5 | Tidak Percaya

276 39 126
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Setibanya mereka di Bandara Abdulrachman Saleh, mereka langsung menaiki mobil yang dibawa oleh Tirta dan sopirnya. Tirta sengaja menjemput mereka bertujuh secara langsung di bandara. Ia berniat langsung membawa mereka ke rumah korban, agar bisa berkomunikasi dengan keluarga korban secepatnya. Perjalanan dari bandara menuju rumah korban terasa cukup lama. Jarak yang lumayan jauh dan akses yang agak sulit harus dilalui, agar bisa sampai ke tujuan. Samsul terus menggenggam tangan Ruby. Perasaannya kali itu terasa sedikit tidak tenang. Bahkan Karel dan Nadin yang biasanya selalu berwajah santai pun, kali ini sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. Seakan ada yang mengganjal dalam hati mereka masing-masing.

"Apakah menurutmu memang Banaspati, setan yang kali ini akan kita hadapi, Sayang?" tanya Ruby, sengaja berbisik.

"Kalau Nadin dan Karel berpikiran seperti itu, maka kemungkinan besar bisa saja hal tersebut adalah benar. Tapi karena kita belum mendapatkan petunjuk sama sekali, maka Karel maupun Nadin tidak bisa menegaskan kecurigaan mereka secara terang-terangan. Mereka jelas takut kalau hal itu akan menyesatkan kita saat sedang menyelidiki," jawab Samsul, ikut berbisik.

Ia merangkul Ruby dengan tenang, berharap bisa menentramkan hatinya sebelum berhadapan dengan pekerjaan. Ia menoleh ke arah para sahabatnya setelah itu. Ia ingin memastikan, bahwa semuanya sudah siap untuk menghadapi apa pun yang harus dihadapi sebentar lagi.

Ketika mobil milik Tirta berhenti di pinggir jalan yang tak jauh dari sebuah gang, mereka segera turun dan mengikuti langkah pria paruh baya tersebut. Barang-barang mereka dikeluarkan dari mobil, lalu dibawa menuju ke penginapan yang sudah Tirta siapkan sebelumnya.

"Silakan simpan dulu barang-barang kalian di kamar yang sudah disiapkan oleh pihak penginapan. Saya akan tunggu di sini, baru setelah itu kita sama-sama pergi ke rumah korban yang ada di gang samping penginapan ini," ujar Tirta.

"Baik, Pak Tirta. Sebelumnya, terima kasih karena telah menyiapkan semuanya termasuk kamar untuk kami menginap," ucap Ruby, mewakili yang lainnya.

"Sama-sama, Mbak Ruby."

Semuanya segera menyimpan barang di kamar masing-masing. Hanya Iqbal dan Nadin serta Samsul dan Ruby yang memakai satu kamar bersama, karena mereka kini telah resmi menjadi suami-istri. Siomay, Pangsit, dan Tumpeng dilepaskan di dalam kamar oleh Karel, Revan, dan Samsul. Para kucing dan angsa itu langsung memilih berdiam di atas tempat tidur ataupun sofa, karena tahu bahwa mereka tidak akan dibawa oleh para pemiliknya. Setelah semuanya selesai, mereka kembali berkumpul di bawah untuk menemui Tirta yang sudah menunggu.

"Mari, kita langsung ke rumah korban," ajak Tirta.

Mereka berjalan beriringan di tepi jalan. Gang yang mereka lewati cukup sempit. Hanya bisa dilewati oleh dua orang serta satu motor, jika ada motor yang hendak melintas. Jika ada dua motor dari dua arah berlawanan, maka salah satunya harus mengalah dan memberi jalan agar ada yang bisa melaju lebih dulu. Rumah korban tampak masih ramai oleh beberapa orang pelayat. Tirta segera diberi jalan saat keluarga korban menyadari kedatangannya. Ketujuh orang yang ikut dengannya juga segera disambut, karena kemungkinan Tirta telah menjelaskan bahwa akan ada tim khusus yang menyelidiki kematian korban. Para pelayat segera membubarkan diri, karena tahu bahwa akan ada penyelidikan lanjutan terhadap kematian korban.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Pak Tirta. Silakan masuk, Pak."

Tirta duduk lebih dulu di atas permadani yang sudah tergelar sejak tadi. Karel mengikuti langkahnya, lalu disusul oleh yang lain sehingga kini mereka duduk melingkar di sekeliling permadani tersebut. Istri korban menyajikan minuman dan membuka semua toples cemilan yang ada di tengah-tengah permadani. Anak perempuan korban--yang duduk tak jauh dari permadani--saat itu terlihat murung dan kelihatannya sama sekali tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Istri korban pun akhirnya duduk di permadani, namun agak terpisah jauh dari mereka.

