Setelah hari itu, Jaemin memang tidak lagi menghindari Jeno, tetapi jarak di antara mereka tetap terasa tegang. Meski begitu, ia mulai menerima permintaan maaf dari anggota tim lainnya yang menyesali tindakan mereka. Satu per satu mereka datang, dengan wajah penuh penyesalan, dan Jaemin, dengan ekspresi tenang yang tidak lagi dipenuhi kehampaan, mendengarkan.
Suaranya kembali, meskipun tidak seperti dulu—ringan dan sering kali hanya sepatah dua patah kata. Namun, ia bicara, dan itu membuat orang-orang di sekitarnya sedikit lebih lega.
Meski begitu, setiap kali matanya tertuju pada punggung Jeno, Jaemin merasa dadanya sesak. Punggung yang dulu kuat, yang biasa ia andalkan, kini penuh luka yang masih tampak merah dan menyakitkan.
Cambuk yang digunakannya saat itu bukan sembarang cambuk—serat logam perak yang tertanam di dalamnya membuat setiap goresan terasa dalam dan membekas. Luka-luka yang ditinggalkan lebih parah dibandingkan dengan luka-luka biasa, seperti peluru yang pernah mengenai tubuh Jeno dan bisa sembuh dengan cepat. Ini berbeda, lebih brutal, lebih menyakitkan.
Setiap kali Haechan membantu membersihkan luka-luka Jeno, Jaemin selalu ada di sana. Ia berdiri sedikit jauh di belakang, hanya menonton tanpa sepatah kata pun. Ia melihat setiap gerakan Haechan dengan cermat, perban yang dibuka, darah kering yang melekat pada kulit Jeno, dan goresan merah dalam yang masih belum sepenuhnya sembuh.
Jeno selalu tenang, tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika cambuk itu menghantam tubuhnya, Jaemin tak pernah mendengar satu pun keluhan atau rintihan keluar dari mulutnya.
Ada dorongan dalam diri Jaemin yang semakin hari semakin kuat, sebuah nafsu kecil untuk meraih punggung Jeno yang penuh luka itu. Keinginan untuk memeluknya, mungkin sebagai bentuk penyesalan, atau mungkin hanya untuk merasakan bahwa Jeno masih ada, masih hidup meskipun ia telah menyakitinya.
Namun, setiap kali perasaan itu muncul, Jaemin menahannya. Ia tidak punya keberanian untuk melakukannya. Semua luka yang menghiasi punggung Jeno adalah akibat perbuatannya sendiri, dan meskipun Jeno tak pernah menunjukkan kebencian atau marah, Jaemin tidak bisa memaafkan dirinya dengan mudah.
***
Meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya, Jeno tidak punya pilihan ketika sinyal darurat tiba. Di layar ruang kontrol, indikator dari Mark dan Jaehyun mengirimkan stress signal dari insignianya. Jeno, yang sedang beristirahat di kamarnya, segera diberitahu oleh Haechan, yang memantau situasi dari ruang kontrol.
"Jeno, ini tidak bisa diabaikan. Komunikasi mereka terputus dan tiba-tiba insignia mereka mengirimkan sinyal bahaya, ada yang tidak beres dalam misi mereka." kata Haechan, wajahnya tegang.
Tanpa berpikir panjang, Jeno meraih senjatanya, meskipun setiap gerakan mengingatkan dia akan luka-lukanya yang belum sembuh. Punggungnya terasa perih, tetapi saat ini bukan waktunya memikirkan dirinya sendiri. Ada hal yang lebih mendesak. Jeno bergerak cepat ke ruang kontrol, dan di sana, layar menunjukkan lokasi Jaehyun dan Mark yang sedang terjebak di suatu area dengan sinyal bahaya yang semakin tinggi.
"Berapa orang yang bisa kita kirim?" tanya Jeno, suaranya penuh ketegasan.
"Kita harus cepat. Kalau tim lain terpecah, bisa bahaya juga buat yang lain," jawab Haechan yang sudah berdiri di sampingnya, wajahnya serius.
"Aku akan pergi," kata Jaemin tiba-tiba. Semua mata segera tertuju padanya.
Saat Jaemin menyatakan keinginannya untuk ikut, Jeno langsung menatapnya dengan tajam. Di tengah ketegangan misi yang mendesak, Jeno tetap memperhatikan setiap detail, dan ia tahu Jaemin belum siap untuk situasi penyusupan cepat seperti ini.
"Jaemin, kamu belum dilatih untuk ini," ujar Jeno tegas, suaranya tak memberi ruang untuk perdebatan. "Ini bukan misi yang bisa dihadapi tanpa persiapan. Aku nggak bisa mengambil risiko lebih besar."
Jaemin membuka mulut, tampak ingin membantah, namun Jeno sudah memotongnya lagi. "Aku tahu kamu mau bantu, tapi kali ini kamu harus tetap di basecamp. Kalau kamu ikut, itu bukan cuma membahayakan kamu, tapi juga yang lainnya."
Ada keheningan yang menggantung di udara sejenak. Jaemin tampak bergulat dengan perasaannya, tapi akhirnya ia menunduk, menahan diri. Ia tahu Jeno benar. Meski keinginannya untuk membantu sangat besar, ia tidak bisa bohong bahwa ia sendiri sadar bahwa keberadaannya hanya akan menjadi hambatan untuk Jeno yang masih kesulitan bergerak karena lukanya.
Jeno berbalik kepada tim kecil yang sudah ia pilih—Jhonny dan Doyoung—mereka bersiap dengan segala peralatan tempur yang minimalis namun efisien. Tanpa berkata banyak lagi, Jeno hanya memberi pandangan terakhir kepada Jaemin sebelum mereka bergegas keluar dari basecamp.
Jaemin hanya bisa berdiri di tempat, menyaksikan Jeno dan timnya pergi, meninggalkan dirinya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia tahu Jeno melindunginya. Di sisi lain, ada rasa frustrasi yang tidak bisa ia bendung—rasa tak berdaya karena ia harus tinggal di belakang, saat orang yang paling ia pedulikan pergi dengan luka-luka yang belum sembuh sepenuhnya.
Jeno, meski sadar dengan perasaan Jaemin, tak menoleh lagi. Ia harus fokus pada misi, pada keselamatan Jaehyun dan Mark. Dan meskipun tubuhnya masih terasa sakit dengan setiap langkah, ia terus maju.
To be Continued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ya^^
![](https://img.wattpad.com/cover/240465082-288-k699540.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bond IN Bondage S2 || Nomin~
Fiksi Penggemar"Take one more step and I swear I'll kill you." Ujar Jaemin dengan raut wajah tenang namun membawa nafsu membunuh di matanya. "Be good and I'll bring you to Cloud Nine." Ujar Jeno. _BXB _Boys Love _Hardcore _BDSM _Torture _Punishment _Thriller BUKAN...