Setelah Fyra pergi, rumah keluarga Kahfi terasa sunyi, seolah seluruh energi di rumah itu tersedot keluar bersama perginya Fyra. Kahfi duduk di sudut kamarnya, menatap dinding kosong dengan tatapan kosong. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi perasaannya bercampur aduk antara sedih dan tidak percaya.
Bagi Kahfi, kepergian Fyra seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada Fyra, kembaran yang selalu ada di sisinya sejak mereka lahir. Mereka telah berbagi segalanya: tawa, tangis, bahkan rahasia kecil. Tapi kini, hanya ada kehampaan yang tersisa.
"Fyra..." Kahfi berbisik pelan, menundukkan kepala. "Kenapa harus kamu pergi?"
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju di jalan raya, Fyra duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa asing dan ketakutan. Semuanya terjadi begitu cepat, dan ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa ia harus meninggalkan rumah, orang tuanya, dan... Kahfi.
"Om... aku mau pulang," rengek Fyra, suaranya lirih tapi penuh keputusasaan.
Pak Ramdan yang sedang mengemudi, mencoba menjaga ketenangannya. Ia tahu bahwa ini bukan hal yang mudah bagi Fyra, tapi sebagai ayah kandungnya, dia merasa berhak untuk membawa Fyra pulang. Namun, meski begitu, dia tidak bisa menyembunyikan rasa frustrasinya.
"Fyra, ini sudah keputusan yang benar. Kamu harus menerima kenyataan," ujar Pak Ramdan dengan nada tegas. "Kamu akan tinggal bersamaku mulai sekarang."
"Tapi... aku nggak mau! Aku mau pulang sama Ummi, Abi, dan Kahfi!" tangis Fyra semakin menjadi.
Pak Ramdan menghela napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Dengar, Nak, mereka bukan keluargamu yang sebenarnya. Aku... aku adalah ayahmu."
Fyra memalingkan wajahnya ke jendela, mengabaikan kata-kata Ramdan. Baginya, Ramdan tetaplah orang asing. Ia tidak merasa memiliki ikatan apa pun dengan pria itu. Dalam benaknya, keluarganya hanyalah Ummi, Abi, dan Kahfi.
"Jangan panggil aku Om terus," suara Ramdan tiba-tiba naik nada. "Aku ini papamu. Kamu harus panggil aku Papa."
"Enggak mau," jawab Fyra dengan tegas, suaranya bergetar oleh amarah. "Kamu bukan papa aku."
Ramdan semakin tersinggung. "Fyra, cukup. Kamu harus mulai memanggilku Papa. Aku ayahmu."
"Tidak!" Fyra membentak dengan keras, air matanya tumpah semakin deras. "Aku akan tetap panggil kamu Om. Kamu bukan ayahku!"
Pertengkaran itu membuat Ramdan kehilangan fokus. Saat ia masih berdebat dengan Fyra, ia tidak menyadari bahwa mobilnya telah bergerak terlalu dekat ke sisi jalan. Dalam sekejap, mobil itu oleng dan menabrak sebuah pohon di pinggir jalan dengan keras. Suara dentuman kuat memenuhi udara.
Brakkk!
Fyra menjerit kaget, tubuhnya terdorong ke depan meski terikat sabuk pengaman. Mobil itu berhenti mendadak, mesinnya mati. Ramdan terdorong ke setir, merasakan sakit di dada akibat benturan airbag. Untungnya, keduanya masih selamat.
"Astaghfirullah..." desah Ramdan sambil memegangi dadanya yang nyeri. Ia menoleh ke arah Fyra yang tampak terguncang di kursinya. "Kamu nggak apa-apa, Fyra?"
Fyra hanya diam, air matanya masih mengalir. Wajahnya pucat karena ketakutan. Dalam hatinya, dia merasa semakin takut dan ingin melarikan diri dari situasi ini.
Tak lama kemudian, Ramdan memutuskan untuk memperbaiki mobilnya di bengkel terdekat. Saat mobil sedang diperbaiki, Fyra melihat ini sebagai kesempatan untuk kabur. Ketika Ramdan sibuk berbicara dengan montir, Fyra pelan-pelan membuka pintu mobil dan berusaha melarikan diri.
Namun, langkah Fyra tidak cukup cepat. Ramdan yang menyadari bahwa Fyra mencoba kabur, segera mengejarnya. Dengan cepat, ia berhasil menangkap Fyra sebelum gadis itu bisa pergi lebih jauh.
"Fyra! Mau lari kemana kamu?" seru Ramdan, wajahnya merah karena amarah.
"Tolong, aku mau pulang!" Fyra menangis, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Ramdan.
Tapi Ramdan tidak mau menyerah. Ia tahu bahwa jika Fyra kabur sekarang, ia mungkin akan kehilangan putrinya selamanya. Tanpa berpikir panjang, Ramdan menutupi mulut Fyra dengan saputangan yang sudah dibasahi dengan cairan obat bius. Dalam hitungan detik, Fyra mulai kehilangan kesadaran, tubuhnya lunglai di tangan Ramdan.
"Aku terpaksa melakukan ini, Fyra. Kamu harus ikut denganku," bisik Ramdan lirih, meski hatinya terasa berat.
Setelah mobilnya selesai diperbaiki, Ramdan melanjutkan perjalanannya dengan Fyra yang masih pingsan. Beberapa jam kemudian, Fyra perlahan siuman. Ia merasa pusing dan kebingungan. Tubuhnya lemas, dan kepalanya terasa berat. Ia menatap Ramdan dengan mata penuh ketakutan.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Fyra dengan suara lirih. "Aku nggak mau ikut kamu."
Ramdan menatap Fyra dengan tegas melalui kaca spion. "Fyra, kamu harus menerima kenyataan. Mulai sekarang, kamu akan tinggal bersamaku. Kamu harus belajar menerimanya."
Fyra terdiam, menahan tangisnya yang sudah tidak bisa lagi ditahan. Ia merasa tak berdaya, sendirian, dan jauh dari keluarga yang ia kenal.
Ramdan melanjutkan dengan nada lebih keras. "Dan mulai sekarang, kamu bukan Fyra lagi. Nama asli kamu adalah Fatimah. Kamu harus mulai terbiasa dengan nama itu."
Fyra segera menolak, meskipun tubuhnya masih lemas. "Tidak! Nama aku Fyra. Aku mau tetap dipanggil Fyra."
Ramdan menghela napas panjang, merasa frustasi dengan perlawanan Fyra. Namun, ia akhirnya menyerah. "Baiklah... untuk sekarang, aku akan tetap memanggilmu Fyra. Tapi kamu harus tahu, nama aslimu adalah Fatimah."
Fyra tidak menjawab, hanya menatap keluar jendela dengan air mata yang mulai mengering. Ia merasa seperti kehilangan seluruh dunia yang ia kenal. Di dalam mobil itu, Fyra hanya bisa memikirkan satu hal, yaitu 'Kapan aku bisa pulang?'
KAMU SEDANG MEMBACA
LUMEN
Художественная прозаDalam dunia yang dipenuhi dengan bayang-bayang dan misteri, dua saudara kembar, Fyra dan Kahfi, terjebak dalam perjalanan penemuan jati diri yang penuh liku. Dibesarkan dalam keluarga yang memiliki harapan besar, mereka berdua menghadapi tekanan unt...