis. "Kau tidak tahu apa yang terbaik untukmu, Fyra. Kau dan Islah hanya perlu mendengarkan aku. Mulai sekarang, kalian kembali di bawah pengawasanku."

Islah yang sudah gemetar mencoba bersembunyi di belakang Fyra, namun para polisi tidak memberikan mereka kesempatan untuk melarikan diri lagi. Yamina, yang melihat semuanya dari dalam kamar, mendekati Fyra dan Islah dengan mata penuh air mata.

"Aku janji, aku akan mencari cara untuk membantu kalian," kata Yamina, menahan isak tangisnya. "Ini bukan akhir. Aku akan mencari bantuan."

Fyra memeluk Yamina dengan erat, air matanya semakin deras. "Makasih, Mbak... tapi kami takut... sangat takut."

Yamina mengusap kepala Fyra dan Islah, lalu dengan suara bergetar, berkata, "Kalian berdua adalah anak-anak yang kuat. Percayalah, akan ada jalan keluar dari semua ini."

Akhirnya, Fyra dan Islah, meskipun penuh ketakutan, terpaksa mengikuti para polisi yang menggiring mereka kembali ke mobil. Pak Ramdan, yang sudah merasa di atas angin, tersenyum lebar. Semua mahasiswa yang melindungi Fyra dan Islah ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan penculikan anak.

Di tengah kekacauan, Reno dan para mahasiswa lain diborgol dan dimasukkan ke dalam mobil polisi. Wajah mereka penuh luka dan kelelahan, namun mereka tetap teguh.

Reno menatap Fyra dan Islah yang sedang digiring polisi ke mobil lain. "Kami sudah berusaha," bisiknya pada dirinya sendiri. "Maafkan kami, Fyra, Islah."

Di dalam mobil, Reno menoleh ke arah Bripka Andi, matanya penuh dengan perlawanan. "Kalian salah. Kalian semua hanya melihat dokumen, tapi tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi."

Bripka Andi menghela napas, lalu menatap Reno dengan tenang. "Kami bekerja berdasarkan hukum, Reno. Jika kalian merasa ada yang salah, ajukan laporan resmi. Tapi ini bukan urusan kami. Kami hanya menegakkan aturan."

Reno menggeleng kecewa. "Kadang hukum tidak selalu benar. Orang seperti Pak Ramdan bisa menggunakan hukum untuk memanipulasi semua ini. Fyra dan Islah tidak aman bersamanya."

Ketika mobil polisi berhenti di depan rumah Pak Ramdan, Fyra dan Islah diturunkan dengan perasaan penuh ketakutan. Rumah itu kini tampak lebih gelap dan lebih menakutkan dari sebelumnya, meskipun mereka pernah tinggal di sana. Semua kenangan buruk mulai membanjiri pikiran mereka.

Pak Ramdan menatap mereka dengan dingin. "Selamat datang kembali di rumah, anak-anakku. Kali ini, kalian tidak akan bisa kabur lagi."

Fyra gemetar, tetapi ia mencoba menatap Pak Ramdan dengan tegas. "Kami tidak akan pernah menganggap tempat ini sebagai rumah."

Islah, yang tampak lebih rapuh, berbisik pelan, "Kami hanya ingin hidup tenang. Kami tidak ingin disiksa lagi."

Pak Ramdan tertawa dingin. "Siksa? Kalian hanya perlu mendengarkan perintahku. Jika kalian melakukan apa yang kuinginkan, tidak akan ada masalah."

Kehidupan Fyra dan Islah di bawah kekuasaan Pak Ramdan kembali seperti mimpi buruk. Mereka dipaksa bekerja keras di rumah, di bawah ancaman kekerasan jika mereka melawan. Pak Ramdan semakin sering menggunakan kekuatan untuk memastikan mereka tidak mencoba melarikan diri lagi.

Namun, dalam hati Fyra dan Islah, masih ada secercah harapan. Mereka tidak bisa membiarkan

keadaan ini terus berlangsung. Meskipun merasa terjebak, mereka percaya bahwa suatu hari mereka akan bisa lepas dari cengkeraman Pak Ramdan. Fyra dan Islah berbicara pelan di malam-malam yang sunyi, menyusun rencana untuk bertahan.

Suatu malam, ketika Pak Ramdan sudah tertidur, Fyra berbisik kepada Islah di kamar mereka.

"Islah, kita harus mencari cara keluar dari sini. Aku tidak bisa terus seperti ini," kata Fyra dengan suara lemah, tapi penuh tekad.

Islah yang sedang duduk di ujung tempat tidur hanya bisa mengangguk pelan. "Tapi bagaimana, Fyra? Semua orang yang mau membantu kita sudah dipenjara..." jawab Islah dengan suara bergetar, matanya penuh kekhawatiran.

Fyra menunduk, memikirkan kata-kata Islah. Ia tahu mereka benar-benar sendirian sekarang, tapi di balik itu semua, ia tahu mereka harus bertahan. "Aku tidak tahu, tapi kita tidak boleh menyerah. Aku percaya akan ada jalan. Mungkin Mbak Yamina akan menemukan cara untuk membantu kita."

Islah menatap Fyra, air mata mulai menetes di pipinya. "Aku takut, Fyra. Aku takut kita tidak akan pernah bisa keluar dari sini. Pak Ramdan semakin jahat..."

Fyra mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan Islah, mencoba memberi kekuatan pada sahabatnya. "Kita sudah berhasil bertahan sejauh ini, Islah. Kita pasti bisa melaluinya. Kita hanya harus lebih pintar, lebih kuat. Mbak Yamina pasti sedang merencanakan sesuatu. Aku yakin kita tidak sendirian."

Di tengah semua kekacauan ini, Fyra dan Islah terus bertahan di rumah Pak Ramdan. Meskipun hidup mereka kembali menjadi mimpi buruk, mereka tetap menyimpan harapan bahwa Yamina dan teman-teman mahasiswa akan menemukan cara untuk menyelamatkan mereka.

Satu hal yang Fyra dan Islah pelajari dari semua ini adalah bahwa mereka harus kuat, bahkan di saat-saat paling gelap. Mereka tidak boleh menyerah, karena menyerah berarti memberikan kemenangan pada Pak Ramdan. Dan itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah mereka biarkan terjadi.

"Kita akan keluar dari sini, Islah," bisik Fyra pada suatu malam. "Aku yakin, entah bagaimana, kita akan bebas."

Islah menatap Fyra dengan penuh harapan, meskipun matanya masih dipenuhi rasa takut. "Aku percaya padamu, Fyra. Kita akan bebas."

Dan meskipun jalan mereka masih panjang dan penuh rintangan, Fyra dan Islah tetap berpegang teguh pada harapan yang mereka miliki—bahwa suatu hari, mereka akan kembali merasakan kebebasan dan hidup tanpa rasa takut.

LUMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang