Setelah Fyra dan Islah selesai memperkenalkan diri kepada Yamina di masjid, suasana menjadi lebih hangat. Yamina, yang merupakan mahasiswi Universitas Islam Al Hijrah, tampak senang bisa bertemu dengan Fyra dan Islah. Ia merasa tertarik untuk mengenal mereka lebih jauh, dan obrolan ringan pun segera mengalir di antara mereka.
"Jadi, kalian tinggal di sekitar sini?" tanya Yamina dengan senyum ramah, sambil melirik Fyra dan Islah bergantian.
Islah mengangguk pelan. "Iya, kami tinggal di rumah Pak Ramdan, nggak jauh dari sini."
Yamina menatap mereka dengan penasaran. "Oh, begitu. Jadi, kalian tinggal di asrama atau rumah keluarga?"
Fyra, yang merasa lebih nyaman sekarang, menjawab dengan hati-hati. "Ya, semacam itu. Kami tinggal di sana bersama beberapa anak lainnya."
Yamina mengangguk, lalu mengalihkan pembicaraan. "Aku mahasiswi di Universitas Islam Al Hijrah. Sudah hampir tiga tahun aku kuliah di sana. Tempatnya nggak jauh dari sini juga."
Islah tersenyum, matanya berbinar mendengar cerita Yamina. "Universitas Islam Al Hijrah? Wah, aku sering dengar soal kampus itu. Kayaknya keren banget."
Yamina tertawa kecil. "Iya, kampusnya bagus. Aku belajar banyak hal di sana. Tapi tentu saja, belajar di kampus Islam juga menuntut tanggung jawab yang besar. Pelajarannya nggak hanya akademis, tapi juga tentang kehidupan dan agama."
Fyra yang sedari tadi lebih banyak diam mulai merasa penasaran. "Kamu belajar apa di sana, Yamina?"
"Oh, aku ambil jurusan Studi Islam, jadi belajarnya lebih ke arah tafsir Al-Qur'an, hadits, dan kajian fiqh. Selain itu, ada juga mata kuliah umum seperti sejarah Islam, bahasa Arab, dan lainnya," jelas Yamina.
Islah tampak kagum. "Kedengarannya seru banget. Aku juga ingin belajar lebih banyak tentang Islam, tapi..."
Islah tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk sejenak, tampak sedikit sedih. Fyra memahami perasaan Islah dan ikut merasakan hal yang sama. Mereka berdua ingin bersekolah lagi, tapi keadaan saat ini tak memungkinkannya.
Melihat perubahan di wajah Islah dan Fyra, Yamina bertanya lembut, "Kenapa? Kalian ingin sekolah, tapi ada kendala?"
Fyra mengangguk pelan, tapi sebelum sempat menjelaskan lebih jauh, Islah menyenggol lengannya. "Fyra, kita harus pulang. Takut nanti Pak Ramdan mencarimu."
Fyra tersentak, lalu mengangguk. "Iya, benar. Yamina, kita harus pamit. Terima kasih sudah ngobrol bareng. Senang bisa kenal kamu."
Yamina tersenyum hangat. "Aku juga senang kenal kalian. Semoga kita bisa bertemu lagi di sini, ya."
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Fyra dan Islah bergegas meninggalkan masjid. Meski singkat, pertemuan dengan Yamina memberikan mereka sedikit harapan. Namun, kenyataan di rumah masih tetap berat.
Percakapan dengan Pak Ramdan
Malam itu, setelah kembali dari masjid, Fyra dan Islah duduk bersama di ruang tamu. Mereka merasa lelah setelah seharian bekerja keras, tetapi keinginan untuk melanjutkan sekolah masih terus mengganggu pikiran mereka. Dalam hati, Fyra tahu bahwa masa depannya akan suram jika ia tidak melanjutkan pendidikan.
Ketika Pak Ramdan masuk ke ruang tamu, Fyra memberanikan diri untuk berbicara.
"Pak Ramdan," panggil Fyra dengan nada hati-hati, "bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Pak Ramdan mengerutkan kening, menatap Fyra dengan tatapan dingin. "Apa? Ada apa?"
Fyra dan Islah saling pandang, lalu Fyra melanjutkan, meski suaranya terdengar ragu. "Aku dan Islah... ingin melanjutkan sekolah."
Pak Ramdan mendengus, lalu duduk di kursinya. "Sekolah? Sekolah itu mahal. Aku nggak punya uang buat biayain kalian sekolah."
Islah yang duduk di sebelah Fyra, memberanikan diri untuk ikut bicara. "Tapi, Pak, pendidikan itu penting. Kami ingin belajar. Itu kewajiban Bapak untuk mengurus kami, termasuk pendidikan."
Mata Pak Ramdan menyipit, nadanya mulai keras. "Dengar ya, Islah. Keadaan keuanganku lagi nggak baik. Banyak utang yang harus aku bayar. Kalian pikir aku punya uang lebih buat sekolah?"
Fyra merasa terpojok, tetapi ia tidak bisa membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. "Pak Ramdan, kami hanya ingin masa depan yang lebih baik. Kami nggak minta yang macam-macam, hanya ingin sekolah."
Pak Ramdan semakin marah, tangannya mengepal di kedua sisi kursi. "Dengar, aku sudah bilang tidak! Kalian pikir gampang cari uang? Ini bukan soal kemauan kalian saja. Kalau aku bilang nggak ada uang, ya nggak ada uang!"
Fyra mencoba menahan air mata, tetapi hatinya terasa hancur mendengar penolakan itu. "Pak... tolonglah, kami ingin belajar. Kami nggak bisa terus-terusan hidup begini."
Suasana semakin panas. Islah ikut merasa tertekan, tetapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. "Pak, kalau kami bisa sekolah, kami bisa membantu Pak Ramdan nantinya. Kami bisa bekerja dan membantu ekonomi keluarga. Sekarang mungkin berat, tapi nanti kita bisa sama-sama bangkit."
Namun, kata-kata Islah hanya membuat Pak Ramdan semakin naik pitam. "Kalian nggak ngerti! Aku sudah kerja keras untuk mengurus kalian semua. Kalian pikir sekolah akan bikin semuanya lebih baik? Justru kalian harus bantu-bantu di sini, bukan malah minta sekolah!"
Fyra tak mampu lagi berkata apa-apa. Ia merasa usahanya sia-sia, dan tidak ada gunanya berdebat lebih lanjut. Islah juga tampak kehabisan kata-kata. Pak Ramdan terlalu keras kepala untuk mendengarkan alasan mereka.
Akhirnya, Pak Ramdan berdiri dengan wajah marah. "Pokoknya tidak! Jangan pernah minta sekolah lagi! Kalian tinggal di sini, kalian bekerja, dan kalian tidak usah berpikir soal pendidikan lagi. Titik!"
Setelah berkata begitu, Pak Ramdan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Fyra dan Islah yang duduk terpaku. Mereka berdua saling menatap dalam diam, merasa hancur karena impian mereka untuk sekolah lagi kini sirna.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
General FictionDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...