"Bu Tijah, perkenalkan ... ini adalah tujuh orang anggota tim khusus yang saya undang untuk menyelidiki kematian Pak Irman. Karena kematian Pak Irman sampai saat ini belum diketahui apa penyebabnya, maka saya akan menyerahkan penyelidikan kepada mereka. Beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang bisa melihat makhluk halus. Jadi jika memang kematian Pak Irman ada sangkut pautnya dengan ...."

"Banaspati!" potong anak korban, secara tiba-tiba. "Sudah aku bilang Bapak dibunuh oleh banaspati! Kenapa enggak ada yang mau percaya?"

"Hush! Asni! Tenang dulu! Jangan teriak-teriak begitu, Nak. Enggak sopan," cegah Tijah.

Reva dan Ruby segera bangkit dari permadani. Keduanya menghampiri gadis bernama Asni yang sedang histeris tersebut.

"Jangan dicegah, Bu," pinta Karel. "Biar saja jika anak Ibu ingin mengatakan sesuatu. Kami akan mendengarkan."

"Tapi, Mas ...."

"Tidak apa-apa, Bu. Lebih banyak kami bisa mendapat informasi, maka pekerjaan kami akan semakin mudah," tambah Revan, berusaha meyakinkan Tijah.

Ruby mengusap lembut rambut Asni untuk menenangkannya. Reva mengeluarkan tisu untuk membantu gadis itu menyeka airmata yang membasahi wajahnya sejak tadi. Asni masih menangis, namun kini mulai tidak sehisteris sebelumnya. Hal itu mungkin terjadi karena akhirnya ada yang mau mendengarkan dirinya, meski kedengarannya memang agak aneh bagi yang tidak terbiasa berurusan dengan makhluk halus.

"Kamu mau cerita, Dek, tentang apa yang kamu lihat pada malam kejadian?" tanya Ruby, sangat lembut.

Asni pun mengangguk. Reva mengambil air dari dalam ranselnya, lalu mendoakannya sebelum memberikan air itu kepada Asni untuk diminum. Asni menerimanya dan meminum air itu hingga habis setengah botol. Keadaannya menjadi sangat tenang, setelah minum air yang Reva doakan.

"Pelan-pelan saja ceritanya, Dek. Kami punya banyak waktu untuk mendengarkan kamu di sini," ujar Reva, meyakinkan Asni bahwa dirinya akan didengarkan sampai tuntas.

Tijah bingung harus berkata apa. Ia benar-benar tidak percaya kalau makhluk halus adalah penyebab kematian suaminya, meski suaminya meninggal secara mengenaskan akibat terbakar pada seluruh tubuhnya. Ia juga tidak percaya, kalau Asni melihat banaspati sebelum suaminya meninggal akibat terbakar. Ia selalu menekankan, bahwa hal-hal itu hanya legenda atau cerita rakyat. Bukan hal yang harus dipercayai.

"Enggak usah banyak ngarang kamu, Nak! Ibu kesal sekali, loh, karena kamu terus saja bicara soal banaspati padahal Bapakmu baru saja meninggal! Setan itu enggak ada! Setan itu enggak perlu dipercaya keberadaannya!" Tijah memilih meluapkan emosinya.

"Oh ... jadi ini perkaranya Bu Tijah sama sekali enggak percaya, kalau makhluk halus bisa mencelakai manusia, ya? Mau bukti, Bu, kalau makhluk halus itu ada dan bisa dimintai tolong untuk mengganggu manusia?" tawar Iqbal.

Tijah menatap heran ke arah Iqbal. Selama ini Tijah tidak pernah dibantah jika sudah bicara tegas soal rasa tidak percayanya pada makhluk halus. Baru kali ini ia justru mendapat tanggapan seperti bagaimana Iqbal menanggapi, serta diberi tawaran yang cukup aneh.

"Jangan bantah kalau orangtua bicara. Kamu itu masih muda, loh, Mas. Harusnya kamu juga lebih percaya saya daripada percaya sama ...."

"Nyai Murti," panggil Iqbal. "Tolong berikan sedikit fakta pada Ibu di hadapanku ini tentang keberadaanmu."

"HI ... HI-HI-HI-HI-HI-HI-HI-HI-HI-HI!!!"

SREETT~ BRAKKK!!!

Wajah Tijah pun memucat seketika.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang