14 | Menyambangi Rumah Firdaus

335 49 10
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Nah ... yang itu rumahnya, Pak. Berhenti saja di depan dinding samping pagarnya," saran Nuril.

Tirta benar-benar menghentikan mobil di depan dinding samping pagar rumah Firdaus. Persis seperti yang Nuril sarankan padanya barusan. Keadaan Sumber Wetan sore itu cukup tenang, sama sekali tidak ada pertanda yang membuat orang lain ingin mencari keberadaan Giman. Firdaus--yang baru saja pulang menjual dari tempat wisata--segera berjalan dari teras rumahnya menuju ke pagar. Mobil milik Tirta--yang baru saja parkir di depan rumahnya--jelas sangat menarik perhatiannya. Ia bahkan langsung membukakan pagar, saat melihat Nuril turun dari mobil tersebut lebih dulu bersama Tirta.

"Assalamu'alaikum, Pak Fir," sapa Nuril.

"Wa'alaikumsalam, Mas Nuril. Tumben datang ke sini enggak telepon dulu, Mas? Dan ... bersama Polisi," heran Firdaus.

Nuril memilih langsung memeriksa keadaan Firdaus saat itu daripada menjawab pertanyaannya. Hal itu membuat Firdaus merasa heran, namun tidak berani melarang karena dirinya sedang diperhatikan juga oleh Tirta.

"Pak Fir baik-baik saja, 'kan? Tidak ada yang terjadi pada Bapak setelah pulang dari tempat wisata, 'kan?" tanya Nuril.

"Iya, Mas. Alhamdulillah saya baik-baik saja. Memangnya ada apa, Mas Nuril? Kenapa Mas Nuril sepertinya khawatir sekali pada saya?"

Firdaus semakin keheranan. Tirta mendekat dan berusaha membuat Firdaus tidak merasa takut ataupun khawatir.

"Ada yang harus kami jelaskan lebih dulu pada Pak Firdaus, sebelum menjawab pertanyaan Bapak barusan. Dan yang akan menjelaskan adalah orang-orang di mobil saya saat ini. Mereka akan membuat Bapak paham, tentang mengapa kami datang ke sini dan sangat mengkhawatirkan keadaan Bapak," ujar Tirta.

Revan keluar lebih dulu dari mobil, setelah memeriksa ketersediaan air di dalam ranselnya. Samsul dan Reva menyusul tak lama kemudian, diikuti oleh yang lainnya. Firdaus jelas mengenali Revan, Samsul, dan Reva yang tadi makan sate kambing dan tongseng di lapaknya. Revan bahkan sempat mengobrol dengannya, sesaat sebelum terdengar ledakan dari gerobak sate milik Giman.

"Loh ... bukannya ini Mas-mas dan Mbak yang tadi makan sate di warung saya, ya?"

"Iya, Pak Firdaus. Benar, kami bertiga yang tadi makan sate dan tongseng di warung milik Bapak," jawab Revan.

"Lalu ... apa masalah yang akan disampaikan pada saya? Kenapa mendadak ...."

"Sebaiknya kita duduk dulu, Pak Fir. Bapak harus tenang saat mendengar apa yang akan mereka sampaikan," saran Nuril.

Firdaus pun menyetujui saran tersebut. Ia segera mempersilakan semua yang datang ke rumahnya saat itu untuk duduk di kursi teras rumahnya. Setelah itu ia masuk ke dalam rumah untuk meminta istrinya menyajikan minuman dan cemilan. Ia kembali ke teras tak lama setelahnya, lalu duduk bersama para tamunya.

"Istri saya sedang membuat minum. Mohon ditunggu, ya, Mas dan Mbak sekalian," ujar Firdaus, tetap seramah biasanya meski sedang merasa cemas.

"Jangan repot-repot, Pak," balas Tirta.

"Tidak repot sama sekali, Pak. Tidak apa-apa," Firdaus berusaha meyakinkan.

Karel memberikan tanda pada Samsul, Reva, dan Revan untuk bicara. Ketiganya dipilih oleh Karel, karena mereka sudah lebih dulu mengenal Firdaus sejak siang tadi. Hal itu juga dilakukan, agar Firdaus tidak merasa canggung ketika pembicaraan sedang berlangsung.

"Jadi begini, Pak Firdaus. Kami sedang bekerja untuk mengusut soal kematian Almarhum Pak Irman yang tidak wajar. Menurut anak Almarhum Pak Irman yang menjadi saksi satu-satunya, Almarhum Pak Irman meninggal setelah diserang oleh banaspati di halaman rumah setelah pulang berjualan," jelas Revan.

"Dan satu-satunya petunjuk yang kami temukan di TKP adalah tusuk sate berwarna merah. Maka dari itulah kami bertiga tadi langsung dibawa oleh Pak Tirta ke tempat wisata, agar bisa mencari petunjuk lain dari kasus ini. Saat kami sampai di sana, satu-satunya penjual yang saya lihat menggunakan tusuk sate berwarna merah hanyalah Pak Giman. Maka dari itu saya menyarankan pada Kakak dan sahabat saya untuk makan di warung milik Bapak, agar bisa mengawasi Pak Giman dari dekat," tambah Revan.

Firdaus mendengarkan dengan seksama. Istrinya datang dan menyajikan minuman serta cemilan. Setelah itu, Firdaus meminta istrinya untuk ikut duduk di sampingnya, agar bisa ikut mendengar penjelasan dari para tamunya.

"Di antara kami bertiga, hanya saya yang bisa melihat makhluk halus. Sisa dari tim kami tidak ikut ke sana karena harus mencari petunjuk di sekitaran rumah Almarhum Pak Irman. Jadi saat kami sedang menikmati sate dan tongseng di warung Bapak, banaspati itu mendadak muncul dari balik gerobak milik Pak Giman," ujar Samsul.

"Astaghfirullah hal 'azhim," lirih Firdaus, sambil mengusap dadanya.

Istri Firdaus masih belum mengerti, namun mulai ikut merasa khawatir setelah mendengar soal banaspati yang Samsul sebutkan.

"Saat itu kami sama sekali tidak berharap banaspati akan muncul di sana, Pak. Kejadian itu sangat tidak terduga. Saya langsung menyampaikannya pada Revan, sampai Revan harus bangkit dari kursinya dan pura-pura akan berfoto di depan gerobak sate milik Bapak. Padahal saat itu, Revan berusaha membentengi gerobak Bapak dengan air yang sudah didoakan, agar banaspati itu tidak berhasil melakukan apa-apa jika memang diperintah oleh Tuannya untuk melakukan yang terburuk. Sayangnya, banaspati itu benar-benar diperintah untuk menandai Bapak sebagai korban selanjutnya. Untung saja, kami sudah lebih dulu bersiap. Jadi saat banaspati itu beraksi, dia mengalami kegagalan dan berbalik ke arah yang memerintahkannya."

Firdaus semakin kaget, saat menyadari siapa yang sudah menyuruh banaspati itu menandai dirinya.

"Jadi ... Pak Giman adalah orang yang memelihara banaspati itu? Benar, Mas?" tanyanya, ingin memastikan.

"Iya, Pak. Itu benar," jawab Reva, mewakili Samsul dan Revan. "Dan saat kami mencoba mencari keberadaan Pak Giman di rumahnya yang lama dengan bantuan Mas Nuril, ternyata Pak Giman sudah lama tidak lagi tinggal di sana. Setelah itu, kami mendapat informasi bahwa Pak Giman kemungkinan sudah pindah ke daerah Sumber Wetan ini. Dan Mas Nuril langsung menyadari, bahwa Sumber Wetan ini adalah daerah tempat tinggal Bapak."

Firdaus pun langsung menatap Ismi--istrinya. Ismi selalu tahu kalau ada warga baru yang tinggal di daerah sekitaran mereka. Karena Ismi sering menghadiri acara-acara bersama Ibu-ibu lain.

"Apakah ada warga yang baru pindah ke daerah sini, Bu?" tanyanya.

"Ada beberapa orang, Pak. Tapi Ibu enggak tahu, mana itu orang yang bernama Giman. Hanya yang Ibu tahu, semua warga yang baru pindah itu mengontrak di rumah milik Bu Hajjah Indah," jawab Ismi.

"Ada yang penjual sate kambing?" tanya Firdaus lagi.

"Enggak tahu, Pak. Ibu enggak pernah lihat ada gerobak sate kambing, tuh, di kontrakannya Bu Hajjah Indah. Tapi coba Ibu tanya dulu sama Mbak Rusna yang jualan jamu. Mbak Rusna 'kan tinggal di sana juga. Jadi pasti dia akan tahu, kalau ada orang bernama Giman dan penjual sate kambing."

* * *

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang