47 - Agony

260 43 13
                                    


Jeritan Jeno menggema di seluruh ruangan, menyayat kesunyian yang mencekam basecamp. Suara itu penuh dengan keputusasaan yang membuat Mark dan Doyoung berhenti, membiarkan Jeno meluapkan kepanikannya. Meski tak ada yang menanggapi teriakannya, Jeno terus berlari, membuka setiap pintu yang ia temui, mengabaikan rasa sakit yang semakin menusuk di tubuhnya.

Saat ia menembus koridor terakhir, langkahnya melambat saat menyadari kondisi ruangan-ruangan di sekitarnya yang hancur total. Salah satu pintu yang setengah terbuka mengungkapkan sebuah ruangan kecil dengan dinding penuh bercak darah dan peralatan yang hancur berantakan.

Detik itu, Jeno merasa keberaniannya runtuh. Namun, ia memaksakan kakinya untuk melangkah masuk. Di sudut ruangan, ia melihat sesuatu yang membuat dadanya serasa berhenti berdetak—sepotong kain familiar yang pernah dikenakan Jaemin. Kain itu robek dan kotor, dengan bekas darah yang telah mengering. Meski kecil, benda itu cukup untuk mengguncang seluruh dirinya.

Mark yang mengikuti Jeno juga memindai setiap wajah yang ia lihat, dalam hati ia sendiri penuh kecemasan setelah melihat Jeno yang tidak menemukan Jaemin. Tiba-tiba, Mark berhenti, pandangannya tertuju pada sudut gelap di dekat dinding yang tergores bekas tembakan. Di sana, ia melihat sosok yang dikenalnya begitu baik—Haechan, tubuhnya terbaring di lantai dengan napas yang tersendat-sendat.

"Haechan!" teriak Mark, suaranya pecah antara lega dan ketakutan. Ia langsung berlari ke arah Haechan, lalu berlutut di sampingnya, menggenggam bahunya pelan. Haechan membuka matanya, dan senyum kecil terukir di wajahnya, meski tubuhnya terlihat lemah dan penuh luka.

"Mark...?" bisik Haechan, suaranya hampir tak terdengar. Mark menelan ludah, menahan air mata yang mulai memenuhi matanya.

"Ya, ini aku, Haechan," jawab Mark dengan suara pelan tapi penuh harap. "Kau aman sekarang. Apa kau bisa berdiri?"

Namun, Haechan hanya menutup matanya sejenak, seakan menenangkan dirinya. "Jaemin... mereka bawa dia," katanya di antara napas yang berat. "Aku mencoba... tapi aku terlambat." Matanya menatap Mark dengan keputusasaan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.

Jeno yang berada di belakang Mark ikut mendengar kata-kata Haechan, dan seketika itu tubuhnya membeku. Dunia seakan berhenti berputar baginya. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Jaemin yang hilang, tertinggal di tangan orang-orang yang berniat jahat. Mark, merasakan kepanikan Jeno, mencoba menenangkan Haechan.

Kata-kata Haechan berputar di kepalanya—Jaemin sudah dibawa pergi. Dunia di sekitarnya seakan runtuh, dan rasanya sepi; hanya suara napasnya yang terengah-engah, berusaha mencari udara yang semakin menipis.

Mark memperhatikan Jeno yang semakin kacau. "Jeno, tenang. Kita akan menemukannya," ujar Mark pelan, mencoba menjangkau Jeno yang seakan tak mendengar apa pun di sekitarnya. Tapi, Jeno hanya terdiam, tubuhnya mulai bergetar, napasnya tak beraturan, dan tangannya mencengkeram dadanya.

Perasaan bersalah, takut, dan marah bercampur dalam dirinya, menggerogoti kewarasan yang masih tersisa. Pikirannya dipenuhi oleh Jaemin—bayangan senyuman, suara, dan sorot mata Jaemin yang penuh semangat. Bagaimana jika ia tak bisa menyelamatkannya? Bagaimana jika... Jaemin terluka, atau lebih buruk lagi?

Dadanya terasa semakin sesak, dan napasnya terdengar semakin terputus-putus. Ia mulai kehilangan kendali, tubuhnya terasa ringan namun tetap terbelenggu oleh bayangan buruk yang tak terhitung. Setiap inci dirinya seolah berteriak untuk bertindak, tapi tubuhnya seakan tak mampu bergerak.

Doyoung mendekat, menatap Jeno dengan penuh kekhawatiran. "Jeno, dengar aku. Kau harus tenang." Tapi Jeno terus terengah-engah, tatapan matanya mulai buram, dan air mata tak terbendung jatuh membasahi wajahnya. Ia jarang menangis, namun rasa sakit itu kini menyeruak, tak bisa ia tahan lagi.

Mark mendekat setelah diisyaratkan oleh Haechan bahwa ia tidak apa-apa, memegang kedua bahu Jeno, mencoba menahannya. "Jeno! Fokus pada napasmu," ucapnya tegas namun lembut. Tapi Jeno tak merespons, matanya menerawang, seolah terjebak dalam ketakutan yang tak berujung.

Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat, penuh dengan kekosongan yang menghimpit. Perlahan, Jeno mulai terisak, suara yang nyaris tak terdengar namun penuh dengan kepedihan mendalam. "Kenapa... aku tak bisa melindunginya?" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Rasa bersalah menyelubungi dirinya, menghancurkan sisa-sisa ketegaran yang selama ini ia bangun.

Jeno terisak, setiap helaan napas terasa menyakitkan, seolah-olah dadanya tertindih beban yang tak terlihat namun begitu menyesakkan. Suasana di sekitar seakan berhenti—hanya ada suara napasnya yang tersengal, semakin cepat, semakin berat. Mark dan Doyoung hanya bisa memandangnya dengan penuh kecemasan, tapi Jeno tak lagi peduli; dunianya kini hanya diisi oleh bayangan Jaemin yang kini jauh dari jangkauannya.

Wajah Jaemin yang terakhir kali ia lihat muncul dalam pikirannya. Bayangan itu begitu nyata—sorot mata Jaemin yang penuh kemarahan, bekas luka yang belum pulih, dan... air mata yang tertahan. Jeno tak mampu menahan rasa sakit yang mengiris hatinya setiap kali mengingat kejadian itu, bagaimana Jaemin menatapnya dengan luka di wajahnya, sambil tetap diam menahan kemarahan yang jelas terlukis di wajahnya. Dan yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Jeno bahkan tak punya kesempatan lagi untuk meminta maaf.

Napasnya semakin cepat dan pendek. Kesadarannya seolah kabur, tertelan oleh rasa sesal yang begitu mendalam. "Jaemin... Aku bahkan belum sempat...," gumam Jeno dengan suara parau, setiap kata terasa berat dan tersangkut di tenggorokannya.

"Jika saja aku tidak pergi begitu saja... Jika saja aku memohon, mengakui bahwa semua ini salahku," batinnya berteriak, memukul-mukul kesadarannya yang kian lemah. Ia sadar, begitu jelas, bahwa ia telah mengabaikan luka Jaemin, membiarkan jarak dan kesalahpahaman menghancurkan hubungan mereka yang dulu tak tergoyahkan.

Mark mencoba menenangkannya, menggenggam bahu Jeno dengan lembut, tapi sentuhan itu hanya membuat Jeno semakin sadar betapa rapuhnya keadaan saat ini. Tanpa bisa dikendalikan, tubuh Jeno menggigil hebat. Napasnya memburu, seolah paru-parunya tak bisa lagi menampung udara yang ia hirup dengan panik. Rasa penyesalan bercampur ketakutan menggerogoti hatinya.

Perasaan hampa yang dulu tak pernah ia sadari kini menyergap dengan kejam. Bayangan Jaemin tertawa, Jaemin yang menatapnya dengan hangat, Jaemin yang bersamanya menghadapi setiap tantangan kini seperti hantu yang terus meneror pikirannya. Di balik semua ini, Jeno tahu—mungkin ia telah kehilangan kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki segalanya.

Hati Jeno remuk. Napasnya tersengal-sengal, matanya liar mencari tanda, harapan kecil bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk. Tapi semua yang dilihatnya adalah realitas yang menghantam tanpa ampun: Jaemin tak ada di sini.

Hingga Jeno akhirnya jatuh tak sadarkan diri akibat shock dari hyperventilation-nya.


To be Conitnued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ya^^

Bond IN Bondage S2 || Nomin~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang