12 | Tanggal Kematian

553 68 35
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Ke arah mana selanjutnya, Mas Nuril?" tanya Tirta.

"Masih lurus terus, Pak. Nanti saat ada bundaran, baru belok ke kiri," jawab Nuril, terus memberikan petunjuk.

Karel mengamati Nuril sejak tadi. Raut wajah pria itu terlihat gelisah, seakan sedang merasa takut tentang suatu hal. Karel pun menduga, bahwa saat ini kemungkinan Nuril sedang merasa tidak siap untuk menerima fakta mengenai Giman. Pria itu pasti sudah mendengar dari Tirta ataupun tiga anggota timnya, mengenai apa yang Giman kerjakan dan melibatkan banaspati.

"Kalau boleh saya tahu, sejak kapan Mas Nuril mengenal Pak Giman?" tanya Karel.

Nuril menoleh ke belakang dan bertatap muka dengan Karel. Kini wajahnya terlihat sangat jelas oleh Karel maupun yang lainnya. Wajah Nuril terlihat pucat, seakan sedang mengalami sakit.

"Saya kenal Pak Giman sudah lumayan lama. Meski tempat kami berjualan tidak pernah berada di satu lokasi, tapi kami cukup dekat dan akrab. Saya sudah beberapa kali datang ke rumahnya untuk bertamu, terutama saat lebaran," jawab Nuril.

Nadin mengubah posisi duduknya, sehingga kini ia mengarah tepat ke tempat Nuril berada.

"Kalau menurut Mas Nuril, Pak Giman itu orang yang seperti apa? Apakah Mas Nuril bisa menggambarkannya?" Nadin ikut bertanya.

"Pak Giman orang yang pendiam, Mbak. Dia jarang bicara kecuali ada yang penting. Tapi dia bukan jenis orang yang sombong. Hanya benar-benar pendiam saja, ketika ada di tengah keramaian."

"Sudah berapa kali Mas Nuril bertamu ke rumah Pak Giman selama saling mengenal?" Iqbal ingin tahu.

"Sekitar tiga atau empat kali, Mas, kalau tidak salah."

"Ada orang lain di rumah Pak Giman, saat Mas Nuril datang ke sana?" Iqbal terus menggali.

"Enggak ada, Mas. Pak Giman hanya tinggal sendiri di rumahnya. Istri Pak Giman sudah lama meninggal dunia. Hal itu saya ketahui ketika saya mencoba bertanya pada Pak Giman ketika bertamu."

"Bagaimana dengan anak? Apakah Pak Giman punya anak?" Karel ikut penasaran.

"Enggak ada juga, Mas. Pak Giman mengaku tidak punya anak selama menikah dengan Almarhumah istrinya."

Iqbal pun tersenyum. Karel kini menatap ke arah Iqbal, karena tahu soal tujuan Iqbal menanyakan semua itu.

"Menurutmu, pernah ada anak dalam rumah tangga Pak Giman, Bal?" tanya Karel.

Revan dan Samsul kini ikut menatap ke arah pria itu. Iqbal masih tersenyum ketika akhirnya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Karel.

"Tante Ziva pernah bilang padaku, bahwa di sekitar rumah pemelihara banaspati akan selalu ditemukan sebuah gundukan dengan prasasti kecil di atasnya. Gundukan itu adalah makam anak si pemelihara banaspati. Dia adalah persembahan pertama yang dikorbankan pada banaspati. Jadi nanti kalau salah satu dari kita menemukan gundukan berprasasti di sekitaran rumah Pak Giman, tidak perlu lagi merasa kaget. Karena sudah pasti itu adalah makam anaknya," jawab Iqbal.

Nuril terlihat semakin lemas, setelah mendengar penjelasan dari Iqbal. Ia benar-benar tidak menyangka akan menghadapi fakta seperti itu. Entah bagaimana nanti ekspresinya, kalau memang ia akan melihat bukti bahwa Giman adalah seorang pemelihara banaspati.

Mobil milik Tirta akhirnya berbelok ketika telah sampai di bundaran. Nuril mengarahkannya lagi agar memelankan laju mobil, karena mereka akan memasuki sebuah kampung. Setelah kembali berbelok ke arah seberang jalan, mobil itu akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berada tepat di tengah-tengah kampung tersebut.

"Itu rumahnya Pak Giman, Mas ... Mbak ... tapi, entah kenapa jadi tidak terawat begitu keadaannya. Padahal beberapa bulan lalu saat saya ke sini, keadaannya masih sangat terawat," ujar Nuril, sedikit merasa heran.

"Kemungkinan Pak Giman sudah cukup lama meninggalkan rumahnya untuk tinggal di tempat lain. Tapi tetap tidak ada salahnya, kalau kita memeriksa sekitaran rumah itu serta mengintip ke dalam melalui jendela," saran Reva.

"Ya. Kamu benar, Va. Tidak ada salahnya bagi kita untuk tetap memeriksa rumah itu, meski tidak ada penghuninya," Ruby setuju.

Revan pun menatap ke arah Tirta dan Nuril. Kedua pria itu jelas harus diberi tahu, bahwa ada batas jika memang mereka akan ikut keluar dari mobil.

"Pak Tirta dan Mas Nuril boleh ikut. Tapi tolong kalian menunggu sampai batas pagar saja, untuk sementara waktu. Kami harus memeriksa dulu, apakah rumah itu aman dikunjungi dan tidak menyimpan hal gaib sebagai penjaga rumah," jelas Revan.

"Iya, Mas Revan. Kami berdua pasti akan menunggu di pagar sementara waktu," tanggap Tirta, mewakili Nuril yang terlihat semakin pucat.

Mereka semua turun bersama dari mobil. Tirta dan Nuril benar-benar menunggu di pagar, sementara yang lainnya segera mendekat ke arah rumah untuk memeriksa pekarangan serta bagian dalam melalui jendela.

"Rumah ini benar-benar kosong, guys," lapor Karel, yang baru saja mengintip melalui jendela samping dan depan bersama Ruby.

"Ya. Sepertinya rumah ini sudah cukup lama di tinggalkan oleh Pak Giman. Di dalam rumah terlihat sangat berantakan, seperti pernah terjadi perkelahian," tambah Reva, yang juga mengintip lewat jendela samping di bagian lain.

"Enggak ada hal gaib yang disimpan di sekitar rumah ini. Tampaknya Pak Giman pergi dengan terburu-buru dari sini, sampai enggak kepikiran untuk menjaga rumah agar tidak disambangi orang lain," ujar Samsul.

"Aku bahkan tidak merasakan energi negatif di seluruh pekarangan rumah ini. Benar-benar terasa seperti rumah pada umumnya," Nadin ikut memberikan informasi.

"Guys, tolong berkumpul di sudut pekarangan sini. Panggil Pak Tirta dan Mas Nuril juga kalau bisa," pinta Iqbal.

Semuanya bergegas menuju ke tempat Iqbal berada. Revan memberi tanda pada Tirta dan Nuril agar ikut dengannya menuju ke tempat yang sama. Sesampainya mereka di hadapan Iqbal, Nadin menjadi yang pertama tiba untuk memastikan kalau suaminya baik-baik saja.

"Ada apa, My Prince? Apakah terjadi sesuatu sama kamu?" tanyanya, sedikit khawatir.

"Aku baik-baik saja, My Princess. Itu ... aku menemukan sebuah gundukan dengan prasasti kecil di atasnya," jawab Iqbal sambil menunjukkan yang ia temukan.

Gundukan berprasasti itu terletak di balik kumpulan alang-alang yang cukup tinggi. Revan segera menebas alang-alang di sekitar gundukan itu menggunakan parang peraknya. Ia melakukan itu agar prasasti kecil yang mereka perhatikan bisa terlihat lebih jelas.

"Fadil Wiryawan. Empat November dua ribu dua belas," ujar Revan, saat membaca tulisan yang terletak di depan prasasti kecil itu.

"Apakah itu tanggal kelahiran atau tanggal kematian?" tanya Tirta.

"Tanggal kematian, Pak Tirta. Tanggal kelahiran tidak boleh dicatat pada prasasti, karena nyawa anak yang dipersembahkan tidak akan diterima oleh banaspati jika tanggal lahirnya dicatat di sana," jawab Iqbal.

Nuril pun terduduk lemas di pinggiran pekarangan rumah itu. Samsul mendekat padanya, karena ingin tahu ada hal apa yang saat ini sedang menjadi beban pikiran pria itu.

"Mas Nuril? Apakah Mas Nuril baik-baik saja?" tanya Samsul.

"Tidak, Mas Samsul. Saya sedang tidak baik-baik saja saat ini," jawab Nuril.

Nuril kembali menatap ke arah prasasti yang masih diperhatikan oleh Tirta saat itu.

"Anak itu ... dulu dia adalah salah satu siswa saya ketika masih mengajar di Sekolah Dasar," akunya, yang mengingat betul soal tanggal kematian pada prasasti.

* * *

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang