7 | Berbaur

215 38 78
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Tirta memarkirkan mobilnya di seberang tempat wisata baru di daerah tersebut. Pria paruh baya itu menunjukkan di mana letak tempat korban biasanya berjualan sate kambing. Di tempat itu, terlihat sudah ada beberapa penjual sate kambing lain yang buka. Beberapa terlihat ramai dan beberapa terlihat biasa saja. Bahkan, ada juga penjual yang kelihatannya sepi pembeli. Setelah melihat situasi yang ada di tempat korban berjualan, Revan pun kini menatap ke arah Tirta yang duduk di kursi depan.

"Pak Tirta bisa, 'kan, menunggu di sini saja?" tanya Revan.

"Bisa, Mas. Saya jelas enggak boleh kelihatan sama para penjual sate kambing lain, terutama karena saya sedang memakai seragam dinas begini," jawab Tirta.

"Oke. Alhamdulillah kalau Pak Tirta paham dengan maksud saya. Sekarang, saya akan keluar bersama kedua rekan saya ini. Kami akan berpura-pura makan sate kambing pada salah satu penjual yang ada di sana," jelas Revan.

"Iya, Mas. Silakan. Saya akan tunggu di sini sampai kalian selesai mengamati dan mencari petunjuk."

Samsul keluar lebih dulu dari mobil. Revan dan Reva menyusul tak lama kemudian, lalu mereka berjalan bersama menuju kumpulan penjual sate kambing. Para penjual sate kambing itu terlihat sangat antusias ketika ada pelanggan yang baru datang. Mereka sama-sama memanggil, berharap kalau orang itu akan menjatuhkan pilihan pada tempatnya. Revan dan Samsul mengamati wajah-wajah para penjual sate kambing yang memanggil mereka. Sementara Reva hanya memerhatikan ke arah gerobak-gerobak sate, seakan ada yang sedang dicari oleh wanita itu dari semua gerobak sate yang ada.

"Aku mau makan sate di sana saja," ujar Reva, saat akhirnya menemukan yang ia cari.

"Yang mana, Dek?" tanya Revan.

"Itu. Sate kambing Pak Firdaus," jawab Reva.

"Oke. Ayo kita ke sana," Samsul menyetujui.

Mereka benar-benar berjalan menuju gerobak sate kambing milik Firdaus. Membuat beberapa penjual lain terlihat kecewa. Namun satu-satunya yang menjadi pusat perhatian Reva adalah pemilik gerobak sate kambing yang keberadaannya tepat di depan gerobak sate milik Firdaus.

"Kenapa pilih yang ini?" tanya Revan, berbisik.

"Penjual sate kambing di depan," tunjuk Reva, sekilas. "Hanya dia yang memakai tusuk sate warna merah."

Tatapan Samsul dan Revan pun tertuju pada gerobak sate di depan. Benar saja yang Reva katakan, bahwa penjual sate yang sepi itu adalah satu-satunya penjual sate yang memakai tusuk sate warna merah. Samsul segera memesan sate kambing tiga porsi, beserta lontong dan tongseng sebagai pelengkap. Setelah lima belas menit berlalu usai Samsul memesan makanan, Revan berinisiatif mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Ia menghubungi Sammy lewat video call, karena saat itu Reva ada di antara dirinya dan Samsul. Sammy mengangkat tak lama kemudian, tepat saat pesanan mereka baru saja diantarkan.

"Halo. Assalamu'alaikum, Van. Eh ... ada Ayangku yang cantik, ternyata. Ayangku baru mau makan siang?" tanya Sammy, sangat bersemangat saat melihat wajah Istrinya.

"Wa'alaikumsalam, Baby-ku yang ganteng," balas Reva, agak malu-malu.

"Heh! Aku juga ada di sini, ya! Sapa aku juga, dong!" omel Samsul.

"Ogah! Ngapain aku sapa-sapa kamu? Wajahmu itu keberadaannya sudah terwakilkan oleh Sandy di sini sejak tadi!" balas Sammy, sambil memajukan bibirnya beberapa senti.

Wajah Sandy kini ikut terlihat oleh mereka bertiga. Revan dan Samsul langsung memamerkan sate kambing dan juga tongseng pada Sammy dan Sandy.

"Alah! Pamer doang! Giliran kita kumpul, gak ada tuh yang inisiatif mau traktir sate kambing sama tongseng!" protes Sandy.

"Izin dulu sama Oliv, San. Kalau Oliv izinin kamu untuk dibawa melanglang buana, baru aku akan traktir kamu sate kambing dan tongseng seperti ini," saran Revan.

"Ah, ogah! Mendingan aku enggak makan sate kambing dan tongseng, daripada harus jauh-jauh dari Istriku," tolak Sandy.

"Hm, iya ... iya ... yang bucin. Suka-suka hatimu saja, Sandy. Suka-suka hatimu," gemas Reva, blak-blakan.

Suara tawa Olivia pun terdengar oleh mereka, meski saat itu sosoknya tidak muncul di layar sama sekali. Mereka bertiga terus melakukan video call, sambil mengamati penjual sate kambing yang ada di depan. Mereka melakukan itu agar tidak ketahuan sedang mengamati dari jauh.

"Eh ... katanya pria kalau sudah nikah, tuh, harus sering-sering makan sate kambing," ujar Revan.

"Kata siapa? Siapa lagi yang bikin peraturan kayak begitu, Van?" kaget Samsul.

"Papimu yang bilang," jawab Revan, santai.

"Tapi hanya untuk yang sudah nikah, 'kan?" tanya Sandy.

"Iya."

"Lah, terus kamu ngapain makan sate kambing sekarang? Nikah dulu, sana! Baru makan sate kambing, searang-arangnya kalau perlu!" omel Sammy.

Revan langsung menahan tawa, sementara Reva kini tertawa terpingkal-pingkal setelah Kakaknya terkena serangan balik dari Sammy dan Sandy.

"Enggak usah menasehati yang sudah nikah, Van, kalau nyatanya kamu saja belum nikah. Nikah dulu, baru nasehati dirimu sendiri," saran Sandy.

"Zya! Kamu enggak mau cepat-cepat dinikahi Bang Revan, gitu? Bang Revan sudah makan sate kambing duluan, tuh. Sudah prepare duluan dia, Zya. Jangan bikin Bang Revan nunggu terlalu lama, dong."

Suara Agi terdengar sangat jelas. Hal itu membuat Revan kaget, karena ternyata Zyana saat itu sedang berkumpul bersama Sammy dan Sandy.

"Agi! Jangan nyindir terang-terangan banget, dong! Mukanya Zya jadi merah semua, nih, dari segala sisi!" sahut Niki.

"Astaghfirullah," lirih Revan, sambil berupaya menutupi wajahnya dengan tisu.

Tawa Reva dan Samsul semakin menjadi-jadi, saat tahu kalau Revan sedang merasa malu. Canda tawa mereka mendadak berhenti, saat Samsul memberi tanda bahwa ia melihat sesuatu yang melayang dari balik gerobak sate kambing penjual di depan. Revan dan Reva mendadak waspada. Sammy dan Sandy langsung memahami kewaspadaan mereka, lalu sadar bahwa video call itu adalah kamuflase dalam pekerjaan mereka.

"Eh ... sudah dulu, ya. Kami harus kembali masuk ke kelas. Sudah ada dosen yang datang," pamit Sandy, dengan cepat.

"Iya, San. Nanti kita lanjut lagi, ya. Assalamu'alaikum," pamit Reva, mewakili Samsul dan Revan.

"Wa'alaikumsalam."

Setelah sambungan video call itu terputus, Revan kembali memegang ponselnya dengan tenang. Samsul menulis sesuatu pada ponselnya, lalu mengirimnya ke ponsel milik Revan dan Reva.

SAMSUL
Banaspati. Dia melayang mengarah ke gerobak sate yang kita datangi ini.

Revan pun bangkit dan mencoba mengambil beberapa foto di depan gerobak sate. Seakan dirinya ingin mengabadikan momen sebagai wisatawan saat mampir ke penjual sate kambing tersebut. Semua ia lakukan dengan mulus, sehingga tidak ada yang sadar kalau dirinya baru saja menyiram bagian depan gerobak sate itu dengan air yang sudah didoakan.

Saat Revan hampir kembali ke meja, ia sengaja berbasa-basi lebih dulu dengan penjualnya. Ia sengaja memulai obrolan, agar Samsul bisa mengeluarkan energinya untuk memberi perlindungan pada gerobak sate yang mungkin akan diberi tanda oleh banaspati yang mengincar. Dan benar saja, tak lama kemudian banaspati yang Samsul lihat akhirnya mendekat ke gerobak milik Firdaus untuk memberi tanda sebelum malam nanti menerima serangan yang sesungguhnya.

BOOMMM!!! PRANGGGG!!!

Kaca pada gerobak sate di depan mendadak pecah usai terdengar suara ledakan. Gerobak sate milik Firdaus sama sekali tak berhasil disentuh.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang