6 | Tempat Kejadian

574 71 117
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Samsul berjengit kaget, usai mendengar suara Nyai Murti serta gebrakan pintu yang dilakukannya. Ia menoleh ke belakang, sehingga tahu bahwa Nyai Murti memang ada di sana sejak tadi.

"Lah, si Iqbal jadi bawa-bawa Nyai Murti melulu, ya, sekarang?" heran Samsul.

"Biarin, Sul. Biar jadi contoh kalau ada yang enggak percaya setan kayak Bu Tijah," balas Revan, sengaja membisik di telinga Samsul.

Iqbal tersenyum santai, meski Tirta, Tijah, dan Asni sama sekali tak bisa santai setelah mendengar suara tawa kuntilanak. Nadin berusaha keras menahan tawa, setelah suaminya sengaja bertingkah tengil di depan banyak orang.

"Bagaimana, Bu Tijah? Masih tidak percaya dengan keberadaan makhluk halus?" tanya Iqbal, sangat sopan.

"Pe--percaya ... iya ... sa--saya pe--percaya. To--tolong ... ja--jangan di ... disuruh bunyi lagi, itu ... kun--kuntilanaknya," pinta Tijah.

Iqbal pun mengangguk, sebagai tanda bahwa ia menyetujui permintaan Tijah saat itu.

"Kalau begitu, Bu Tijah akan membiarkan Dek Asni menceritakan yang dilihatnya pada malam kejadian, 'kan? Bu Tijah tidak akan memarahi Dek Asni lagi, 'kan?" pinta Iqbal, seraya tersenyum konyol seperti biasanya.

"I--iya. Sa--saya eng--enggak akan marahi lagi A--Asni," janji Tijah.

Reva dan Ruby berusaha keras untuk tidak tertawa. Melihat wajah Iqbal yang konyol benar-benar membuat mereka sulit untuk serius ketika bekerja. Ketegangan memang akan selalu mencair, jika Iqbal atau Samsul sudah mulai berulah.

"Ayo, Dek Asni. Silakan ceritakan yang kamu lihat malam itu," Ruby memberinya waktu.

Asni berusaha membuat dirinya tenang kembali, meski baru saja merasa shock usai mendengar suara kuntilanak. Ia meyakinkan diri, bahwa kuntilanak yang dipanggil oleh salah satu anggota tim itu tidak akan mengganggu kecuali diminta. Saat perasaannya sudah tenang, Asni mulai memikirkan yang dilihatnya pada malam kejadian.

"Bapak baru saja pulang menjual, Mbak. Bapak baru menyimpan gerobak sate di samping rumah. Saya keluar untuk bantu Bapak bawa masuk barang-barang yang harus dicuci seperti biasanya. Saya sudah menerima piring kotor dan juga dua baskom kosong bekas sate yang belum dibakar. Jualannya Bapak malam itu habis total, enggak ada yang tersisa saat saya lihat baskomnya. Saya baru akan melangkah menuju pintu, saat mata saya melihat ada bayangan kilatan merah yang melintas di dinding. Saya berbalik lagi untuk melihat apa yang baru saya lihat itu. Tapi pada saat saya berbalik, Bapak mendadak disambar oleh banaspati, Mbak. Tubuh Bapak langsung terbakar dan apinya tidak bisa dipadamkan. Api padam sendiri, saat Bapak akhirnya meninggal," jelas Asni, yang kini kembali menangis pilu di pelukan Ruby.

Reva kini menatap ke arah Karel dan Nadin. Hanya keduanya yang sejak awal sudah berpikiran ke arah banaspati, ketika mereka masih rapat di kantor. Ia ingin tahu, apakah keduanya kini sudah bisa meyakinkan semua orang soal firasat mengenai setan yang akan mereka hadapi.

"Kalau boleh saya bertanya, Dek Asni," Nadin buka suara. "Apakah Dek Asni juga melihat jelas wujud banaspati itu dari dekat?"

Asni kembali menyeka airmatanya seraya mengangguk.

"Iya, Mbak. Saya lihat jelas wujudnya. Bukan hanya berwujud seperti api. Dia punya wajah, tanduk, dan juga lidahnya menjulur sangat panjang. Lidah yang menjulur itulah, yang menyambar tubuh Bapak saya sebelum terbakar."

Nadin dan Karel pun tidak lagi merasa ragu. Apa yang Asni gambarkan sebagai wujud banaspati yang dilihatnya, adalah wujud sebenarnya makhluk itu yang jarang diketahui.

"Kalau begitu, boleh sekarang Dek Asni tunjukkan pada kami mengenai tempat kejadiannya?" pinta Karel.

"Iya, Mas. Boleh. Mari ... ikut saya keluar."

Asni berjalan lebih dulu setelah bangkit dari tempatnya duduk saat itu. Keberadaan Nyai Murti sudah tidak lagi terlihat oleh Samsul, Karel, maupun Nadin. Hanya saja, Tijah mengira kuntilanak itu masih ada di dalam rumahnya, sehingga ia buru-buru ikut bangkit dari permadani saat semua orang beranjak keluar rumah. Ia merasa takut dan tidak mau berurusan dengan setan mana pun yang ada di sekitarnya.

Di luar, Asni langsung menunjuk ke tempat yang masih dibatasi garis kuning oleh pihak kepolisian. Tirta memberikan izin untuk menginjak tempat tersebut, karena tahu bahwa tempat itu juga harus diperiksa oleh Ruby dan yang lainnya. Karel langsung meraih tanah yang hangus akibat ikut terbakar ketika korban terbaring di sana.

"Bekas hangusnya benar-benar tidak menempel pada tanganmu, Rel. Berarti benar, banaspati adalah yang harus kita buru kali ini," ujar Samsul.

"Kenapa bekas hangusnya tidak bisa menempel pada tangan kita? Apakah itu ada artinya?" tanya Tirta.

"Iya, Pak Tirta. Bekas hangus sesuatu yang terbakar oleh api biasa, akan tertinggal di kulit kita, apabila kita menyentuhnya. Tapi jika yang membakar adalah api dari tubuh banaspati, maka sisa-sisa hangusnya tidak akan menempel pada kulit. Hal itu terjadi karena api yang berasal dari tubuh banaspati bukanlah api biasa," jawab Karel.

"Maka dari itulah banaspati tergolong makhluk halus yang berbahaya daripada makhluk halus lainnya. Cara menghentikannya juga cukup rumit, tidak sama dengan cara menghentikan makhluk halus lain," tambah Samsul.

Reva memungut satu batang tusuk sate bersih namun berwarna merah, dari tempat korban berbaring saat tubuhnya terbakar. Ia mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat, karena merasa ada yang janggal dengan tusuk sate tersebut.

"Guys, coba lihat ini," pinta Reva.

Revan mendekat paling pertama, lalu disusul oleh yang lainnya. Mereka sama-sama menatap tusuk sate yang Reva perlihatkan, lalu berharap akan ada hal yang Revan katakan untuk menjelaskan.

"Aku menemukan tusuk sate merah ini di tempat korban terbaring saat terbakar. Tapi ... tusuk sate merah ini sama sekali enggak hangus. Tusuk satenya benar-benar utuh," ujar Reva, sedikit memelankan suaranya.

"Berarti firasat Istriku dan Karel di bandara tadi sudah hampir mendekati. Jika bukan orang terdekat dari rumah korban, artinya orang terdekat di tempat korban berjualan," tanggap Iqbal.

Semuanya kembali pada kesimpulan itu. Mereka tahu bahwa kini adalah saatnya untuk membagi tim, agar bisa segera mendapatkan petunjuk lainnya selain daripada keterangan saksi mata.

"Kalau begitu mari kita membagi tim. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Reva, Samsul, dan Revan akan ke tempat korban berjualan. Eksplor semuanya di sana, lalu laporkan pada kami," pinta Ruby.

"Ya. Insya Allah kami akan melaporkan semuanya sedetail mungkin," janji Reva.

"Untuk tim yang akan menelusuri sekitaran rumah korban, kita akan bekerja sama dan berpencar," ujar Nadin.

"Siap, Nad. Tolong komunikasi jangan sampai putus, ya," harap Ruby.

Tirta segera bersiap mengantar Revan, Reva, dan Samsul menuju ke tempat korban berjualan sate kambing. Samsul mengecup kening Ruby, beberapa saat sebelum pergi bersama Reva dan Revan. Ruby pun meyakinkannya dengan isyarat, bahwa semua akan berjalan dengan lancar seperti biasanya.

"Nad ... titip Ruby, ya," pesan Samsul.

"Ya. Insya Allah nanti akan aku titip Ruby di toko terdekat, Sul," balas Nadin, sambil terkikik geli bersama Iqbal.

"Heh! Bukan gitu maksudku, Nadin Bareksa! Titip jagain Istriku, maksudnya!" jelas Samsul, kembali mengalami stress.

* * *

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang