Saat Jeno membuka mata, pandangannya kabur, diiringi rasa sakit menusuk yang menghantam kepala dan dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, namun napas itu tak mampu menenangkan kegelisahan yang bergemuruh di dadanya. Kilasan-kilasan kejadian sebelum ia tak sadarkan diri—pemandangan basecamp yang porak-poranda, tubuh-tubuh yang bergelimpangan, dan... Jaemin yang hilang. Kesadaran itu menamparnya keras.
Jeno merasakan tangan Mark di bahunya, tapi tidak ada kehangatan yang biasa. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya dingin, seolah segala emosi yang tadi menyeruak telah membeku menjadi satu: amarah.
"Jeno..." Mark mencoba memanggilnya dengan suara pelan, hampir berbisik, namun Jeno tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Hanya tatapannya yang berubah tajam, penuh ketegasan yang nyaris tidak manusiawi. "Kita harus bicara soal rencana selanjutnya..."
Namun, sebelum Mark sempat melanjutkan, Jeno berdiri perlahan, merasakan perih di seluruh tubuhnya tapi tak mengindahkannya sedikit pun. Ia menatap sekeliling ruangan, menyadari bahwa mereka yang ada di sekitarnya adalah orang-orang yang tersisa, yang bertahan. Tetapi satu-satunya yang tidak ada adalah orang yang paling ingin ia lihat. Kehilangan itu kini mendorongnya seperti arus deras yang tak terbendung.
"Di mana mereka?" Suara Jeno terdengar datar, namun di baliknya ada nada berbahaya yang membuat Doyoung meneguk ludah. "Mereka yang membawa Jaemin," lanjutnya, tatapannya menelusuk tajam ke arah siapa pun yang ada di ruangan, menuntut jawaban.
Mark menunduk, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Kita belum tahu pasti. Mereka bergerak cepat, seperti sudah mempersiapkan ini sejak lama." Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Jeno berbalik menuju pintu.
"Jeno, kau tidak bisa pergi begitu saja!" sergah Mark, cemas. "Kita perlu rencana, strategi... Ini bukan hanya tentang—"
"Bagiku ini hanya tentang Jaemin," potong Jeno dengan nada dingin, tanpa menoleh ke belakang. "Aku tidak akan berhenti sampai menemukannya." Pandangannya penuh dengan amarah yang tak tersalurkan.
Jeno berjalan dengan langkah berat menuju basemen terendah yang tersembunyi di balik koridor yang nyaris tidak pernah dilewati. Beberapa anggota mengikutinya dari belakang, wajah mereka tampak tegang namun penuh kesadaran bahwa mereka akan memasuki wilayah yang jarang tersentuh. Mark berjalan di sampingnya, tak berkata apa-apa, hanya sesekali menatap Jeno dengan perasaan khawatir yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu ke mana mereka akan menuju, dan niat Jeno sudah terlalu jelas untuk dihalangi.
Sesampainya di depan dinding kosong, Jeno menyentuh salah satu sisi dinding dengan pola khusus, memicu munculnya lorong baru yang hampir tidak terlihat terbuka perlahan. Begitu ruangan tersembunyi itu tersingkap, cahaya biru dari lampu-lampu dalam ruangan luas itu menyinari rak-rak berisi senjata canggih dan perlengkapan lain yang selama ini mereka kembangkan secara rahasia.
Hanya beberapa orang yang terlibat yang mengetahui tempat ini—ruang yang penuh dengan teknologi dan persenjataan yang mereka buat untuk situasi darurat. Seharusnya, ruangan ini hanya diakses dengan rencana matang, tapi Jeno seolah mengabaikan setiap protokol dan aturan yang pernah mereka tetapkan. Tanpa ragu, ia segera meraih berbagai alat yang dibutuhkannya: rompi antipeluru, pisau tempur, dan senjata berteknologi tinggi yang baru saja mereka uji beberapa waktu lalu. Semua senjata diambilnya dengan kesadaran penuh bahwa misi ini bukan lagi misi biasa.
Yang lain, satu per satu, mulai mengikutinya. Mark mengambil earbud khusus yang dilengkapi dengan komunikasi satelit, sementara Doyoung memasang perangkat pelacak. Tatapan mereka saling bertemu dalam keheningan penuh makna—tidak ada kata-kata yang diperlukan. Mereka semua tahu bahwa apa pun yang menanti mereka di luar sana bukanlah sekadar misi penyelamatan, melainkan perjuangan mati-matian untuk merebut kembali seseorang yang sangat berarti bagi Jeno.
Tanpa menoleh atau peduli dengan persiapan yang dilakukan oleh anggota lain, Jeno selesai menyiapkan perlengkapannya. Pandangannya penuh amarah yang tertahan, matanya memancarkan determinasi tajam, tanpa satu pun keraguan. Ini bukan lagi tentang misi atau aturan; ini adalah tentang membalas orang-orang yang telah mencuri Jaemin dari mereka.
***
Jaemin tersadar dengan rasa sakit di belakang lehernya. Kepalanya berdenyut, seolah setiap detak jantungnya menambah beban di dalam otaknya. Ia mengerjap, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan ruangan yang dipenuhi cahaya di sekitarnya. Ketika matanya terbiasa, ia menyadari bahwa ia terjebak dalam sel yang terbuat dari bahan semacam kaca disekelilingnya namun hanya yang didepannya yang terbuat dari kaca transparan. Suara berderak dan desah nafas terhalang menggema di dalam sel sempit itu.
Cahaya yang menyilaukan menyelimuti pikirannya, tetapi saat matanya berfokus pada sel di seberangnya, ia tertegun. Di sana, ia melihat dua sosok yang sangat dikenal: Jaehyun dan Johnny. Tubuh mereka terkulai dengan rantai besi yang di setiap pergelangan mereka, penuh luka dan tanda-tanda perjuangan. Jaehyun terbaring dengan wajah pucat, darah mengalir dari luka di kepalanya, sementara Johnny tampak tak sadarkan diri, terluka parah dengan pakaian yang sobek.
"Jaehyun! Johnny!" Jaemin berusaha berteriak, tetapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan lemah, teredam oleh tembok sel yang dingin. Panik mulai merayap ke dalam dirinya. Bagaimana mereka bisa terjebak di sini? Kenapa mereka semua bisa ada di tempat ini?
Dengan sisa-sisa tenaganya, Jaemin mencoba berdiri, tetapi rasa sakit yang tajam membuatnya terjatuh kembali ke lantai. Ia merasa putus asa, tubuhnya gemetar dan hatinya berdebar kencang. Tidak ada jalan keluar yang terlihat, dan waktu seolah berhenti dalam kegelapan.
Dia berusaha mengingat bagaimana semuanya bisa terjadi, potongan-potongan ingatan berkelebat di benaknya—pertarungan, suara tembakan, dan semua yang terjadi sebelum ia pingsan. Di dalam kesunyian itu, ia merindukan kehadiran Jeno, sosok yang selalu menjadi pelindungnya. Keberadaan Jeno memberikan ketenangan yang kini lenyap.
"Jeno..." gumamnya pelan, berdoa agar temannya bisa mendengarnya, berharap agar Jeno bisa menemukan mereka dan membawa mereka kembali.
Jaemin menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosinya. Tidak, ia tidak bisa menyerah. Dia harus menemukan cara untuk melarikan diri, untuk menyelamatkan Jaehyun dan Johnny. Namun, bagaimana bisa melakukannya dalam keadaan seperti ini?
Jaemin mulai memperhatikan ruangan di sekelilingnya yang terasa hampa dengan pamandangan dinding putih dan cahaya lampu yang menerangi setiap sudutnya. Ia mendapatkan kesan seakan berada di dalam ruangan laboratorium steril.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat dari luar sel. Jaemin menahan napas, berharap itu adalah Jeno atau anggota tim lainnya. Dia berusaha merasakan keberadaan mereka, menunggu dengan penuh harap. Tetapi saat pintu sel dibuka, harapannya hancur berkeping-keping ketika sosok asing muncul, menyeringai dengan niat jahat.
To Be Continued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ya^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Bond IN Bondage S2 || Nomin~
Fanfic"Take one more step and I swear I'll kill you." Ujar Jaemin dengan raut wajah tenang namun membawa nafsu membunuh di matanya. "Be good and I'll bring you to Cloud Nine." Ujar Jeno. _BXB _Boys Love _Hardcore _BDSM _Torture _Punishment _Thriller BUKAN...