13 | Informasi Baru

553 70 11
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Semua orang jelas kaget, setelah mendengar yang Nuril katakan saat itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau akan ada benang merah di antara Nuril dan Giman melebihi yang bisa dipikirkan.

"Jadi ... Mas Nuril mengenal anaknya Pak Giman?" Samsul ingin memastikan.

"Ya. Saya kenal Fadil. Dia anak yang supel dan cerdas. Dia selalu mendapat nilai yang bagus dalam mata pelajaran apa pun. Terakhir saya bertemu dia adalah saat kenaikan kelas. Dia seharusnya sudah kelas tiga saat itu, tapi sayang kami hanya mendapat berita kematiannya dan tidak bisa datang melayat. Kami tidak tahu rumahnya dan alamat pada biodata siswa saat itu tidak lengkap. Saya juga tidak pernah bertemu dengan Bapaknya. Karena setiap kali ambil rapor, hanya Ibunya yang datang ke sekolah. Saya baru tahu hari ini, kalau ternyata Pak Giman adalah Bapaknya Fadil," jelas Nuril.

"Lalu kapan tepatnya Mas Nuril kenal dengan Pak Giman, jika saat Fadil masih hidup kalian tidak pernah bertemu?" Reva ingin tahu.

"Sekitar tahun dua ribu tiga belas, Mbak. Waktu itu saya baru menikah dan Istri saya memang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Kronong. Saya kenal Pak Giman di sana, karena waktu itu Pak Giman juga punya lapak yang dipakainya berjualan sate kambing. Pak Giman benar-benar jarang akrab dengan orang lain, menurut istri saya saat itu. Jadi saat melihat saya yang bisa cepat akrab dengan Pak Giman, Istri saya pun agak kaget."

Ruby langsung memahami sesuatu. Ia mendekat pada Samsul dan mengusap pundak suaminya dengan lembut.

"Mungkin Pak Giman sudah tahu sejak awal, kalau Mas Nuril adalah Guru yang pernah mengajar anaknya saat masih hidup. Maka dari itulah, saat bertemu dengan Mas Nuril dia bisa langsung akrab. Dengan kata lain, Pak Giman hanya ingin berada di dekat seseorang yang pernah mengenal anaknya semasa hidup. Dia tidak benar-benar ingin kehilangan anaknya. Hanya terpaksa saja mengorbankan, karena ingin menjadi pemelihara banaspati," ujar Ruby.

"Ya. Itu terdengar cukup masuk akal sekarang. Pak Giman tahu kalau Mas Nuril adalah mantan Guru yang pernah mengajar anaknya, meski Mas Nuril tidak pernah mengenal Pak Giman saat Fadil masih hidup," Karel setuju dengan pemikiran Ruby.

Tirta pun bangkit dari tempatnya berjongkok sejak tadi. Ia menatap ketujuh anggota tim yang ada di hadapannya saat itu. Nuril masih berupaya menenangkan diri, meski tatapnya masih tertuju pada prasasti kecil di pekarangan rumah itu.

"Jadi, apa langkah yang akan kalian ambil selanjutnya? Pak Giman tidak ada di rumah ini dan tampaknya dia sudah lama pergi. Apakah kira-kira kita masih bisa menemukan keberadaannya?" tanya Tirta.

"Kami akan mencoba bertanya pada warga sekitar sini, Pak. Siapa tahu ada orang yang bisa memberikan informasi soal keberadaan Pak Giman saat ini," jawab Ruby.

Mereka akhirnya kembali keluar dari area rumah Giman. Menatap ke arah kanan, kiri, dan depan, lalu menyadari kalau rumah itu sangat jauh dari rumah-rumah warga yang tinggal di sana. Mau tidak mau, akhirnya mereka berpencar agar bisa menghemat waktu saat mencari informasi. Karel pergi bersama Revan dan Nadin, sementara Ruby pergi bersama Reva, Samsul, dan Iqbal. Tirta dan Nuril memilih untuk menunggu di mobil. Selain karena Nuril butuh waktu untuk menenangkan diri, Tirta juga tidak mau melibatkan Nuril terlalu jauh dalam pencarian keberadaan Giman.

"Assalamu'alaikum. Permisi, Pak. Boleh kami numpang tanya?" Karel meminta izin.

"Wa'alaikumsalam, Mas. Monggo, mau bertanya apa?"

"Itu, Pak. Apakah Bapak tahu ke mana pindahnya pemilik rumah yang banyak alang-alangnya itu?" tanya Karel, seraya menunjuk ke arah rumah milik Giman.

Wajah Bapak itu mendadak berubah, saat tahu siapa yang sedang dicari oleh Karel. Revan dan Nadin juga menyadari perubahan ekspresi Bapak itu. Hanya saja, mereka memilih tetap diam dan menyerahkan semuanya pada Karel.

"Oh, saya enggak tahu, Mas. Saya enggak kenal."

"Oh, Bapak tidak kenal rupanya. Kalau begitu terima kasih, ya, Pak. Mari, kami permisi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Karel.

"Iya, Mas. Wa'alaikumsalam."

Ruby tiba di sebuah warung yang tak jauh dari rumah milik Giman. Iqbal dan Samsul mengawasi keadaan sekitar, sementara Reva kini mendampingi Ruby bertanya pada pemilik warung.

"... yang itu, Bu. Rumah yang rumputnya lumayan tinggi," tunjuk Ruby.

Lagi-lagi, wajah orang yang ditanya langsung berubah dalam sekejap. Reva dan Ruby sama-sama menyadari perubahannya. Namun mereka tetap berbaik sangka, karena mungkin Ibu pemilik warung itu tidak pernah ditanya soal keberadaan Giman sebelumnya.

"Aduh, maaf Mbak. Saya kurang tahu. Saya enggak kenal dengan pemilik rumah itu."

"Oh, Ibu enggak kenal rupanya. Kalau begitu terima kasih atas waktunya, Bu. Mari, kami permisi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Reva.

"Wa'alaikumsalam. Iya, Mbak. Hati-hati di jalan."

Ketujuh anggota tim itu akhirnya berkumpul kembali setelah mendatangi lima rumah dari bagian kanan dan kiri arah rumah Giman. Semuanya mengatakan tidak tahu dan tidak kenal dengan Giman. Padahal raut wajahnya mereka mengatakan sebaliknya. Entah kenapa mereka memilih menjawab begitu. Kemungkinan, ada hal yang mereka hindari dan itu ada hubungannya dengan Giman.

Saat mereka hampir putus asa, seseorang mendekat diam-diam ke arah mereka sambil terus mengawasi situasi sekitar. Orang itu tampaknya tidak mau ketahuan telah memberi informasi soal Giman oleh warga sekitar. Jadi hanya dengan cara mendekat diam-diam seperti itulah akhirnya dia mendekat pada mereka.

"Pak Giman sudah pindah dari rumah itu. Kalaupun dia mau kembali, rasanya keberadaan dia hanya akan memperburuk suasana di kampung ini."

"Kenapa bisa begitu, Pak? Apa yang terjadi sebelum Pak Giman pindah?" tanya Revan.

"Pak Giman mengamuk dalam rumahnya sendiri. Entah dia mengamuk pada siapa, kami tidak tahu. Intinya malam itu rumahnya terlihat seperti terbakar dari dalam, padahal sama sekali tidak ada yang terbakar. Setelah ditunggu-tunggu oleh kami semua, ternyata api yang kami lihat di dalam rumah Pak Giman itu adalah banaspati. Banaspati itu terbang menjauh dari rumah Pak Giman, lalu Pak Giman keluar dari rumahnya dan pergi dari sini. Dia enggak pernah kembali lagi sejak saat itu."

"Bapak tahu, ke mana pindahnya Pak Giman?" Nadin ikut mengajukan pertanyaan.

"Saya pernah lihat dia dua bulan lalu secara tidak sengaja. Sepertinya dia tinggal di Sumber Wetan, Kedopok."

Nuril mendengar semua itu dari dalam mobil, karena Tirta sengaja membuka kaca jendelanya sejak tadi selama menunggu. Hal itu membuatnya langsung merespon dengan perubahan ekspresi pada wajah secara terang-terangan.

"Sumber Wetan itu dekat dengan rumah Pak Firdaus. Dia salah satu penjual sate kambing yang juga berjualan di tempat wisata baru," ujar Nuril.

"Dan Pak Firdaus adalah calon korban lain yang tadi gagal ditandai oleh banaspati. Ayo! Kita langsung saja menuju ke Sumber Wetan," ajak Samsul.

Revan menatap Bapak yang memberi mereka informasi dan menjabat tangannya.

"Terima kasih banyak atas informasinya, Pak. Informasi yang Bapak berikan sangat membantu bagi kami," ucapnya.

"Sama-sama. Tolong, jangan buat Giman kembali lagi ke sini. Buat dia pergi jauh dan jangan sampai kembali ke sini," pinta Bapak tersebut.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang